Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi Khalisah Khalid di Jakarta, Rabu, mengatakan penjelasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait restorasi gambut oleh korporasi baru sebatas revisi Rencana Kerja Usaha (RKU), tidak diketahui berapa luas yang sudah terintervensi.
Tantangan terbesar persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut dan penanganannya, menurut dia, adalah kuatnya aktor korporasi yang selama ini berada di balik peristiwa tersebut.
Komitmen penegakan hukum yang sempat dilontarkan oleh Presiden di 2015 dan awal tahun 2016, menurut dia, semakin melemah dengan mengatasnamakan keterlanjuran, sehingga korporasi semakin merasa mendapatkan angin, dan bahkan terus melakukan upaya pembangkangan hukum.
Penegakan hukum lebih banyak bersifat pemberian sanksi administratif yang tidak memberikan efek jera sedikitpun bagi korporasi, lanjutnya.
Ironisnya, penegakan hukum yang seharusnya ditujukan bagi korporasi yang telah melakukan pelanggaran hukum, justru berbelok menyasar masyarakat adat, masyarakat lokal dan petani.
Berbagai pernyataan dari aparat keamanan seperti tembak di tempat bagi pelaku pembakaran, menunjukkan bahwa aparat keamanan gagal melihat bahwa kebakaran hutan dan lahan gambut adalah problem struktural yang disebabkan oleh pelanggaran hukum oleh aktor yang memilki kekuatan ekonomi, lanjutnya.
"Kami mendesak Presiden segera mengeluarkan kebijakan moratorium sawit dan investasi monokultur skala besar lainnya. Jika tidak, kami khawatir target pembenahan tata kelola hutan dan ekosistem rawa gambut tidak akan tercapai dan kebakaran hutan dan gambut, akan terus terjadi, karena kerusakannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan upaya pemulihannya," ujar Khalisah.
Direktur Walhi Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono mengatakan karhutla merupakan kejahatan lingkungan hidup yang luar biasa dari praktik buruk korporasi dan tumpulnya penegakan hukum untuk kejahatan korporasi. Maka Presiden diharapkan menyiapkan peradilan lingkungan hidup.
Direktur Walhi Kalimantan Barat Anton P Widjaya mengatakan fakta di mana tahun 2018 titik api sangat tinggi di Kalimantan Barat, menjelaskan bahwa klaim perbaikan tata kelola gambut yang selama ini dilakukan telah gagal. Realitas ini sekali lagi menjelaskan bahwa restorasi gambut, tanpa penegakan hukum bagi korporasi adalah kesia-siaan.
Sedangkan Direktur Walhi Kalimantan Tengah Dimas Hartono menambahkan fakta bahwa di Kalimantan Tengah pengeringan gambut masih terjadi di beberapa konsesi untuk penanaman sawit, aktivitas ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah bertindak tegas terhadap korporasi.
Sementara itu, Direktur Walhi Sumatera Selatan Muhammad Hairul Sobri berharap penanganan karhutla bukan hanya karena ada event Asian Games semata dan demi nama baik bangsa, namun melampui itu, ini menyangkut soal keselamatan masyarakat yang selama belasan tahun terpapar asap karhutla.
Data Walhi yang diolah dari berbagai sumber mencatat dari tanggal 1 Januari hingga 14 Agustus 2018, terdapat 2.173 titik api, diantaranya tertinggi di Kalimantan Barat mencapai 779 dan Riau sebanyak 368 titik.
Dari data titik api yang Walhi overlay dengan peta perizinan, ditemukan sebagian titik api berada di konsesi 230 di IUPHHK-HT, 85 di IUPHHK-HA, 122 di HGU. Selain di dalam konsesi, Walhi juga mencatat sebaran titik api berada di wilayah kesatuan hidrologi gambut (KHG), yang menjadi wilayah prioritas pemulihan restorasi gambut dan pencegahan dari kebakaran.
Baca juga: Curah hujan rendah pengaruhi kebakaran lahan gambut
Baca juga: Walhi Sumsel Serukan Selamatkan Hutan Gambut