New York (Antaranews Jambi) - Harga minyak hampir datar pada akhir perdagangan Senin (Selasa pagi WIB), karena pasar mempertimbangkan ketegangan perdagangan antara AS dan China yang diperkirakan akan mengurangi permintaan minyak mentah global, serta pengetatan pasokan potensial akibat sanksi-sanksi terhadap Iran.
Patokan internasional, minyak mentah Brent untuk pengiriman November, turun tipis 0,04 dolar AS menjadi 78,05 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober, sedikit melemah 0,08 dolar AS menjadi ditutup pada 68,91 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Penasihat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan pada Senin (17/9) bahwa dia memperkirakan Amerika Serikat akan segera mengumumkan tarif atas tambahan barang-barang China senilai 200 miliar dolar AS.
Pejabat pemerintah mengatakan pada Sabtu (15/9) bahwa Presiden Donald Trump kemungkinan akan mengumumkan tarif baru secepatnya pada Senin (17/9).
"Itu memiliki potensi untuk menjadi pembunuh permintaan dan itulah sebabnya pasar diperdagangkan ke dalam (posisi) merah," kata Bob Yawger, direktur berjangka energi di Mizuho di New York, dikutip dari Reuters.
Indeks-indeks saham AS secara luas jatuh pada Senin (17/9), membebani minyak berjangka, karena ekspektasi bahwa pemerintahan Trump akan segera menerapkan tarif baru dan bahwa Beijing akan membalasnya.
Mendukung minyak mentah berjangka adalah potensi penurunan pasokan dari sanksi-sanksi AS terhadap Iran. Sanksi-sanksi yang mempengaruhi sektor perminyakan Iran akan mulai diberlakukan 4 November.
Ekspor minyak mentah Iran telah menurun sebanyak 580.000 barel per hari dalam tiga bulan terakhir, analis Bank of America Merrill Lynch mengatakan dalam sebuah catatan kepada klien.
"Kami percaya bahwa efek penuh dari sanksi-sanksi minyak Iran belum terlihat dan kami merasa bahwa fase antisipatif sanksi 5-6 minggu berikutnya akan dikaitkan dengan minat beli spekulatif yang stabil," Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates, mengatakan dalam sebuah catatan.
Ekspor minyak Iran telah jatuh dalam beberapa bulan terakhir karena lebih banyak pembeli, termasuk pembeli terbesar kedua India, memangkas impor menjelang sanksi-sanksi AS berlaku pada November. Washington bertujuan untuk memotong ekspor minyak Iran ke nol guna memaksa Teheran merundingkan kembali kesepakatan nuklirnya.
Sejak musim semi ketika pemerintahan Trump mengatakan akan memberlakukan sanksi, para pedagang minyak mentah telah menetapkan harga dalam premi risiko yang mencerminkan kekurangan pasokan yang mungkin terjadi ketikz ekspor dari Iran, produsen OPEC terbesar ketiga, terpangkas.
Menteri Energi AS Rick Perry mengatakan kepada Reuters pada Jumat (7/9) bahwa dia tidak memperkirakan adanya lonjakan harga dan bahwa Arab Saudi, Amerika Serikat dan Rusia berada di antara mereka yang meningkatkan produksi global dalam 18 bulan ke depan.
Pada Senin (17/9), Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan semua skenario yang mungkin untuk produksi minyak dapat dibahas pada pertemuan OPEC dan negara-negara non-OPEC di Aljazair bulan ini.
Raksasa minyak milik negara, Saudi Aramco, akan menghabiskan lebih dari 500 miliar riyal (133 miliar dolar AS) untuk pengeboran minyak dan gas selama dekade berikutnya, kata seorang eksekutif perusahaan senior.
Baca juga: Dolar AS melemah tertekan meningkatnya ketegangan perdagangan
Baca juga: Harga minyak bervariasi di tengah kecemasan sanksi terhadap Iran
Patokan internasional, minyak mentah Brent untuk pengiriman November, turun tipis 0,04 dolar AS menjadi 78,05 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober, sedikit melemah 0,08 dolar AS menjadi ditutup pada 68,91 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
Penasihat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan pada Senin (17/9) bahwa dia memperkirakan Amerika Serikat akan segera mengumumkan tarif atas tambahan barang-barang China senilai 200 miliar dolar AS.
Pejabat pemerintah mengatakan pada Sabtu (15/9) bahwa Presiden Donald Trump kemungkinan akan mengumumkan tarif baru secepatnya pada Senin (17/9).
"Itu memiliki potensi untuk menjadi pembunuh permintaan dan itulah sebabnya pasar diperdagangkan ke dalam (posisi) merah," kata Bob Yawger, direktur berjangka energi di Mizuho di New York, dikutip dari Reuters.
Indeks-indeks saham AS secara luas jatuh pada Senin (17/9), membebani minyak berjangka, karena ekspektasi bahwa pemerintahan Trump akan segera menerapkan tarif baru dan bahwa Beijing akan membalasnya.
Mendukung minyak mentah berjangka adalah potensi penurunan pasokan dari sanksi-sanksi AS terhadap Iran. Sanksi-sanksi yang mempengaruhi sektor perminyakan Iran akan mulai diberlakukan 4 November.
Ekspor minyak mentah Iran telah menurun sebanyak 580.000 barel per hari dalam tiga bulan terakhir, analis Bank of America Merrill Lynch mengatakan dalam sebuah catatan kepada klien.
"Kami percaya bahwa efek penuh dari sanksi-sanksi minyak Iran belum terlihat dan kami merasa bahwa fase antisipatif sanksi 5-6 minggu berikutnya akan dikaitkan dengan minat beli spekulatif yang stabil," Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates, mengatakan dalam sebuah catatan.
Ekspor minyak Iran telah jatuh dalam beberapa bulan terakhir karena lebih banyak pembeli, termasuk pembeli terbesar kedua India, memangkas impor menjelang sanksi-sanksi AS berlaku pada November. Washington bertujuan untuk memotong ekspor minyak Iran ke nol guna memaksa Teheran merundingkan kembali kesepakatan nuklirnya.
Sejak musim semi ketika pemerintahan Trump mengatakan akan memberlakukan sanksi, para pedagang minyak mentah telah menetapkan harga dalam premi risiko yang mencerminkan kekurangan pasokan yang mungkin terjadi ketikz ekspor dari Iran, produsen OPEC terbesar ketiga, terpangkas.
Menteri Energi AS Rick Perry mengatakan kepada Reuters pada Jumat (7/9) bahwa dia tidak memperkirakan adanya lonjakan harga dan bahwa Arab Saudi, Amerika Serikat dan Rusia berada di antara mereka yang meningkatkan produksi global dalam 18 bulan ke depan.
Pada Senin (17/9), Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan semua skenario yang mungkin untuk produksi minyak dapat dibahas pada pertemuan OPEC dan negara-negara non-OPEC di Aljazair bulan ini.
Raksasa minyak milik negara, Saudi Aramco, akan menghabiskan lebih dari 500 miliar riyal (133 miliar dolar AS) untuk pengeboran minyak dan gas selama dekade berikutnya, kata seorang eksekutif perusahaan senior.
Baca juga: Dolar AS melemah tertekan meningkatnya ketegangan perdagangan
Baca juga: Harga minyak bervariasi di tengah kecemasan sanksi terhadap Iran