Jambi (Antaranews Jambi) - Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Supriyanto mengatakan diperlukan sinergi semua pihak terkait untuk mewujudkan pengelolaan hutan adat khususnya di Sumatera.
Hal tersebut dikatakannya usai menghadiri workshop Strategi Percepatan Penetapan Hutan Adat Regional Sumatera di salah satu hotel di Jambi, Kamis.
Saat ini di Sumatera terdapat 77 kelompok masyarakat adat yang sedang mengusulkan untuk hutan adat. Sedangkan hutan adat yang sudah mendapat legalitas dari negara baru diberikan kepada 33 kelompok masyarakat adat dengan luas areal 27 ribu hektare.
Angka ini jauh di bawah target nasional. Menurut Bambang target capaian hutan adat adalah sebesar 4,38 juta hektare.
"Saat ini masih terus berproses. KLHK sudah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mempermudah hak kelola hutan oleh masyarakat," kata Bambang.
Hanya saja, semua usulan yang masuk harus dipastikan diusulkan oleh masyarakat yang membutuhkan dan berada di kawasan yang sudah dicadangkan, sehingga pemberian izin benar-benar tepat sasaran. Untuk mencapai tujuan awal pengelolaan hutan oleh masyarakat guna mengatasi ketimpangan akses dan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan.
Menurutnya untuk memastikan hak kelola itu perlu dilakukan verifikasi. Karena keterbatasan tenaga yang ada di KLHK, maka KLHK meminta bantuan tiap-tiap provinsi untuk bentuk kelompok kerja perhutanan sosial yang tujuanya memudahkan dan mendekatkan pelayanan perizinan perhutanan sosial bagi masyarakat termasuk dalam pengurusan hutan adat.
Sebab itu kata Bambang, sinergi antarpara pihak sangat diperlukan untuk mencapai target pengelolaan hutan.
Hingga saat ini, lanjutnya, baru ada 33 kabupaten dan provinsi yang menerbitkan produk hukum daerah yang terkait langsung dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan sekitar 15 rancangan perda masih pembahasan atau masuk dalam program legislasi daerah provinsi atau kabupaten dan kota.
Perda yang mengatur masyarakat adat itu diantaranya Perda Kabupaten Lebak, Banten Nomor 8 Tahun 2015 dan SK Bupati Sigi, Sulawesi Tengah, Nomor 189.1-521 Tahun 2015 dan Perda Kabupaten Merangin, Jambi, Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Serampas.
Roadmap dan strategi percepatan menjadi hal yang urgen untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan yang mengakibatkan lambannya proses penetapan hutan adat, baik dari sisi aturan dan implementasinya, terutama mengidentifikasi apakah aturan yang ada saat ini sudah cukup memadai untuk mendapatkan penetapan hutan adat.
Kemudian memetakan gap dan kebutuhan-kebutuhan aturan seperti apa yang perlu ada di tingkat provinsi dan kabupaten serta dukungan teknis seperti apa yang diperlukan dari pemerintah, serta mengidentifikasi strategi seperti apa yang perlu dilakukan masyarakat sipil dan komunitas dalam rangka mempercepat penetapan hutan adat tersebut.
Sementara itu, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Rudi Syaf mengatakan ketimpangan akses pengelolaan sumber daya alam dan kemiskinan merupakan persoalan klasik yang masih harus diurai hingga saat ini.
Pemberian akses masyarakat untuk mengelola kawasan hutan merupakan salah satu solusi yang digadang untuk mengatasi persoalan ini.
Pengakuan hak kelola hutan adat merupakan satu diantara skema perhutanan sosial yang diharapkan mengatasi ketimpangan dan kemiskinan di kelompok masyarakat adat.
Dimana pemerintah menargetkan 4,3 juta hektare kawasan yang dikelola masyarakat dengan adat. Hanya saja target itu baru terealisasi 27 ribu hektare untuk 33 kelompok masyarakat adat.
"Ada kelambatan dalam rekognisi pengakuan hutan adat, misalnya dukungan kebijakan daerah baik dalam bentuk peraturan daerah (Perda) maupun SK Bupati tentang pengakuan masyarakat hutan adat yang merupakan prasyarat pengakuan masyarakat hukum adat beserta hutan adatnya," kata Rudi Syaf.
Disamping itu, menurut Rudi dalam pengetahuan para pihak tentang hutan adat masih relatif lemah. Pengetahuan tersebut bisa terkait dengan tata cara permohonan maupun prasyarat yang harus dipenuhi oleh pemohon dan lain sebagainya.
Kemudian dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan memberikan pengakuan juga masih ada sejumlah catatan yang meski diperbaiki untuk pengakuan hutan adat.
"Dari peta sebaran potensi hutan adat Direktorat Penanganan Konflik Tenurial Hutan Adat KLHK belum mengakomodir seluruh potensi hutan adat. Peta tersebut juga masih identik dengan peta wilayah adat sehingga belum memunculkan potensi hutan adatnya. Kondisi ini tentu memunculkan kerumitan bagi masyarakat dalam mengajukan legalitas hutan adatnya," katanya menjelaskan.
Untuk menjawab persoalan tersebut, dalam Workshop percepatan Strategi Percepatan Penetapan Hutan Adat Regional Sumatera itu mengemuka sejumlah ide dan gagasan. Diskusi menghadirkan pemerintah daerah, akademisi, antropolog dan berbagai organisasi sipil yang bergiat dalam percepatan hutan adat.
Lima strategi yang sangat mungkin untuk percepatan pengelolaan hutan adat, yakni mendorong Surat Keterangan pengakuan Masyarakat Hukum Adat dari Bupati untuk masyarakat adat yang wilayah kelolanya tidak berada dalam kawasan hutan dan perlu adanya perda payung untuk pengaturan masyarakat adat untuk masyarakat adat yang wilayahnya masuk ke dalam kawasan hutan," kata Manager Advokasi dan Kebijakan KKI WARSI, Rainal, membacakan hasil sitesa workhsop yang berlangsung selama dua hari tersebut.
Menurutnya selama ini, masyarakat terpaku pada perda. Tanpa perda seolah masyarakat adat tidak diakui. Sementara dalam legislasi daerah pengajuan perda membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat banyak.
"Yang dibutuhkan masyarakat adalah perda payung yang bisa memayungi seluruh masyarakat adat, sehingga ketika mengajukan hak kelola hutan adatnya bisa langsung terakomodir dalam perda payung ini," kata Rainal.
Untuk percepatan hutan adat ini juga sangat penting adanya unit pokja multipihak untuk percepatan penetapan masyarakat hukum adat, serta memasukkannya dalam urusan pemerintah daerah. Untuk mendukung itu, maka juga sangat penting untuk percepatan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat.
"Selain itu, dukungan pendanaan konsolidasi data dan peta hutan adat juga sangat penting bagi percepatan rekognisi hutan adat," kata Rainal menambahkan.***