Jambi (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi mencatat bahwa sampai dengan tahun 2022, Wilayah Kelola Rakyat (WKR) dalam legalisasi negara diterbitkan KLHK WKR berupa perhutanan sosial luasnya di Provinsi Jambi baru tercatat 215.969,92 hektare.
"Saat ini perhutanan sosial di Provinsi Jambi baru seluas seluas 215.969.92 Ha yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan," kata Direktur Walhi Jambi Abdullah, di Jambi Sabtu.
Ia menilai luasan itu sangat tidak sebanding dengan luasan wilayah korporasi yang jika dikalkulasikan seluruh sektor luasnya mencapai 1.223.737,24 hektare yang diberikan oleh pemerintah untuk industri ekstraktif di Provinsi Jambi.
"Upaya pemerataan kesejahteraan hidup masyarakat Jambi tentunya akan terhambat, jika berdasarkan arah kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi dan kondisi faktual di lapangan, pemerintah masih berorientasi kepada eksploitasi sumber daya alam berbasiskan investasi," katanya.
Dalam praktek yang ditemui di lapangan semangat untuk mendapatkan peningkatan PDRB di Provinsi Jambi di 2022, masih diletakkan pada harapan munculnya nilai ekonomi lebih dari adanya pengelolaan sumber daya alam yang sebanyak-banyaknya oleh pelaku industri sawit, HTI dan pertambangan.
Hal tersebut bisa dilihat dari masih luasnya wilayah Jambi yang saat ini sudah jatuh penguasaan dan pengelolaannya kepada kelompok industri sumber daya alam dan merupakan bagian dari strategi Pemerintah Jambi untuk menjaga iklim investasi berbasis sumber daya alam.
Abdullah juga mengatakan berdasarkan Konstitusi Indonesia, UUD 1945, menyebut sumber daya alam dikuasai oleh negara, dan mengamanatkan dikelola untuk sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat, tetapi data di bawah menunjukkan penguasaan sumber daya alam justru oleh segelintir kelompok.
Wilayah Jambi juga saat ini telah dikuasai oleh perizinan industri pada Kawasan hutan. Dari seluas 290.378 hektare sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan izin baru SK.57/Menlhk/Setjen/HPL.0/1/2018, saat ini secara faktual tidak bisa dipastikan apakah telah sesuai dengan SK.57/Menlhk/Setjen/HPL.O/1/2018 secara luasannya.
"Hal tersebut disebabkan, sampai saat ini masih banyak konflik-konflik yang belum terselesaikan dan konflik baru yang bermunculan antara masyarakat dan perusahaan Hutan Tanaman Industri di wilayah kawasan hutan," kata Abdullah lagi.
Sehingga situasi belum terselesaikan nya konflik lama dan munculnya konflik baru pada kawasan hutan yang menandakan belum berkesudahaannya perluasan izin hutan tanam industri di Jambi. Konflik-konflik yang terjadi di kawasan hutan ini terjadi dikarenakan terjadinya ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi di lapangan.
Disamping itu, masifnya pemberian izin kepada industri ekstraktif menunjukkan keberpihakan penguasa kepada pengusaha daripada memberikan akses penuh kepada masyarakat untuk mengelola lahan mereka, kata Abdullah.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perhutanan sosial di Jambi baru seluas 215 ribu ha