Jambi (ANTARA) - Hutan memegang peranan penting untuk mengendalikan perubahan iklim. Hingga kini, hutan dinilai terbukti mampu mereduksi karbondioksida sebagai penyebab utama perubahan iklim.
Menumbuhkan hutan dan mengelola kerusakan alam harus terus dilakukan, sebagai langkah penting dalam memitigasi dan adaptasi dengan perubahan iklim.
Di Jambi, upaya untuk menumbuhkan hutan ini mulai memperlihatkan hasilnya, meskipun belum terlalu signifikan. Dari analisis citra satelit Sentinel 2 yang dilakukan Unit GIS KKI Warsi, terlihat tutupan hutan Jambi naik 16.285 hektare atau 2 persen menjadi 912.947 hektare.
"Kenaikan tutupan hutan ini terlihat di sejumlah kawasan yang dikelola oleh masyarakat dengan skema perhutanan sosial, khususnya di pinggir kawasan konservasi yang masyarakatnya berkomitmen untuk melindungi hutan," kata Direktur KKI Warsi Adi Junedi, dalam perbincangan dengan ANTARA.
Tutupan kenaikan hutan merupakan wujud adanya kesadaran masyarakat yang mengelola hutan dengan baik dan mengambil peran untuk memulihkan hutan berbasis kearifan lokal yang dipertahankan hingga saat ini.
Perhutanan sosial yang didampingi lembaga swadaya masyarakat itu, pada 2020, dari 104.734 ha kawasan yang bertutupan hutan baik baru 59.498 ha atau 57 persen.
Dengan pengelolaan yang terus dilakukan masyarakat, hasil ini memperlihatkan bahwa mulai ada penambahan tutupan hutan. Dalam dua tahun terakhir tutupan hutan di areal perhutanan sosial bertambah 5.525 ha.
Pertumbuhan hutan di areal perhutanan sosial ini menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya hutan dan kerja keras yang dilakukan masyarakat untuk memulihkan hutan mulai menunjukkan hasil.
Kondisi ini yang harus terus didukung oleh semua pihak, karena kita semua menikmati setiap hembusan udara bersih yang dihasilkan oleh hutan.
Oleh karena itu, untuk menguatkan masyarakat pengelola hutan perlu adanya dukungan para pihak. Di sejumlah kawasan perhutanan sosial yang dikelola masyarakat saat ini berkembang program pohon asuh.
Dengan program ini, publik bisa terlibat langsung berdonasi untuk masyarakat yang sudah mengelola hutannya dengan baik. Masyarakat yang tertarik untuk mengikuti program ini bisa mengunjungi website www.pohonasuh.org.
Meskipun demikian, ancaman perburukan iklim hingga kini masih terjadi. Dari analisis citra Sentinel 2 memperlihatkan bahwa kondisi pemulihan sumber daya air Jambi masih membutuhkan pemulihan dan perbaikan tata kelola.
Dari analisis yang dilakukan, penambangan emas ilegal masih menjadi persoalan utama yang membelit kondisi alam di Jambi. Dari analisis citra Sentinel 2 terlihat bukaan alur sempadan sungai yang dilakukan penambang emas liar sudah mencapai 45.896 ha atau naik 3.535 ha atau 8 persen dari tahun sebelumnya.
Libatkan Orang Rimba
Hari raya Orang Rimba adalah musim buah yang melimpah di hutan. Pertahunan Agung, begitu istilah yang digunakan untuk menyatakan panen raya buah-buah di hutan.
Ada banyak buah yang tumbuh di hutan Orang Rimba, seperti durian, kuduk kuya, mata kucing, ajon, sengkoyo, rambutan, dekat, buasiu, siabuk, ranggung, kapesung, dan lainnya.
Sebelum musim buah biasanya akan diawali dengan musim madu. Bermekaran nya bunga-bunga di hutan menjadi penyedia nectar yang merupakan bahan pangan lebah. Nectar dikumpulkan lebah dalam sarangnya yang digantungkan di pohon-pohon besar dinamai sialang, bisa dari jenis kedondong dan jenis pohon lainnya.
Ketika musim ini tiba, itu sama artinya dengan kemewahan bagi Orang Rimba. Suku yang tinggal di dalam hutan dan mengandalkan hidup dari keramahan alam. Sayangnya kemewahan ini sudah semakin jarang terjadi. Peralihan musim yang tidak menentu diyakini sebagai penyebab perubahan ini.
"Sudah semakin jarang kami hari raya, musim buah semakin jarang," kata Tungganai Basemen, tetua adat Orang Rimba di Bukit Dua Balas, Jambi, dalam perbincangan dengan ANTARA.
Tungganai tidak tahu pasti apa yang menyebabkan perubahan ini, namun dia meyakini, hutan yang tidak lagi lebat bisa menjadi penyebabnya.
"Dulu hutan di lebat, kamia hopi ado penaihan, (dulu hutan lebat, kami tidak ada kepanasan)," katanya, dalam perbicangan.
Kepanasan yang dimaksud adalah sengatan matahari yang langsung terasa di kulit. Dulu hutan yang lebat melindungi Orang Rimba dari terpaan sinar matahari, sehingga hutan adalah tempat yang sejuk. Namun kini untuk menemukan hutan yang lebat sudah semakin sulit.
Perubahan situasi rimba ini beriringan dengan perubahan musim, yang berdampak pada berkurangnya sumber pangan Orang Rimba dari alam. Cerita lainnya juga datang dari warga perdesaan di Kabupaten Bungo Jambi.
Masyarakat yang tinggal di tepi hutan, mengandalkan pertanian sebagai sumber kehidupan. Di bentangan sawah yang dulunya menjadi sumber pangan, petani harus bekerja lebih ekstra dan mengeluarkan biaya lebih banyak karena serangan hama yang semakin banyak dan tidak dikenali lagi.
Jika dulu serangan hama bisa diprediksi dan dikendalikan berdasarkan kearifan lokal, saat ini hama yang menyerang padi makin banyak. Pekerjaan makin berlipat untuk menjaga padi guna mempertahankan panen.
Di pesisir timur Jambi, keluhan warga juga timbul. Laut pantai timur semakin kuat menghantam daratan. Kebun-kebun kelapa dan pinang yang menjadi sumber ekonomi warga pesisir mula terendam air laut.
Menghadapi itu warga berupaya meninggikan tanggul yang membatasi laut dengan daratan. Sebagian mampu menahan naiknya air laut ke daratan.
Sebagian lain menunggu nasib terendam air laut dan masyarakatnya kehilangan mata pencarian. Ada juga yang mencoba menjual murah kebunnya, namun hal itu menjadi kesulitan baru karena masa depan kebun itu sudah makin suram seiring dengan makin dekatnya air laut.
Penambangan emas
Dari analisis yang dilakukan tampak bahwa penambangan emas ilegal kini makin masuk jauh ke dalam kawasan hutan dan semakin banyak hadir di lahan masyarakat. Di kawasan hutan terpantau aktivitas ini berada di dalam kawasan konservasi.
Kerusakan yang terjadi di kawasan yang ditambang ini akan memperburuk kualitas hidup masyarakat yang tinggal di sekitar areal dan masyarakat di hilirnya.
Untuk itu, diperlukan langkah tegas agar bisa menghentikan penambangan emas liar ini. Dari pengalaman mendampingi masyarakat, penambangan emas ini bisa dihentikan dengan cara memberikan sumber ekonomi baru bagi masyarakat pelaku tambang.
Sejatinya masyarakat juga takut dengan aktivitas penambangan liar. Hanya saja bujuk rayu para toke dan oknum tertentu telah menyeret masyarakat ke dalam persoalan ekologi dengan cara mengatasi kesulitan ekonomi sesaat atau biasa disebut dengan rezeki harimau.
Dari pengamatan di lapangan, para penambang ini juga tidak merasakan ketenangan dalam mencari sumber ekonomi. Mereka mengaku sangat terbuka jika ada sumber ekonomi lain yang bisa diolah dan dikerjakan dan tentu bernilai ekonomi tinggi.
Di Bukit Bulan Sarolangun, sebuah LSM mengujicobakan pengembangan Kelompok Petani kakao sejak 2017. Sebagian anggota kelompok ini adalah bekas penambang yang insaf dan kembali berladang dengan komoditi kakao. Kini petani ini sudah bisa menjual hasil panen kakao mereka menjadi sumber ekonomi warga desa.
Ancaman
Pertambangan batu bara yang hadir di Provinsi Jambi, dari analisis Sentinel menunjukkan adanya lahan terbuka. Dari analisis yang dilakukan, terdapat 10.332 ha kawasan tambang terbuka batu bara yang bisa dapat dilihat langsung.
Melihat hal itu, tambang batu bara harusnya menjadi perhatian serius, karena sebagian besar lahan terbuka batu bara belum direklamasi dan dipulihkan fungsinya.
Hal itu penting dilakukan untuk memulihkan ekologi pascatambang.
Secara sosial, pengangkutan hasil tambang telah banyak berimplikasi pada kehidupan masyarakat lain. Ini timbul karena angkutan batu bara masih melewati jalan umum yang dilalui masyarakat.
Pemulihan ekologi harus dilakukan oleh semua pihak. Perlunya regulasi dan pegawasan jalannya regulasi untuk pemulihan ekologi. Ini penting menjadi perhatian kita bersama, mengingat Indonesia juga berkomitmen menurunkan emisi dari berbagai sektor, termasuk tata guna lahan dan menetapkan net zero emission tahun 2060.
Peelu dipatikan bahwa perusahaan harus menerapkan prinsip environmental, social and governance (ESG) dalam menjalankan dan memulai bisnisnya.
Prinsip ini penting untuk memastikan kelompok usaha menjalankan usahanya dengan kaidah-kaidah yang mendorong kelangsungan sumber daya alam secara berkelanjutan melalui tata kelola usaha yang baik dan benar, serta secara sosial diterima oleh masyarakat di sekitarnya.
Selain itu, pemerintah kita juga telah berkomitmen menerapkan Indonesia's FOLU, Forest and Other Land Use, (pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) Net Sink 2030, dimana kemampuan hutan seimbang antara serapan dengan emisi yang dikeluarkan.
Dalam rancangan yang dibuat dan kini tengah disosialisasikan ke pemangku kebijakan di daerah, Indonesia berencana untuk tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030.
Untuk mencapai target itu harus dilakukan dengan manajemen pengelolaan hutan berkelanjutan, tata kelola lingkungan dan tata kelola karbon. Tahun 2030 itu hanya 8 tahun dari sekarang, jadi pemerintah harus segera meninjau tata kelola kehutanan yang sudah berjalan.
Jika kita memang berkomitmen untuk mencapai FOLU net Sink ini, tentunya semua kegiatan operasional perusahaan yang belum ramah lingkungan harus segera ditinjau ulang.
Dengan catatan, pengelolaan sumber daya alam yang masih terjadi ini, memperlihatkan bahwa kita masih harus bekerja keras guna mencapai tujuan bersama menyelamatkan Bumi dari krisis iklim.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Perhutanan sosial "pupuk subur" kembalikan tutupan hutan di Jambi