"Anak perlu disadarkan bahwa sosmed itu adalah ranah publik meskipun dia mengakses dari perangkat pribadinya. Anak merasa hak untuk mem-posting apapun karena melalui perangkatnya," kata Vera kepada Antara di Jakarta, Rabu, melalui surat elektronik.
Orangtua, lanjut Vera, perlu mengajak anak untuk membayangkan media sosial sebagaimana pusat perbelanjaan dengan berbagai karakter orang di dalamnya, seperti orang jahat ataupun baik. Dengan demikian, anak akan berhati-hati menggunakan media sosial.
Vera juga meminta orangtua untuk tidak memberi hukuman fisik jika tidak berhasil mengajak diskusi kepada anak.
"Hukuman fisik tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Justru anak hanya akan takut, tapi tidak paham mengapa dia tidak boleh sembarangan menggunakan media sosial," katanya.
Jika anak terlanjur menjadi korban perundungan di media sosial, seperti yang dialami siswi Sekolah Menengan Pertama (SMP) di Pontianak bernama Audrey (14), orangtua bisa saja meminta anak menutup akun media sosialnya.
"Hal yang paling bijak adalah tidak membalas. Jika membalas, artinya kita sama buruknya dengan si pelaku bullying. Orangtua boleh menyimpan bukti bullying yang diterima anak melalui media sosial (screen shot dan sebagainya) sebagai bukti jika suatu saat nanti diperlukan," ujar Vera.
Baca juga: Psikolog sarankan dukungan layak bagi Audrey