Ambon (ANTARA) - Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan tidak benar bahwa posisi Maluku berada di tubir jurang dan akan ambles jika ada longsor palung laut, sebagaimana informasi yang sedang beredar di masyarakat saat ini.
"Maluku tidak berada di tubir jurang. Memang ada palung laut tapi bukan jurang seperti dibayangkan oleh masyarakat yang bisa longsor begitu saja," kata Kepala P2LD LIPI Nugroho Dwi Hananato, di Ambon, Sabtu.
Sebelumnya, beredar luas gambar data permukaan dasar laut Maluku yang disebut sebagai hasil foto satelit tiga dimensi Kepulauan Maluku, juga disertai informasi posisi Pulau Ambon dan Lease tepat berada di tubir jurang palung laut paling dalam di dunia.
Pada gambar itu, Pulau Ambon, Lease, dan Seram disebutkan akan ambles di jurang palung apabila terjadi longsor bawah laut, seperti halnya Tanjung Elpaputih yang dikatakan bukan dihantam tsunami, tetapi jatuh menghilang ke dalam Palung Seram, seratus tahun lalu.
Menanggapi hal itu, Nugroho menyatakan informasi tersebut tidak benar, sebab tidak memiliki landasan dan fakta ilmiah.
Oleh karena itu, katanya, masyarakat diimbau untuk tidak panik dan khawatir akan terjadi bencana mengerikan sebagaimana disebutkan dalam gambar yang tersebar.
"Itu bukan foto tiga dimensi tapi gambar data batimetri atau morfologi dasar laut yang dikirimkan dari satelit. Gambarnya diperkecil jadi jaraknya terlihat dekat tapi sebenarnya jaraknya jauh," ucapnya.
Ahli geologi itu menjelaskan palung laut terdalam di dunia bukan di Maluku, melainkan Palung Mariana di Kepulauan Mariana, Filipina yang memiliki kedalaman sekitar 11.000 meter di bawah permukaan laut, sedangkan di Maluku, palung terdalam berada di Laut Banda, dengan kedalaman diperkirakan 7.700 meter di bawah permukaan laut.
Bebatuan penyusun lereng bawah laut di dalam zona subduksi seperti Laut Banda, umumnya tersusun oleh campuran kerak benua dan kerak samudera sehingga tidak mudah patah maupun longsor begitu saja.
Ia menyebut belum ada bukti maupun fakta ilmiah yang bisa menjelaskan bahwa longsornya lereng Palung Banda juga bisa ikut menenggelamkan Ambon, Pulau-Pulau Lease, dan Seram.
"Kesimpulan itu terlalu dini. Kita tidak bisa berandai-andai, tidak gampang tiba-tiba longsor dan semuanya ikut tenggelam, tidak demikian. Batuan-batuan di dalam zona subduksi tersusun oleh campuran antara kerak benua, kerak samudera, keras sekali," ujar Nugroho.
Dia mengatakan selain gempa berkekuatan besar sebagai pemicu, ada berbagai faktor lainnya yang bisa memengaruhi longsornya lereng palung laut, di antaranya kestabilan lereng dan jenis bebatuan penyusun lereng bawah laut itu sendiri.
Gempa tektonik magnitudo 6,5 yang terjadi di Pulau Ambon dan sekitarnya pada 26 September 2019, juga gempa-gempa susulan dengan skala yang lebih kecil di bawahnya, seperti halnya gempa magnitudo 5,2 yang terjadi pada 10 Oktober 2019, tidak bisa memicu terjadinya longsor di Palung Banda,
"Gempa besar sekali yang terjadi di bawah laut yang memicu longsor, kalau gempanya hanya berskala 5,2 atau 3,2 atau enam koma berapa tidak akan memicu longsor di daerah ini, kurang kuat," katanya.