Jambi (ANTARA) - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Jambi melimpahkan tujuh orang tersangka korupsi pembangunan Asrama Haji Jambi yang merugikan negara sebesar Rp11,7 miliar tahun anggaran 2016 kepada jaksa Kejati Jambi untuk proses hukum selanjutnya.
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirkrimsus) Polda Jambi, Kombes Pol Thien Thabero di Jambi Selasa, mengatakan hari ini penyidik Polda menyerahkan barang bukti dan ketujuh orang tersangka korupsi pembangunan Asrama Haji Jambi ke jaksa Kejaksaan tinggi (Kejati) Jambi.
Setelah dilengkapi berkas perkaranya dan hasil audit yang dilakukan BPKP Perwakilan Jambi ditemukan kerugian negara yang mencapai Rp11,7 miliar dari total anggaran sebesar Rp51,05 miliar yang pekerjaannya tidak sesuai dan tidak selesai dikerjakan oleh rekannya PT Guna Karya Nusantara (GKN).
Baca juga: Tersangka kasus korupsi pembangunan jalan di Jayapura segera disidang
Baca juga: Kejari Sampang panggil sembilan saksi terkait korupsi dana desa
Kemudian lagi polisi menemukan volume pekerjaan yang tidak selesai dikerjakan sebesar 28,475 persen. Kekurangan volume pekerjaan ini diketahui dari hasil audit investigasi teknis yang dilakukan tim ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dalam kasus ini, penyidik telah menetapkan tujuh orang tersangka salah seorang diantaranya adalah Thahir Rahman, mantan Kakanwil Kemenag Jambi periode 2015-2017, yang dalam proyek tersebut bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Tersangka lainnya adalah Dasman, staf Bidang Haji Kanwil Kemenag Jambi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta Eko Dian Iing Solihin, kepala ULP Kanwil Kemenag Jambi selaku ketua Pokja ULP.
Kemudian Mulyadi alias Edo selaku direktur PT Guna Karya Nusantara Cabang Banten, T Syah selaku sub kontraktor dalam pembangunan dan pengembangan asrana haji Jambi, Johan Arifin Muba selaku pemilik proyek, serta Bambang Marsudi Rahardja selaku pemodal proyek.
Para tersangka dijerat dengan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dengan ancaman pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar, kata Thien Thabero.
Baca juga: Kasus KTP-e, Markus Nari dituntut 9 tahun penjara
Baca juga: Akademisi berharap Jaksa Agung baru tuntaskan kasus korupsi