Jakarta (ANTARA) - Terdiri dari total 74.957 desa yang tersebar di seluruh penjuru negeri, Indonesia juga memiliki penduduk yang sekitar 46,7 persen di antaranya tinggal di perdesaan, menurut data proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) 2015.
Melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) hingga bantuan sosial untuk mendorong daya beli, upaya pemulihan ekonomi juga memerlukan kontribusi aktif berbagai pihak, baik pemerintah melalui kementerian dan lembaganya, swasta dan juga seluruh kalangan masyarakat, termasuk dorongan untuk meningkatkan keterwakilan kelompok rentan dan marginal, seperti perempuan, lansia, masyarakat adat dan difabel, serta peningkatan kualitas pendidikan bagi anak-anak untuk mewujudkan SDM unggul.
Untuk mencapai semua itu dibutuhkan kebijakan yang lebih inklusif sehingga memberikan ruang partisipasi bagi kelompok rentan dan marginal tersebut.
Untuk itulah, pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengupayakan desa inklusi untuk semua warga desa.
Upaya mewujudkan desa inklusi bagi semua warga desa tersebut merupakan bagian dari bentuk perhatian dan kepedulian pemerintah terhadap seluruh masyarakat, khususnya warga masyarakat di desa.
Selain itu, desa inklusi juga diupayakan untuk memberikan perlindungan bagi kelompok rentan dan marginal, sesuai dengan mandat Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menekankan perlindungan bagi perempuan, anak, lansia, masyarakat adat dan difabel.
"Desa inklusi itu sangat dibutuhkan untuk dikembangkan terus-menerus karena desa inklusi adalah miniatur dari kebinekaan bangsa Indonesia," kata Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar.
Pria yang akrab disapa Gus Menteri itu menilai sebuah desa akan menjadi sangat indah jika warganya dapat saling menghormati, saling menghargai, mengakomodasi dan saling berperan aktif dalam pembangunan desa.
Untuk itulah, desa inklusi akan terus dikembangkan di Indonesia. Terlebih dengan adanya kerja sama dari sejumlah pihak untuk mewujudkan desa inklusi bagi semua warga.
Adapun saat ini telah terdapat banyak desa inklusi dengan 14 desa di antaranya menjadi pilot project atau daerah percontohan untuk desa inklusif yang dikembangkan atas kerja sama Kemendes PDTT bersama Universitas Gajah Mada (UGM) dan organisasi Keluarga Alumni UGM (Kagama), antara lain tersebar di tujuh provinsi, yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Timur (Kaltim), Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Tengah, Lampung dan Yogyakarta.
Desa Ramah Perempuan
Dalam upaya mewujudkan desa inklusi, kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada perempuan dan meningkatkan keterwakilan mereka dalam proses memajukan desa juga dibutuhkan.
Untuk itu, Kemendes PDTT mengupayakan desa yang ramah terhadap perempuan. Desa ramah perempuan tidak hanya memberikan perlindungan bagi perempuan dari berbagai potensi kekerasan, tetapi juga memberikan ruang lebih banyak bagi mereka untuk berkarya.
Demikian yang dirasakan oleh Trim, warga di Desa Klareyan, Pemalang, Jawa Tengah, yang berprofesi sebagai bidan.
Budaya patriarki yang menjunjung tinggi derajat laki-laki di atas perempuan memang masih melekat kuat di antara warga desa. Tetapi, budaya tersebut, menurutnya, masih tetap bisa beriringan dengan upaya pemerintah memberdayakan perempuan dengan segala potensinya.
Budaya yang ada tidak membatasi dirinya untuk mengabdikan diri, menjalankan tugas mulia sebagai seorang bidan.
Profesi bidan di kalangan warga desa, bahkan dinilai sangat mulia, karena telah banyak membantu para ibu dalam proses persalinan. Hal itu, memacunya untuk terus berjuang membantu meningkatkan kesehatan masyarakat di desa.
Selain dorongan dari suami, kebijakan pemerintah desa yang menyetarakan kedudukan perempuan di ruang publik juga semakin mendorongnya untuk terus berkarya dan berkontribusi membangun desa.
"Jadi, (peran perempuan) penting sekali," katanya.
Bahkan, Wamendes PDTT Budi Arie Setiadi menilai peran perempuan sangat penting untuk mempercepat laju pembangunan di desa.
Untuk itu, ia mengajak para perempuan untuk tetap semangat dan ikut terlibat menjadi bagian dari upaya penguatan kekuatan ekonomi desa, bukan sekadar menjadi kekuatan sosial masyarakat.
Adapun berbagai upaya yang telah dan akan terus diupayakan pemerintah untuk mewujudkan desa yang ramah perempuan, antara lain dengan mendorong adanya peraturan desa (perdes) atau surat keputusan (SK) kepala desa (kades) yang responsif gender guna mendukung pemberdayaan perempuan minimal 30 persen dan menjamin perempuan untuk mendapatkan pelayanan, informasi dan pendidikan terkait keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
Angka partisipasi kasar (APK) perempuan di sekolah SMA/SMK/MA juga akan terus diupayakan hingga mencapai 100 persen. Selain juga mendorong persentase jumlah perempuan di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan perangkat desa minimal 30 persen serta persentase jumlah perempuan yang menghadiri musyawarah desa (musdes) dan partisipasinya dalam pembangunan desa minimal 30 persen juga.
Penurunan prevalensi kasus kekerasan terhadap anak perempuan juga akan terus diupayakan hingga mencapai zero kasus, sedangkan layanan komprehensif dalam kasus kekerasan terhadap perempuan akan ditingkatkan hingga mencapai 100 persen.
Sementara itu, melalui upaya yang terus menerus, pemerintah melalui Kemendes PDTT juga berkomitmen agar median usia kawin pertama perempuan di desa di atas 18 tahun, dan angka kelahiran pada remaja usia 15-19 tahun bisa mencapai nol persen.
Desa peduli anak
Selain mengupayakan desa yang ramah terhadap perempuan, pemerintah melalui Kemendes PDTT juga berupaya mewujudkan desa yang peduli terhadap anak, sehingga anak-anak Indonesia dapat melalui masa pertumbuhannya dengan baik dan menjadi generasi muda yang unggul di masa mendatang.
Data BPS menunjukkan bahwa saat ini kesehatan anak-anak dari keluarga miskin relatif rentan sejak awal kehidupannya. Anak-anak yang kekurangan gizi dan mengalami stunting juga tercatat mencapai 30 persen pada 2018.
Untuk mengatasi itu, pemerintah menganggap perlu kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak sedari awal. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan anak juga diperlukan agar mereka tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga berdaya saing di tingkatan yang lebih luas.
Pemerintah menilai upaya untuk mewujudkan desa yang peduli terhadap anak merupakan kebutuhan yang mendesak karena perkembangan anak merupakan ukuran paling presisi dari kemajuan sebuah masyarakat.
Selain itu, anak yang berusia sekitar satu tahun dan di bawah lima tahun (balita) juga sangat rentan terhadap kondisi buruk lingkungannya, sehingga kesuksesan anak melewati periode tumbuh kembangnya pada dasarnya menunjukkan keberhasilan masyarakat itu sendiri.
Sementara itu, meski manfaat desa peduli anak baru bisa dirasakan oleh masyarakat belasan tahun kemudian ketika anak menjadi dewasa, tetapi dukungan terhadap peningkatan kualitas tumbuh kembang dan pendidikan mereka sedari awal juga pada akhirnya akan mempercepat pembangunan sebuah bangsa, karena kemajuan bangsa dapat diukur pula dari kemajuan desa-desanya.
Oleh karena itu, program imunisasi lengkap, penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI eksklusif dan program peningkatan gizi bagi ibu dan anak terus diupayakan untuk membantu anak-anak melalui seribu hari pertama kehidupan mereka dengan baik, sehingga kelak mereka terhindar dari stunting dan menjadi SDM yang unggul di masa mendatang.
Dengan berbagai upaya pembangunan yang diterjemahkan melalui program-program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) Desa, yang di dalamnya mencakup upaya mewujudkan desa peduli anak, pemerintah berharap pembangunan di desa dapat mempercepat penurunan angka kematian di desa.
Pembangunan yang diimplementasikan melalui program SDGs Desa juga diharapkan mampu menurunkan kematian bayi baru lahir dan balita di desa. Untuk itu, Kemendes PDTT mengizinkan pemerintah desa membelanjakan Dana Desa-nya untuk perbaikan balai pengobatan dan persalinan, pengadaan alat kesehatan, dan obat-obatan.
Dana Desa juga boleh dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk membiayai dana operasional bidan dan kader kesehatan ketika melakukan kunjungan dan memeriksa kesehatan ke rumah-rumah warga berpendapatan rendah, selain juga untuk kampanye imunisasi, yang diikuti dengan penyuluhan dan pemberian imunisasi anak oleh petugas kesehatan, serta untuk penyuluhan terkait tumbuh-kembang anak, peran ayah dalam pengasuhan dan sebagainya.
Sementara itu, untuk meningkatkan pendidikan anak di desa, Kemendes PDTT mendorong kepada seluruh desa untuk melakukan sensus pendaftaran sekolah bagi anak yang putus sekolah dan anak tidak sekolah.
Pemerintah desa juga diarahkan untuk menyalurkan bantuan biaya sekolah bagi anak tidak sekolah atau putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi, menyalurkan peralatan persiapan untuk masuk sekolah bagi keluarga miskin yang diikuti dengan penyediaan bantuan biaya pendidikan, seperti transportasi, uang buku, seragam hingga jenjang pendidikan menengah pertama dan atas.
Pemberian bantuan biaya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus juga perlu disiapkan, selain juga perlunya mempertimbangkan penyediaan telepon pintar dan langganan internet bersama bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu dan membiayai operasionalisasi pelatihan anak-anak di luar jam sekolah.
Pemerintah dalam tahap ini pada dasarnya telah mengupayakan apapun yang perlu diupayakan untuk mendorong pembangunan desa dan mewujudkan desa yang inklusif bagi semua warga, demi kemajuan bangsa. Namun demikian, upaya-upaya tersebut tentu tidak lepas dari berbagai kendala.
Untuk itu, sudah seyogyanya bagi masyarakat untuk mendukung upaya-upaya itu guna mempercepat tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.