Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi menjelaskan kebijakan tidak menyiarkan langsung secara daring sidang lanjutan sengketa hasil Pilkada 2020 agar mendapatkan keterangan saksi yang natural dan bebas dari pengaruh.
"Ini konteksnya adalah mendengarkan saksi, nanti dikhawatirkan saksi berikutnya dari termohon akan dengan mudah menyangkal (counter) kesaksian Bapak (pemohon), demikian juga sebaliknya," ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam sidang lanjutan dengan agenda pembuktian sengketa hasil pilkada di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, yang disiarkan secara daring.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ingin mendengar keterangan saksi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak termohon dan pasangan calon yang menjadi pihak terkait sesuai yang disiapkan tanpa perubahan setelah mendengar saksi dari pemohon.
Ia mengatakan dalam sidang umum, saksi menunggu di luar ruang sidang hingga dipanggil untuk memberi keterangan. Esensi penundaan penayangan sidang lanjutan sengketa hasil pilkada dikatakannya tidak berbeda dengan hal itu.
"Jadi para khalayak akan bisa menyaksikan siaran ini dalam siaran tunda. Memang ini ada kekhususan," ujar Hakim Suhartoyo.
Adapun dalam sidang pemeriksaan pendahuluan untuk 132 permohonan perselisihan hasil Pilkada 2020, Mahkamah Konstitusi membatasi pihak yang hadir dalam ruang sidang untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Meski dilakukan pembatasan, khalayak umum dapat mengikuti jalannya persidangan secara langsung melalui laman resmi Mahkamah Konstitusi atau kanal dalam aplikasi berbagi video.
Sementara untuk sidang lanjutan, Mahkamah Konstitusi menyiarkan secara daring setelah sidang selesai.
Pada Senin, Mahkamah Konstitusi mendengar keterangan saksi untuk perkara sengketa hasil Pilkada Belu, Sumba Barat dan Kalimantan Selatan. Ketiga perkara itu termasuk dari total 32 permohonan perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah 2020 yang melaju ke persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian.