Surabaya (ANTARA) - Suasana Lebaran 2021 ini tampaknya masih akan sama dengan Lebaran tahun lalu yang tidak memungkinkan para perantau untuk mudik.
Meskipun suasana psikis masyarakat terkait dengan penyebaran COVID-19 sudah tidak semenakutkan pada 2020, yang merupakan tahun pertama masuknya virus itu, potensi sebaran COVID-19 saat ini masih dinilai tinggi, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan melarang perantau mudik.
Kepala Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengingatkan masyarakat agar mewaspadai penyebaran COVID-19 dalam aktivitas keagamaan.
Dia berharap, aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan betul-betul dilakukan sesuai dengan aturan atau mematuhi protokol kesehatan.
Kasus yang terjadi di India betul-betul menjadi pelajaran berharga dalam upaya bersama pemerintah dengan seluruh elemen masyarakat Indonesia agar bisa segera keluar dari keadaan wabah yang menakutkan ini.
Diketahui lebih dari 1.000 orang dinyatakan positif COVID-19 setelah melakukan ritual mandi bersama di Sungai Gangga di India tanpa menerapkan protokol kesehatan.
Oleh karena itu, Doni Monardo mengingatkan bahwa peningkatan COVID-19 karena masyarakat tidak patuh kepada protokol kesehatan.
Banyak pihak mengungkapkan bahwa kasus yang terjadi di India dipicu oleh abainya masyarakat pada protokol kesehatan saat melakukan ritual keagamaan. Akibatnya, saat ini India mengalami gelombang kedua pandemi COVID-19. Istilah gelombang kedua ini juga sudah lama diingatkan agar masyarakat di suatu wilayah atau negara tidak terlena dengan tren mulai menurunnya jumlah pasien dalam waktu tertentu.
Peringatan gelombang kedua ini digaungkan karena ada kecenderungan masyarakat menunjukkan euforia dengan mengabaikan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 ketika menganggap SARS-Cov2 itu sudah tidak ada di daerah atau negaranya.
Baca juga: Wiku: Tidak mudik akan selamatkan mayoritas lanjut usia
Terkait dengan larangan mudik Lebaran 2021, sejumlah kalangan masyarakat tidak setuju. Mereka menandai ketidaksetujuan itu dengan beredarnya "protes" di sejumlah saluran, khususnya media sosial.
Hal ini menunjukkan ada keinginan besar masyarakat tetap mudik. Oleh karena itulah, sejumlah pemerintah daerah bersama Polri melakukan antisipasi dengan penyekatan di sejumlah titik yang potensial menjadi pintu masuk para pemudik.
Mematuhi agama
Sebagai negara yang dikenal agamis, kaidah agama agaknya bisa menjadi pedoman bersama bagi masyarakat untuk mematuhi kebijakan pemerintah yang menilai potensi penularan COVID-19 masih tinggi.
Setidaknya ada beberapa kaidah agama yang bisa dijadikan pedoman oleh masyarakat muslim di Indonesia untuk tidak memaksakan diri bersilaturahim dengan keluarga di kampung halaman.
Pertama, kita bisa memedomani Al Quran Surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi, "Yaa ayyuhaalladziina aamanuu, athii'uullaaha wa-athii'uurrasuula, waulil amri minkum fain tanaaza'tum fii syay-in farudduuhu ilallaahi warrasuuli inkuntum tu'minuuna biallaahi walyaumil aakhiri dzaalika khayrun wa ahsanu ta'wiilaan. Terjemahan ayat itu, "Wahai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
Dari ayat ini kita yang masih memiliki keinginan kuat untuk memaksa mudik, bisa mengubah niat bahwa mematuhi larang mudik dari pemerintah di masa pandemi ini dalam rangka mematuhi ajaran agama, yakni kita harus mematuhi kebijakan pemerintah.
Di tengah kehidupan yang banjir informasi lewat saluran media sosial, banyak di antara kita mempertanyakan hampir semua kebijakan pemerintah apakah itu untuk kepentingan rakyat atau hanya kepentingan elite tertentu.
Marilah kita kembali lagi ke ajaran agama. Saat ini kita semua sedang berpuasa. Walaupun kaidah fiqih dari puasa itu "hanya" menahan diri tidak makan dan minum serta hal-hal lain yang dilarang dari waktu subuh hingga maghrib, secara substansial, puasa itu juga tentang menahan hawa nafsu, termasuk nafsu untuk berprasangka buruk kepada pemerintah.
Meskipun kita bukan negara Islam, pedoman pada ajaran dasar Islam dalam mengelola pemerintahan dan mengayomi warganya telah digariskan dalam konstitusi kita. Apalagi pedoman dasar bernegara kita, yakni Pancasila, telah menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai panduan pertama dalam menjalankan kehidupan bernegara dan berbangsa.
Baca juga: Menag: Larangan mudik karena negara ingin lindungi warganya
Ahli Ilmu Fiqih dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kabupaten Situbondo, Jatim Dr (Hc) K.H. Afifuddin Muhajir dalam bukunya "Fiqih Tata Negara" menukil ungkapan Imam Syafi'i, yakni "Posisi pemimpin terhadap rakyatnya sama dengan posisi pengasuh anak yatim terhadap anak yatim asuhannya".
Posisi pemerintah terhadap rakyatnya ini bisa kita ambil dari pernyataan Juru Bicara Pemerintah Untuk Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito yang mengatakan tidak mudik akan menyelamatkan keluarga yang mayoritas lanjut usia, karena biasanya saat mudik Lebaran akan mengunjungi keluarga yang lebih tua.
Jika kita tidak mudik, maka kita sudah mengambil bagian dalam ikhtiar menyelamatkan sanak saudara yang mayoritas lanjut usia, yang menduduki persentase besar kontributor kasus dan kematian COVID-19. Terkait dengan hal ini, maka kita diminta bersikap bijak sebelum bertindak untuk mudik.
Menurut Wiku, lansia rentan terinfeksi COVID-19 karena daya tahan tubuh mereka cenderung lemah dan berisiko tinggi terhadap kematian akibat COVID-19 apalagi jika memiliki penyakit penyerta.
Dari pernyataan Wiku ini, kita mengambil kaidah kedua bahwa menaati ketentuan pemerintah untuk tidak mudik juga merupakan bagian dari menjalankan perintah agama. Bukankah agama mengajarkan kita untuk menyayangi orang tua dan anak kecil, lebih-lebih orang tua kandung?
Dari kasus ini, jangan sampai niat baik kita menjalankan perintah agama untuk bersilaturahim dengan orang tua di kampung halaman, justru membawa banyak mudarat pada orang tua dan keluarga besar kita. Apalagi, nilai silaturahim masih bisa kita atasi atau kerjakan dengan memanfaatkan kemudahan yang disediakan kemajuan teknologi lewat saluran telepon seluler yang menyediakan panggilan dengan video atau media sosial lainnya.
Baca juga: DPR: Larangan mudik untuk keselamatan bersama
Kaidah lain yang bisa kita jadikan pertimbangan untuk mengurungkan niat mudik adalah ungkapan populer "Hubbul wathoon minal iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman)". Menurut ulama ahli tafsir Prof Dr Quraish Shihab dalam bukunya "Wawasan Al-Quran", ungkapan populer itu diyakini sebagian orang sebagai hadits Nabi.
Quraish Shihab menguraikan bahwa cinta tanah air itu juga banyak ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap tanah kelahirannya di Kota Mekkah, ketika harus hijrah ke Kota Madinah.
Kata Quraish Shihab, sambil menegok ke Kota Mekkah, Nabi berucap, "Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya".
Terkait dengan larangan mudik, kita bisa bersandar pada kaidah cinta tanah air ini. Larangan mudik upaya kita bersama agar bangsa ini segera keluar dari masa pandemi yang sudah melanda hampir semua belahan dunia.
Kalau kita mencintai negeri ini, dengan memilih tidak mudik pada Lebaran tahun ini, kita telah berkontribusi, sekecil apapun, untuk mencintai negara warisan perjuangan para leluhur.
Masihkah mau memaksa mudik? Pilihan ada di kita masing-masing.
Baca juga: Mendagri minta larangan mudik dipatuhi agar tidak seperti India
Baca juga: Muhammadiyah minta warga tahan diri untuk tak mudik Lebaran
Baca juga: MUI: Patuhi larangan mudik agar kasus COVID-19 tidak melonjak