Jakarta (ANTARA) - Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai bahwa laba bersih Rp15 triliun yang diperoleh Pertamina tidak terlepas dari kemampuan BUMN tersebut menurunkan beban perusahaan yakni beban pokok penjualan dan beban lain yang turun dari 46,6 miliar dolar AS menjadi 34,5 miliar dolar.
Penurunan beban tersebut, menurut dia sangat penting, terlebih dibandingkan 2019, sebenarnya pendapatan Pertamina 2020 turun 13,3 miliar dolar AS dari 54,7 miliar dolar AS menjadi 41,4 miliar dolar AS.
"Kalau bukan Pertamina, kehilangan 25 persen pendapatan yang angkanya ratusan triliun rupiah sudah pasti akan membuat perusahaan manapun langsung gulung tikar,” ujar Salamuddin dalam keterangannya.
Baca juga: Anggota DPR apresisasi Pertamina raih laba bersih Rp15 triliun
Menurut dia, dalam kondisi tekanan pandemi seperti sekarang, Pertamina memiliki manajemen keuangan yang lebih baik dibandingkan perusahaan migas lain.
"Dalam situasi pandemi, manajemen keuangan Pertamina lebih baik dibandingkan perusahaan multinasional. Pertamina bisa keluar dari zona keterpurukan, sedangkan perusahaan lain tidak. Bahkan, banyak perusahaan migas juga melakukan pemutusan hubungan kerja. Pertamina sama sekali tidak. Padahal, yang juga berbahaya bagi perusahaan minyak, selain kerugian adalah PHK,” katanya.
Pada 2020, banyak perusahaan migas dunia mengalami kerugian di antaranya Shell yang merugi hingga 21,68 miliar dolar AS, BP yang rugi 20,31 miliar dolar AS, Exxon Mobil mengalami kerugian hingga 22,44 miliar dolar AS.
Baca juga: PHE catat kinerja positif, lampaui target 2020
Selain itu Total merugi 7,24 miliar dolar AS, Chevron rugi 5,5 miliar dolar AS, ENI dengan kerugian 9,53 miliar dolar, dan Petronas mencapai 5,54 miliar dolar.
"Konsep manajemen keuangan Pertamina seperti itulah, yang perlu menjadi contoh, termasuk oleh BUMN lain. Jadi, tidak ada masalah dengan penurunan penjualan sebesar apapun. Yang penting, kemampuan BUMN menurunkan beban biaya,“ katanya.