New York (ANTARA) - Harga minyak anjlok pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), terpukul oleh lonjakan dolar setelah Presiden AS Joe Biden mengatakan pemerintahannya sedang mencari cara untuk mengurangi biaya energi di tengah lonjakan inflasi yang lebih luas.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember anjlok 2,81 dolar AS atau 3,3 persen, menjadi berakhir di 81,34 dolar AS per barel, setelah mencapai tertinggi 84,97 dolar AS per barel, tak jauh dari tertinggi tujuh tahun yang disentuh dalam beberapa minggu terakhir.
Minyak mentah berjangka Brent dan WTI turun tajam pada akhir sesi karena pedagang menjual aset-aset berisiko, termasuk saham dan komoditas, didorong oleh ekspektasi bahwa bank sentral akan mengambil langkah-langkah untuk menahan kenaikan harga.
Data inflasi konsumen pada Rabu (10/11/2021) menunjukkan harga-harga AS naik pada tingkat 6,2 persen tahun-ke-tahun, tingkat tercepat mereka dalam tiga dekade, dan dapat memacu Gedung Putih dan Federal Reserve AS untuk mengambil tindakan guna mencegahnya. Itu mendorong dolar, yang sering diperdagangkan terbalik dengan minyak.
"Tidak diragukan lagi, ada lebih banyak tekanan pada pemerintah setelah angka inflasi hari ini," kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group. "Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa Fed mungkin harus kembali bertindak lebih agresif pada kenaikan suku bunga, sehingga membuat dolar menguat."
Inflasi memanas karena hambatan ekonomi dari gelombang musim panas infeksi COVID-19 memudar dan kemacetan pasokan terus berlanjut. Federal Reserve diperkirakan akan mencoba untuk mencegah kenaikan harga-harga yang sedang berlangsung, yang telah berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan semula.
Itu memicu reli dolar, yang melemahkan harga minyak karena meningkatkan biaya bagi negara lain sebab minyak sebagian besar ditransaksikan dalam dolar.
Biden mengatakan dia meminta Dewan Ekonomi Nasional untuk bekerja mengurangi biaya-biaya energi dan Komisi Perdagangan Federal untuk mendorong kembali manipulasi pasar di sektor energi dalam upaya yang lebih besar untuk membalikkan inflasi.
"Komentar itu menyebabkan pasar melemah," kata Bob Yawger, direktur energi berjangka untuk Mizuho di New York.
Secara terpisah, persediaan minyak mentah AS juga naik 1 juta barel dalam minggu terakhir, jauh dari perkiraan untuk peningkatan 2,1 juta dalam stok minyak mentah.
Beberapa pedagang mengatakan pada Rabu (10/11/2021) bahwa harga-harga dapat terus naik dalam beberapa bulan mendatang, tetapi mencatat juga bahwa reli yang sedang berlangsung dapat memacu lebih banyak produksi industri serpih yang akan mengimbangi permintaan.
Pasar telah reli dalam beberapa hari terakhir di tengah ekspektasi bahwa Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang dipimpin oleh Arab Saudi, bersama dengan sekutu pengekspor lainnya, akan mempertahankan peningkatan produksi yang stabil.
Harga tinggi dapat mendorong industri minyak serpih AS untuk melepaskan 1 juta barel per hari ke pasar global, kata Marco Dunand, kepala eksekutif di Mercuria Energy Trading, berbicara di Reuters Commodity Trading Summit.
OPEC+, demikian kelompok pengekspor yang lebih luas disebut, menolak seruan Gedung Putih untuk meningkatkan produksi. Produksi AS baru-baru ini mencapai 11,5 juta barel per hari, masih kurang dari 13 juta barel per hari yang dicapai pada akhir 2019.
Gedung Putih telah berjinjit di sekitar kemungkinan melepaskan minyak dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) AS di tengah kekhawatiran atas kenaikan harga bensin baru-baru ini. Umumnya, AS membuka keran SPR dalam keadaan darurat, seperti badai.
Baca juga: Emas melonjak 17,5 dolar, data inflasi AS yang kuat angkat daya tarik
Baca juga: IHSG ditutup menguat, ditopang data ekonomi RI yang membaik
Baca juga: Rupiah ditutup melemah tipis, pelaku pasar cermati data inflasi AS