Jakarta (ANTARA) - Penggunaan teknologi kesehatan digital baik telemedisin (konsultasi online) ataupun tele-health dikatakan mengalami perkembangan bahkan sebagian orang berpendapat layanan ini termasuk mengalami akselarasi cepat selama pandemi COVID-19.
Terkait COVID-19, saat terjadi peningkatan kasus cukup signifikan pada akhir Juni 2021 dan Juli 2021, layanan telemedisin dihimpun oleh Kementerian Kesehatan bersama apotek dan layanan pengantaran menyediakan layanan isolasi mandiri.
Uji coba program dimulai pada 6 Juli 2021 dan 7 Juli 2021. Good Doctor mencatat, sejak saat itu, setiap hari sekitar 3.000 orang berkonsultasi ke 11 layanan telemedisin di Indonesia.
Baca juga: "Telehealth" Klinik Pintar raih pendanaan Series A Rp58 miliar
Alur program ini dibuat sederhana, yakni mulai dari satu pusat yang mengendalikan data hasil PCR. Apabila hasil PCR seseorang positif, maka orang itu akan langsung mendapatkan pesan dan bisa melakukan telekonsultasi. Tujuannya, untuk menahan laju orang ke rumah sakit karena sudah penuh.
Setelah berhasil memulai konsultasi melalui telemedisin, dokter menanyakan adakah gejala-gejala yang membutuhkan perawatan khusus sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Dari jawaban itu akan ditentukan, apakah pasien perlu atau tidak pergi ke rumah sakit, diisolasi sendiri dan dirawat sesuai dengan kategorinya.
Pada mereka yang akhirnya diputuskan menjalani isolasi mandiri, bisa mengakses platform layanan kesehatan untuk mendapatkan pendampingan dokter, mendapatkan bantuan telekonsultasi dan pengobatan melalui aplikasi.
Salah satu platform yang berpartisipasi, Alodokter mencatat lebih dari 30.000 pasien COVID-19 telah memaanfatkan layanan dokter pribadi hingga Agustus 2021.
Selain dokter pribadi, pasien dapat mengakses layanan berbayar berupa konsultasi dengan dokter spesialis yang tersedia 24 jam serta dapat melakukan proses booking tes COVID-19 langsung dari aplikasi.
Baca juga: Aplikasi telemedisin sebut kesehatan mental jadi fokus pasca-COVID
Sementara itu, Halodoc melaporkan lebih dari 10 kali pertumbuhan permintaan dalam platform mereka termasuk dukungan untuk program isolasi mandiri bagi pasien terkonfirmasi positif COVID-19 dengan gejala ringan bersama Kementerian Kesehatan.
Masih terkait COVID-19, selain telemedisin, teknologi digital juga dimanfaatkan dalam program vaksinasi sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2. Kerja sama Grab bersama Good Doctor salah satunya, yang berpartisipasi menyediakan sentra vaksin di lebih dari 54 kota dan kabupaten di se-Indonesia.
Sentra vaksin ini membantu ratusan ribu masyarakat, termasuk lansia, penyandang disabilitas, pekerja sektor pariwisata serta mitra pengemudi di berbagai wilayah Indonesia mendapatkan vaksin COVID-19.
Sementara itu, Halodoc membuka layanan vaksinasi secara drive thru maupun walk-in di 11 lokasi di 9 kota di Indonesia. Secara kumulatif hingga Agustus 2021, mereka telah memfasilitasi lebih dari 250.000 orang mendapatkan akses vaksinasi COVID-19.
Bentuk lain pemanfaatan teknologi digital dalam bidang kesehatan juga berwujud pemantauan kesehatan dan irama jantung mandiri. Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Universitas Indonesia, dr. Hermawan, Sp.JP(K)-FIHA berpendapat, di era pandemi COVID-19 ditambah semakin berkembangnya teknologi, telemedisin menjadi suatu keniscayaan.
Telemedisin secara singkat disebutkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 90 tahun 2015 terkait pengelolaan fasilitas layanan kesehatan pada area terpencil dan sangat terpencil.
Baca juga: Telemedisin diyakini tetap dimanfaatkan masyarakat setelah pandemi
Layanan ini bertujuan untuk meningkatkan ketepatan dan kecepatan proses diagnosis dan konsultasi medis dan fasilitas kesehatan lainnya pada area di mana terdapat kekurangan tenaga kesehatan dengan kualifikasi khusus.
Hermawan mengatakan, pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular, khususnya stroke iskemik (thrombo-embolic stroke), membutuhkan pemantauan irama jantung secara berkesinambungan karena seringkali tidak terdeteksi dengan pemeriksaan sesaat atau bahkan dengan modalitas yang ada saat ini karena memiliki keterbatasan waktu rekam, harga yang mahal, serta tindakan yang invasif.
Menurut dia, pemantauan kesehatan jarak jauh membutuhkan alat yang terpasang (handheld device) berbasis Internet of Things (IoT) untuk mendeteksi adanya gangguan irama jantung seperti fibrilasi atrium yang telah diketahui meningkatkan risiko stroke iskemik hingga empat kali lipat. Pada dasarnya, teknologi IoT dapat menghubungkan perangkat apa pun yang melekat di badan ke internet.
Tele-health monitoring ini tidak bertujuan untuk menggantikan praktik klinis yang sudah ada, melainkan untuk membantu pasien melakukan deteksi dini, meningkatkan kewaspadaan, memantau kesehatan dan pengobatan secara mandiri serta membantu dokter dalam memberikan keputusan klinis terbaik untuk tindak lanjut.
Sejumlah rumah sakit saat ini sudah memanfaatkan layanan telemedisin, salah satunya RSUI demi memudahkan masyarakat melakukan konsultasi dari rumah tanpa harus antre atau khawatir keluar rumah di era pandemi COVID-19.
Baca juga: Teknologi kesehatan bisa bantu pandemi menjadi endemi
RSCM juga ikut serta mengaplikasikan teknologi digital dalam pelayanannya seperti menerapkan sistem pendaftaran online dan pendaftaran terpadu mulai dari rawat jalan yang terintegrasi ke layanan admisi, penunjang dan lainnya yang memangkas secara signifikan waktu tunggu pasien. Layanan telekonsultasi dokter pun tak ketinggalan mereka terapkan.
Di sisi lain, teknologi digital bidang kesehatan juga mulai dimanfaatkan dalam menghadapi masalah penanganan Program Layanan Penyakit Kronis atau Prolanis, seperti hipertensi dan diabetes tipe-2.
Sebuah studi percontohan tata laksana penyakit kronis pun dilakukan Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Good Doctor Technology Indonesia dan klinik BPJS offline untuk mengukur efektivitas telekonsultasi dalam pemantauan glukosa darah pasien diabetes diklinik BPJS.
Dukungan tersebut meliputi pengingat atau pemberitahuan otomatis secara reguler, kontak atau tindaklanjut secara reguler, konsultasi online, dan informasi edukatif yang telah dikurasi. Dalam kurun waktu tiga bulan, pasien mendapat pengingat dari platform telehealth untuk memeriksa dan mengukur glukosadarahnya.
Hasil studi percontohan ini menunjukkan, terdapat perbedaan antara pasien yang menggunakan telemedisin dan tidak, khususnya pada kepatuhan pasien selama masa observasi yang memberikan kontribusi tinggi terhadap penurunan kadar glukosa darah secara signifikan.
Penggunaan telekonsultasi dinilai dapat meningkatkan kepatuhan pasien sehingga menjadi faktor utama keberhasilan pengelolaan penyakit kronis.
Baca juga: Riset: Aplikasi kesehatan dan fitness kian diminati saat pandemi
Studi percontohan memiliki dua fase, pertama dimulai dengan Focus Group Discussion (FGD) pada Desember 2020, kemudian fase kedua diteruskan dengan pengelompokan pada Januari hingga Juni 2021. Klinik yang terlibat berada di daerah Bekasi dan Depok dengan peserta yang memiliki rentang usia dari 24 tahun-79 tahun.
Pada bidang onkologi termasuk kasus kanker paru, teknologi digital khususnya telemedisin melalui video real-time bisa menjadi pilihan konsultasi pasien, menurut dokter spesialis penyakit dalam subspesialisasi hematologi-onkologi medik di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid.
Dia mengingatkan, dalam pemanfaatannya, dokter perlu tetap mempertimbangkan prioritas berdasarkan skala kasus risiko tinggi hingga rendah. Pada beberapa kasus, pasien kanker bisa saja membutuhkan pengobatan secara langsung bukannya melalui telemedisin.
Oleh karena itu, pengobatannya pun tetap dijalankan sesuai dengan pedoman-pedoman yang diberikan agar tak membahayakan pasien.
Antusiasme masyarakat
Sebagai bagian dari agenda Revolusi Industri 4.0 Indonesia, Kementerian Kesehatan telah mengembangkan sebuah sandbox yang mendukung pertumbuhan layanan telemedisin serta layanan-layanan lain yang digital-first bagi pasien.
Hal ini mengingat kondisi geografis Indonesia yang menantang, terutama terkait dengan penghadiran layanan kesehatan yang makin merata di wilayah-wilayah pelosok.
Baca juga: Prediksi perkembangan digitalisasi di dunia kesehatan usai pandemi
VMware Inc. (NYSE: VMW) melalui riset yang bertajuk "VMware Digital Frontiers 3.0 Study" melaporkan semakin tingginya antusiasme masyarakat di kawasan regional termasuk Indonesia untuk dapat merasakan layanan kesehatan berbasis digital.
Menurut laporan itu, sebanyak 66 persen di antara mereka lebih memilih melakukan telekonsultasi medis melalui layanan video, daripada bertatap muka langsung dengan dokter.
Temuan lainnya, sekitar 82 persen responden di Asia Tenggara yakin akan bisa menemukan solusi yang mampu mengeliminasi penyebaran COVID-19. Angka optimisme ini jauh lebih tinggi dari pada responden dari negara-negara lain seperti Amerika Serikat (59 persen), Prancis (60 persen), Jerman (58 persen) dan Inggris (58 persen).
Temuan lainnya, sebanyak 30 persen responden Indonesia yakin 5G akan menjadi kunci dalam mendukung pemanfaatan perangkat wearables untuk pemonitoran kesehatan secara real-time, sehingga petugas medis bisa mendapatkan peringatan seketika itu juga sehingga dapat cepat dalam merespons setiap kondisi kegawatdaruratan.
Prediksi masa depan
Pakar kesehatan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Vito Anggarino Damay, Sp.JP, M.Kes., FIHA.,FICA, FAsCC mengatakan, layanan kesehatan digital khususnya telemedisin akan tetap menjadi bagian dari pelayanan dokter bahkan setelah pandemi usai.
Menurut dia, masyarakat semakin terbiasa memanfaatkan layanan ini termasuk pasien penyakit jantung. Bahkan, mereka dengan keluhan hipertensi dan gangguan kolesterol bisa memanfaatkan layanan sebagai sarana konsultasi sekaligus membantu mengingatkan minum obat secara rutin agar kondisinya stabil.
Baca juga: Aplikasi telemedisin OkeKlinik tawarkan perawatan long COVID
Tak hanya pada mereka yang sakit, orang-orang sehat pun dapat menggunakan layanan kesehatan digital sebagai saranan edukasi dalam menjaga kondisi kesehatan termasuk obat-obatan yang sebaiknya dikonsumsi kala sakit menerpa.
Hal senada diungkapkan CEO & Co-Founder Halodoc, Jonathan Sudharta. Dia berpendapat layanan kesehatan digital tak akan kehilangan perannya bahkan jika pandemi COVID-19 menjadi endemi di masa mendatang.
Menurut dia, saat endemi nanti, layanan ini bisa tetap dimanfaatkan salah satunya dalam pencatatan medis pasien. Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan, Setiaji mengatakan, Kementerian Kesehatan berencana menghadirkan aplikasi rekam medis pada tahun depan.
Hadirnya aplikasi rekam medis ini memungkinkan pencatatan data kesehatan masyarakat Indonesia sejak dalam kandungan hingga masa kritis tak lagi terpisah-pisah di fasilitas kesehatan seperti saat ini.
Baca juga: Teknologi digital diperlukan dalam tata laksana penyakit kronis
Baca juga: Menkes: Transformasi teknologi kesehatan salah satu fokus pemerintah
Baca juga: Kominfo ajak industri eHealth diskusi optimalkan kesehatan digital