Jakarta (ANTARA) - Ada kalanya sebagian orang mempercayai hukum alam dimana yang tradisional akan terlindas yang modern. Namun ada kenyataan lain bahwa harmoni justru bisa dibentuk antara keduanya.
Di penghujung tahun 2021, tepatnya pada 21 Desember 2021, maestro Dwiki Dharmawan dan musisi kolintang Ferdinand Soputan meluncurkan sebuah karya album musik, berjudul “Duo Kolintang; The Sounds From Minahasa”.
Karya ini sejatinya merupakan kerja kolaboratif Dwiki Dharmawan yang telah dikenal luas sebagai pianist jazz bersama musisi kolintang muda, Ferdinand Soputan, yang juga sudah dikenal sebagai pemain dan pelatih kolintang dengan sejuta talenta.
Jadi karya ini adalah kolaborasi modern dan tradisional dalam alat musik piano dan kolintang, namun Dwiki menyebutnya sebagai “Duo Kolintang”. Demikian pun, di dalam karya ini, justru terpentas sebuah model aransemen yang berbeda dengan aransemen biasanya dalam penggarapan musik kolintang.
Dwiki dan Ferdinand sepakat bahwa karya ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengeksplorasi salah satu musik khas Minahasa yaitu kolintang yang saat ini dalam proses menuju UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia, tepatnya suku Minahasa.
Keduanya meyakini bahwa jika semua memandang jauh ke belakang, musik kolintang ini memiliki sejarah yang panjang, termasuk sarat dengan kekhasan atau memiliki keunggulan tertentu.
Maka karena keunggulan itu, Dwiki menegaskan karya mereka ini adalah wujud dari pemajuan kebudayaan, karena Indonesia merupakan negeri yang kaya akan budaya unggul.
Karena kekayaannya itulah, ia bersama Ferdi, mencoba berkarya bersama dengan berkolaborasi, sebagai bagian awal bagi keduanya untuk melahirkan karya yang lebih lengkap lagi.
Masih terbatas
Karya kreatif dan inovatif yang mempertemukan dua zona yang selama ini selalu dianggap bertolak belakang, modern versus tradisional, kemungkinan akan menarik perhatian masyarakat.
Namun karya "The Sound from Minahasa" sampai sejauh ini masih dianggap terbatas. Sebab kedua musisi baru mengolaborasikan piano dan kolintang melodi. Baik Dwiki maupun Ferdinand ke depan sepakat akan mengolaborasikan piano dengan ansambel musik kolintang kayu yang lengkap.
Dalam proses kreatif mengerjakan album yang berisikan 8 (delapan) buah lagu ini, karya itu tak lepas dari dukungan sosok yang selalu menunjang dan menyokong kerja-kerja seni termasuk di bidang kolintang, misalnya Penny Marsetio yang juga merupakan Ketua Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN) Indonesia.
Dalam sebuah kesempatan diskusi, Penny menegaskan bahwa kolintang harus terus bergaung, ke seantero Indonesia bahkan mancanegara. Maka melalui penciptakan karya musik kolaboratif ini tentu menjadi salah satu upaya untuk menggaungkan alat musik tradisional itu.
Penny menginginkan agar kolintang itu berbunyi terus sebagaimana suara aslinya “tong ting tang”.
Dari situ makna dan filosofi sebenarnya dari alat musik leluhur itu justru akan menemui hakekat dirinya yang utuh.
"The Sound from Minahasa" kemudian dilengkapi dalam albumnya sebuah buku yang bukan kebetulan ditulis oleh pasangan/tandem Dwiki Dharmawan dalam album ini, yakni Ferdinand Soputan.
Dalam pendahuluan buku ini Ferdinand menegaskan dalam bahwa sejatinya album rekaman yang telah dikerjakan ini, merupakan langkah pertama dalam upaya dirinya untuk, bukan hanya menjawab tantangan global terkait adanya perubahan dalam segala segi kehidupan, tetapi juga membuktikan bahwa musik kolintang itu sangat terbuka.
Ferdinand berpikir juga bahwa musik-musik berbasis tradisi dari daerah lain, memiliki kekhasan yang sama.
Demikian juga Ferdinand yang merupakan Master Kajian Seni jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menegaskan perjalanan dirinya dalam proses rekaman dan proses penulisan buku ini memperjelas dan mempertegas bahwa semua harus berubah.
Dan semua jugalah yang harus membawa perubahan pada sebuah kebudayaan, peradaban, dan seni musik itu, karena manusia yang sebenarnya sebagai subjek menjadi penentu perubahan itu.
Maka dari itu, selanjutnya proses perubahan yang ia bawa saat ini adalah memulai dari hal kecil yakni proyek musik bersama antara piano sebagai keahlian utama Dwiki dan melodi kolintang yang merupakan keahlian dirinya.
Setelah proses ini, maka ia juga akan melangkah ke model rekaman antara piano dengan kolintang dalam bentuk ansambel musik, yakni alat musik lengkap dengan semua alat yang merupakan standar penggunaan ansambel musik kolintang kayu Minahasa.
Nilai universal
Di sisi yang sama, Dosen Universitas Katolik De la Salle Manado, Ambrosius Loho, yang menjadi editor karya menyatakan bahwa kerja seni atau kerja budaya ini merupakan proses pengaplikasian nilai-nilai universal musik tradisional.
Nilai-nilai itu nyata lewat keselarasan dalam memainkan dan menyaksikan (memberi perhatian) pada musik kolintang.
Melalui keselarasan, manusia bukan hanya mulai berusaha mengundang dimensi spiritual (motivasi dan semangat), tapi juga menyatukan diri dengan spirit kolektif (kebersamaan yang selaras) dan spirit kosmik (alam semesta).
Maka lewat seni tradisional, seseorang akan mampu melihat sisi spirit kebersamaan dan spirit kesemestaan universal yang justru menyebabkan tumbuh dan berkembangnya harmoni dalam universalitas.
Karenanya selalu dibutuhkan kembali saat-saat reflektif melalui karya-karya seni. Di situlah antara lain implikasi positif dari seni musik tradisional kolintang.
Seluruh Video Musik pada Album Duo Kolintang “The Sounds from Minahasa” disutradarai oleh Stondly Saga.
Audio maupun video sudah dapat diakses masyarakat pada semua Digital Streaming Platform seperti Spotify, Apple Music, Deezer, Joox, Resso, Langit Muusik, Youtube, dan lain-lain.
Hukum alam ternyata bukan sebatas hitam dan putih yang tak bisa diselaraskan, melalui musik dan seni yang universal ada wilayah yang sangat harmoni dan memberikan banyak pelajaran.
Maka benar apa kata orang bijak bahwa dengan belajar pada alam semesta maka seseorang akan mampu memaknai hidup dengan lebih arif.
Begini bila piano dan kolintang berkolaborasi
Minggu, 26 Desember 2021 12:09 WIB