Chicago (ANTARA) - Emas turun tajam lebih dari satu persen pada akhir transaksi Senin (Selasa pagi WIB), hari pertama perdagangan tahun ini, tertekan meningkatnya sentimen risiko dan imbal hasil obligasi pemerintah AS dengan investor mengabaikan kekhawatiran seputar dampak varian virus corona Omicron.
Imbal hasil obligasi pemerintah yang meningkat, dolar yang lebih kuat, dan sentimen risiko yang meningkat mendorong ekuitas lebih tinggi, memberi tekanan pada pasar emas, kata Bob Haberkorn, ahli strategi pasar senior di RJO Futures.
Imbal hasil obligasi pemerintah AS 10-tahun yang dijadikan acuan melonjak ke level tertinggi enam minggu di atas 1,6 persen, mengurangi daya tarik emas yang tidak memberikan imbal hasil.
Meskipun kasus virus corona melonjak, jumlah kematian dan rawat inap dari varian Omicron relatif rendah, membuat banyak pemerintah berhenti memberlakukan penguncian. Haberkorn mengatakan investor memperkirakan gelombang virus corona baru bersifat sementara.
Dolar yang menguat terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya, juga membuat emas lebih mahal bagi pembeli luar negeri, mengikuti imbal hasil obligasi pemerintah karena investor mengantisipasi Federal Reserve AS akan tetap berada di jalur kenaikan suku bunga pada tahun 2022.
Harga emas menandai penurunan tahunan terbesar sejak 2015 pada 2021, mengakhiri tahun dengan turun 3,6 persen.
Analis UBS Giovanni Staunovo mengatakan kenaikan suku bunga AS dan penurunan inflasi AS selama 2022 dapat membebani emas, memperkirakan harga emas di 1.650 dolar AS pada akhir tahun.
Beberapa investor memandang emas sebagai lindung nilai terhadap inflasi yang lebih tinggi, tetapi emas sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga AS, yang meningkatkan biaya memegang komoditas.
Logam mulia lainnya, perak untuk pengiriman Maret turun 54,2 sen atau 2,32 persen, menjadi ditutup pada 22,81 dolar AS per ounce. Platinum untuk pengiriman April turun 12,2 dolar AS atau 1,26 persen, menjadi ditutup pada 954 dolar AS per ounce.