Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Edy Priyono menilai perekonomian Indonesia dalam kondisi baik, meskipun saat ini situasi global masih bergejolak.
"Ini menunjukkan bahwa optimisme konsumen terhadap perekonomian terjaga," kata Edy dalam siaran pers di Jakarta, Minggu.
Kinerja demand yang positif, kata Edy, tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang berada di level 111 atau zona optimis, serta ditunjukkan oleh Indeks penjualan ritel yang tumbuh 8,6 persen (yoy) pada Maret 2022.
Menurutnya, pertumbuhan penjualan ritel yang cukup tinggi menjadi hal penting, mengingat penopang utama Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia adalah konsumsi rumah tangga.
"Tren positif pertumbuhan penjualan ritel dan IKK diharapkan dapat menopang pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2022," jelasnya.
Sementara dari sisi kekuatan produksi, lanjut Edy, terlihat dari keyakinan manajer bisnis di sektor manufaktur Indonesia, yang masih di zona ekspansif di level 51,3 pada Maret 2022, dan konsisten ekspansi selama tujuh bulan berturut-turut.
Selain itu, kinerja positif sisi produksi juga tampak dari utilisasi industri pengolahan, yang mendekati level sebelum pandemi, yakni 72,45 persen pada triwulan I 2022.
"Dengan demikian risiko inflasi ke depan dapat diminimalisir," terangnya.
Edy menyampaikan keberhasilan pemerintah dalam menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.
Dari sisi internal, dia menyatakan, pemerintah telah berhasil melakukan penanganan dan pengendalian COVID-19, dan pemulihan ekonomi nasional. Sedangkan secara eksternal, sambungnya, Indonesia diuntungkan dengan komoditas unggulan ekspor yang memberikan dukungan fiskal.
"Ini dibuktikan dengan cadangan devisa kita dan stabilitas rupiah. Indonesia mencatat surplus neraca dagang 23 bulan berturut-turut. Kombinasi faktor-faktor ini menguatkan kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia, sehingga investasi asing (FDI) pada triwulan I 2022 tumbuh signifikan 31,8 persen yoy," jelasnya.
Meski demikian, lanjut Edy, Indonesia tetap harus mewaspadai dampak lanjutan transmisi dari perang, kenaikan harga komoditas, kondisi pandemi COVID-19 di China, dan potensi penurunan pertumbuhan ekonomi global.
Jika kondisi tersebut terus berkelanjutan, kata Edy, akan berdampak pada meningkatnya inflasi, penurunan daya beli, dan menekan fiskal.
"Mengingat APBN harus lebih banyak menyediakan dukungan bantalan sosial bagi masyarakat, dan terakhir menekan pasar keuangan melalui pelemahan rupiah serta meningkatnya tingkat bunga pasar," ujarnya.
Menghadapi kondisi tersebut, pemerintah menyiapkan berbagai langkah antisipatif. Di antaranya, melakukan diversifikasi tujuan ekspor maupun sumber impor dan mendorong penggunaan local currency settlement system (LCS) dalam transaksi ekspor impor, serta mendorong efisiensi dan pemulihan industri pengolahan.
"Pemerintah juga memperkuat perlindungan sosial ekonomi yang lebih tepat sasaran melalui reformasi subsidi dan pembenahan basis data," jelasnya.
Baca juga: Kemenkeu harap penguatan sektor manufaktur dukung ekonomi triwulan II
Baca juga: LPEM UI proyeksikan perekonomian tumbuh 4,85 persen di kuartal I 2022
Baca juga: OJK: Perdagangan-manufaktur dorong kredit tumbuh 6,6 persen di Maret