Jakarta (ANTARA) - Badan Anggaran DPR menyetujui usulan pemerintah terkait revisi belanja negara pada APBN 2022 menjadi Rp3.106 triliun, di mana pemerintah memperkirakan pendapatan negara naik menjadi Rp 2.266 triliun dari postur awal Rp1.846 triliun.
Baca juga: Sri Mulyani: Defisit APBN 2022 diturunkan jadi 4,5 persen PDB
Menurut Abdullah, perubahan postur APBN itu karena dipengaruhi oleh naiknya harga minyak mentah dunia, sehingga subsidi energi makin membengkak. "Naiknya harga minyak mentah membuat subsidi harus ditambah menjadi Rp74,9 triliun dengan rincian, subsidi BBM dan elpiji sebesar Rp71,8 triliun, dan subsidi listrik Rp3,1 triliun," ucapnya.
Perubahan yang terjadi antara lain harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang diasumsikan sebelumnya adalah 63 dolar AS per barel menjadi 100 dolar AS per barel. "Pendapatan negara berubah dari Rp1.846,1 triliun menjadi Rp2.266,2 triliun. Belanja negara berubah dari Rp2.714,2 triliun menjadi Rp 3.106,4 triliun," katanya.
Baca juga: Menkeu: Belanja K/L harus didesain untuk capai tujuan pembangunan
Pada sisi lain, kata Abdullah, alokasi perlindungan sosial juga naik, sehingga pemerintah juga perlu menambah alokasi anggaran untuk perlindungan sosial sebesar Rp18,6 triliun. Dengan demikian belanja pendidikan yang dicanangkan 20 persen dari total APBN naik pada kisaran Rp23,9 triliun.
"Penambahan beberapa pos belanja di atas juga berkonsekuensi menyerap tambahan pengurangan SAL sebesar Rp50 triliun," katanya.
Namun demikian, menurut dia, penambahan belanja negara itu juga dibarengi dengan kenaikan pendapatan negara yang diperkirakan naik. Pemerintah memperkirakan pendapatan negara naik menjadi Rp 2.266 triliun dari postur awal Rp1.846 triliun, atau naik sekitar Rp420 triliun.
Baca juga: F-PPP kaji usulan penundaan Pemilu pertimbangkan anggaran negara
Kenaikan pendapatan negara disumbang dari penerimaan pajak, PNBP, atau kenaikan berbagai komoditas ekspor unggulan seperti CPO dan batu bara. Dengan perubahan komposisi anggaran, defisit anggaran sepanjang 2022 diperkirakan akan rendah, dari 4,89 persen dari PDB menjadi 4,3-4,5 persen dari PDB.
"Lebih rendahnya perencanaan defisit akan makin mempermudah pemerintah soft lending ke posisi (defisit) di bawah tiga persen pada 2023," ujarnya.