Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada awal pekan terkoreksi, dipicu kekhawatiran pelaku pasar terhadap potensi resesi global.
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra di Jakarta, Senin, mengatakan, nilai tukar rupiah masih berpotensi tertekan terhadap dolar AS setelah pekan lalu berhasil menembus ke atas Rp15.400 per dolar AS.
"Sentimen The Fed dan kekhawatiran pasar terhadap potensi resesi global masih memberikan tekanan ke rupiah," ujar Ariston.
Menurut Ariston, ekspektasi pasar terhadap kebijakan kenaikan suku bunga The Fed yang agresif pada tahun ini masih tinggi.
Tingkat inflasi konsumen AS bulan September yang dirilis pekan lalu masih menunjukkan level inflasi yang tinggi di atas 8 persen. FedWatch Tool CME menunjukan 98 persen pelaku pasar yakin The Fed akan menaikan 75 basis poin pada pertemuan selanjutnya.
"Saat ini tingkat imbal hasil obligasi Pemerintah AS terutama tenor 10 tahun sudah kembali naik ke kisaran 4 persen. Kenaikan yield obligasi ini juga mengindikasikan ekspektasi pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan The Fed selanjutnya," kata Ariston.
Ariton menambahkan Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa waktu lalu merilis laporan soal perlambatan ekonomi dunia dan potensi gagal bayar beberapa negara. Laporan tersebut menambah kekhawatiran pasar soal resesi global yang bisa mendorong pelaku pasar keluar dari aset berisiko dan masuk ke aset aman.
"Hari ini data neraca perdagangan Indonesia mungkin bisa sedikit menahan pelemahan rupiah bila data kembali menunjukkan surplus di atas ekspektasi," ujar Ariston.
Ariston memperkirakan hari ini rupiah akan bergerak di kisaran level Rp15.380 per dolar AS hingga Rp15.500 per dolar AS.
Pada Jumat (14/10) lalu rupiah ditutup melemah 65 poin atau 0,43 persen ke posisi Rp15.427 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.362 per dolar AS.