Jakarta (ANTARA) - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi melemah seiring pelaku pasar yang masih mewaspadai kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed).
"Indeks saham Asia terlihat masih bergerak positif pagi ini, sama seperti kemarin. Hal ini mengindikasikan pelaku pasar masuk lagi ke aset berisiko. Ini mungkin bisa membantu penguatan rupiah hari ini," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Tapi di sisi lain, lanjut Ariston, pelaku pasar masih mewaspadai kebijakan kenaikan suku bunga acuan The Fed yang agresif dan potensi resesi global. Hal itu yang menekan pergerakan aset berisiko belakangan ini.
"Jadi meskipun rupiah berpeluang menguat hari ini, rupiah masih rentan berbalik melemah lagi," ujar Ariston.
Pada September, The Fed menyampaikan kenaikan suku bunga 75 basis poin ketiga berturut-turut, dan kenaikan keempat sebesar itu diperkirakan pada pertemuan kebijakan minggu depan, meskipun seberapa agresif pembuat kebijakan setelah itu tetap diperdebatkan.
Pasar sekarang menunggu untuk melihat seberapa besar pelemahan ekonomi dan apakah The Fed akan berhenti setelah menaikkan suku bunga pada Desember dan Februari.
Baru-baru ini, pejabat Fed tidak menunjukkan tanda-tanda mundur dari retorika hawkish mereka, dengan presiden Fed Philadelphia Patrick Harker mengatakan semalam bahwa bank sentral belum selesai menaikkan target suku bunga jangka pendek di tengah tingkat inflasi yang sangat tinggi.
Pasar hampir memperkirakan sepenuhnya untuk kenaikan suku bunga 75 basis poin pada November dan Desember.
Ariston memperkirakan hari ini rupiah berpotensi menguat ke kisaran level Rp15.500-Rp15.530 per dolar AS dengan potensi pelemahan Rp15.600 per dolar AS.
Pada Senin (24/10) lalu, rupiah ditutup menguat 46 poin atau 0,29 persen ke posisi Rp15.586 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp15.632 per dolar AS.