Jakarta (ANTARA) - Institute for Criminal Justice Reform menilai penerapan hukuman mati yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru merupakan sebuah langkah yang cukup progresif.
Dalam KUHP baru, disebutkan bahwa apabila terpidana mati berperilaku baik, menjalankan semua program dan dinilai bisa berubah, otomatis pidana mati diubah menjadi pidana lainnya.
"Ini merupakan mekanisme yang baik. Bagi kami, abolitionist tentu saja langkah awal untuk kemudian menghapus pidana mati di Indonesia," kata Erasmus.
Di satu sisi, Erasmus memahami pandangan dari kelompok abolitionist terutama ICJR akan mendapatkan kritikan dari pihak-pihak yang tidak sependapat. Namun, sebagai negara yang mengedepankan demokrasi, hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah terjadi.
Dalam paparannya, Erasmus menyebutkan satu hal yang perlu mendapat perhatian ialah soal penyiksaan terhadap terpidana saat aparat penegak hukum mencari bukti/pemeriksaan yang terjadi di tempat penahanan.
Dalam konteks hukuman mati, proses standar penjatuhan pidana mati harus di posisi tertinggi sebab dalam menjatuhkannya tidak boleh ada sedikit pun keraguan aparat penegak hukum, terutama hakim.
"Dalam hukuman mati, standar harus selalu ada dalam konteks tertinggi dan tidak boleh ada keraguan sedikit pun, terutama hakim," katanya menegaskan.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyoroti masih dicantumkannya pidana mati dalam KUHP baru. Pidana mati termuat pada Pasal 67 dan Pasal 98. Hal itu dinilai Komnas HAM bertentangan dengan Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, hal tersebut juga dinilai bertentangan dengan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Hak atas hidup adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun (non derogable right).