Manado (ANTARA) - Seorang nenek dengan hati penuh semangat berdiri di tengah-tengah kerumunan jamaah calon haji, menunggu waktu namanya dipanggil untuk menerima Program Tali Kasih dari pemerintah.
Berbalut pakaian putih yang dipadankan dengan seragam batik sederhana, dia memegang erat koper pakaiannya saat melangkah perlahan namun mantap.
Setiap langkah nenek itu meninggalkan jejak kesabaran dan ketekunan karena dia telah menantikan momen ini selama bertahun-tahun hingga pada usia yang melawati satu abad alias 100 tahun.
Sorot mata cokelatnya yang bersinar dengan kebijaksanaan dan pengalaman, memancarkan ketenangan dan keyakinan yang dalam meskipun fisiknya tidak sekuat dulu. Namun dia tak patah semangat untuk menjalankan ibadah rukun Islam yang kelima tersebut.
Datangnya kesempatan yang lama ditunggu-tunggu itu sungguh membahagiakannya. Inilah yang bikin senyum bahagia selalu terpancar dari wajah nenek yang bernama lengkap Jima Juma.
Ekspresi bahagia terpancar setiap Jima Juma berpapasan dengan rekan seangkatan dalam Kloter 17 jamaah calon haji asal Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) ini.
Sampai-sampai dia menjadi primadona karena hampir semua peserta dan masyarakat ingin berswafoto dengan Nenek Jima yang tinggal beberapa hari lagi usianya 101 tahun.
Banyak hal yang harus dilalui Nenek Jima hingga akhirnya bisa menjalankan ibadah haji pada tahun 2023. Meskipun terbentur oleh aturan usia yang membatasi calon haji, Nenek Jima tidak pernah menyerah untuk mewujudkan impian suci tersebut.
Meski tidak dapat berbicara dialek Manado dengan lancar setelah tinggal 10 tahun di Daerah Nyiur Melambai ini, Nenek Jima tetap gigih menjaga kesehatan dan menjalankan kehidupan sehari-harinya karena memiliki tekad yang kuat untuk naik haji.
Selama bertahun-tahun, nenek kelahiran Kota Makassar pada 1 Juli 1922 itu selalu menaruh impian bisa pergi ke Tanah Suci melaksanakan ibadah haji. Anak-anaknya pun mendukung dan berusaha keras mewujudkan keinginannya itu.
Meskipun merupakan anggota JCH asal Sulut paling tua ini, Nenek Jima tidak pernah kecewa ketika aturan usia membatasi dirinya untuk ke Tanah Suci. Nenek Jima tetap bersemangat. Putus asa tidak ada dalam kamus keluarga Nenek Jima.
Anak-anak Nenek Jima tidak ingin membuat ibu mereka kecewa sehingga mencari alternatif lain. Pada November tahun lalu, Rostina, salah seorang anak dari sembilan saudara kandungnya, berhasil mengatur perjalanan umrah untuk Nenek Jima. Itu adalah langkah pertama dalam menjalankan ibadah suci.
Kini, pada usia satu abad Nenek Jima akan memenuhi impian suci tersebut. Dia dan Rostina, anak perempuannya yang disekolahkan hingga meraih gelar strata satu ini, terdaftar sebagai jamaah calon haji asal Manado yang berangkat pada 17 Juni 2023 dan bertolak ke Embarkasi Balikpapan, Kalimantan Timur.
Dalam kesehariannya, Nenek Jima masih cukup aktif. Dia tetap bekerja dan menghabiskan sebagian besar waktu di kebun kecil di depan rumahnya, dengan menanam sayur-sayuran, memasak, bahkan mencuci pakaiannya seorang diri.
Nenek Jima tidak mau merepotkan anaknya, karena menurut dia, fisiknya masih sangat kuat untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Menurut Rostina, salah satu rahasia ibunya sangat sehat dan panjang umur adalah pola makan sehat serta terus beraktivitas.
Nenek Jima selalu mengonsumsi makanan alami, terutama sayuran yang segar dan bening, dengan daun kelor menjadi kesukaannya. Makanan sehat dan alami telah menjadi kebiasaan Nenek Jima sejak kecil, dan hal itu mungkin merupakan faktor penting dalam kesehatannya yang luar biasa.
Bahkan, kata Rostina yang merupakan salah satu aparatur sipil negara (ASN) dan mengajar di Sekolah Al-Khairat Mapanget, Manado, mengungkapkan bahwa ibunya tidak pernah melewatkan shalat lima waktu, dan terus berdoa untuk keberangkatan ke Tanah Suci hingga terwujud pada tahun 1444 Hijriah.
Sehari-harinya, Nenek Jima memang suka cepat lelah, namun is masih tetap berolahraga setiap hari dengan berjalan di depan rumah sejauh 20 meter setiap pukul 11.00 Wita selama 10 menit.
Hal ini dilakukan untuk melatih tubuhnya agar pada saat menjalankan ibadah haji di Tanah Suci ia mampu berjalan jauh untuk menunaikan ibadah.
Menunggu berangkat haji sejak tahun 2017-- namun buka rekening tabungan sejak tahun 2010--, saat itu setiap uang yang Nenek Jima terima dari pemberian anak-anak dan cucu-cucunya diberikan untuk ditabung sebagai biaya untuk naik haji.
Menurut Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara H. Sarbin Sehe, JCH asal Sulut sebanyak 753 orang dan yang tergolong lanjut usia sebanyak 246 orang, dengan usia 60-70 tahun sebanyak 125 orang, usia 70-80 tahun 97 orang, usia 80-90 tahun sebanyak 21 orang dan usia 90-100 tahun sebanyak tiga orang.
Tahun haji kali ini, Nenek Jima merupakan JCH kedua tertua secara nasional dan paling tua jamaah dari Sulut.
Secara fisik Nenek Jima cukup kuat untuk melakukan ibadah haji, terbukti belum lama ini dirinya telah menyelesaikan ibadah umrah.
Hasil tes kesehatan menunjukkan bahwa ia berada dalam kondisi yang baik dan siap melaksanakan ibadah wajib yang membutuhkan kebugaran fisik itu.
Keberanian, ketekunan, dan keyakinan Nenek Jima telah menginspirasi keluarganya dan banyak orang di sekitarnya.
Kisah Nenek Jima mengajarkan manusia tentang kekuatan tekad, keteguhan hati, dan pentingnya menjaga kesehatan. Walaupun sudah berusia lanjut. Ia tidak pernah berhenti bermimpi dan berjuang untuk mencapai tujuan suci dalam hidupnya.
Nenek Jima adalah teladan yang mengingatkan bahwa tidak ada batasan usia atau hambatan apa pun yang dapat menghalangi manusia untuk mewujudkan impiannya.
Meski rasa lelah terkadang menyergap, dia tak pernah menyerah atau mengeluh. Ketaatannya kepada Allah dan kesempatan langka yang dijalani saat ini menjadi sumber inspirasi dan energi bagi banyak calon haji yang lebih muda.
Semangat itu pula yang memantapkan langkah kaki Nenek Jima meraih haji mabrur.