Bondowoso (ANTARA) - Pemilihan Presiden (pilpres) hanya berlangsung 5 tahun sekali. Tidak sepatutnya kita mengumbar kehendak ego, dengan mendukung satu pasangan calon secara "membabi buta". Biasanya, sikap seperti ini memunculkan polarisasi di masyarakat dalam waktu cukup lama, bahkan hingga 5 tahun ke depan atau bertemu dengan pemilihan umum berikutnya.
Pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden adalah salah satu ajang bagi bangsa ini untuk menjaga warisan para leluhur. Pemilihan umum untuk memilih pemimpin, jangan sampai melenceng dari tujuan mulianya untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan warga negara.
Semangat menjaga persaudaraan selamanya atau seduluran selawase harus menjadi pijakan semua komponen bangsa dalam menjaga warisan berharga dari leluhur ini. Spirit seduluran adalah fondasi dari terciptanya keamanan, ketertiban dan kedamaian sehingga, semua komponen bangsa bersatu padu membangun negeri.
Semangat seduluran itu kembali diungkit dan diingatkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat menghadiri Syukuran 1 Abad NU 25 Tahun PKB di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, Minggu (23/7/2023).
Sumber persoalan yang mencabik-cabik rasa seduluran dalam konteks pilpres biasanya digerakkan oleh dukungan total para pendukung kepada pasangan calon tertentu, sehingga melunturkan pikiran logis dan hati nurani. Akhirnya sikap ini memunculkan perilaku menghalalkan segala cara agar pasangan calon dukungannya menjadi pemenang pilpres.
Dalam era teknologi informasi saat ini, sebagaimana juga diingatkan oleh Presiden Jokowi, media sosial menjadi ajang dukungan dengan menghalalkan segala cara, seperti menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, fitnah, dan lainnya.
Pikiran bahwa calon yang kita dukung "harus" menang itu semestinya hanya ada di kepala (pikiran), jangan sampai turun ke hati. Ketika pikiran "harus" menang itu turun ke hati, jika pasangan calon yang kita dukung tidak menang, seolah-olah negara ini akan kiamat.
Dalam ujaran familier di budaya dan bahasa Jawa, ada ungkapan bagus untuk mengerem pikiran bahwa calon kita "harus" menang itu adalah, "ngono yo ngono, ning ojo ngona". Terjemahan bebasnya, "Begitu (mendukung) yang begitu (mendukung), tapi jangan sampai begitu (sikapnya)".
Pemimpin bukan pesulap
Menghadapi ajang pesta demokrasi yang seharusnya menjadi arena rakyat bersuka ria, paradigma berpikir bahwa tidak ada manusia yang sempurna bisa menjadi pijakan nurani kita dalam menyikapi politik praktis 5 tahun sekali ini.
Masyarakat sebagai pemilih jangan sampai terbuai dalam alunan mimpi bahwa calon presiden dan calon wakil presiden yang kita dukung adalah yang paling sempurna. Setiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pemimpin negara itu bukan juga seorang pesulap, yang dengan hanya menjentikkan jari tangan mampu mewujudkan semua yang diharapkan oleh warganya, termasuk kemakmuran atau kesejahteraan hidup.
Buanglah mimpi bahwa jika calon pasangan presiden dan wapres yang kita dukung menang dalam pemilu, hidup kita akan makmur, sehingga kita berjuang "hidup mati" agar si pasangan calon itu harus menang. Hadapilah pemilihan presiden dan wakil presiden ini dengan santai. Selalu pegang pikiran dan sikap rasional dalam mengekspresikan dukungan.
Kita yakin bahwa semua pasangan calon pemimpin negeri ini adalah orang-orang berkualitas dalam praktik kepemimpinan.
Kualitas semua bakal calon yang kini sudah meramaikan bursa pilpres itu tidak seperti diri kita yang untuk memimpin di tingkat rukun tetangga (RT) saja belum tentu mampu.
Hal praktis yang bisa dilakukan agar kita tidak tercebur dalam sikap menghalalkan segala cara saat mendukung pasangan capres dan cawapres adalah selalu berpikir kritis.
Selain kritis, pegang juga sikap selalu apatis terhadap konten yang kita terima lewat media sosial mengenai informasi negatif pasangan capres dan cawapres yang tidak kita dukung. Benarkah isi informasi negatif itu? "Jangan-jangan hanya fitnah". Pertanyaan ini akan menyelamatkan kita dari kubangan salah atau dalam konteks agama sebagai dosa.
Kalau kita kokoh memegang nilai-nilai agama, ada dua kemungkinan konsekuensi jika pikiran kritis dan apatis terhadap informasi negatif yang menyebar itu tidak kita pegang, yakni menghadapi tuntutan hukum negara karena menyebarkan kebencian dan dosa yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak.
Hal yang mungkin tidak disadari oleh yang mudah terpancing dengan informasi fitnah pada pasangan capres dan cawapres tertentu adalah seolah-olah kita membela agama. Dengan menyebar informasi fitnah mengenai calon yang tidak kita dukung, kita seolah-olah sudah memilih perbuatan mulia dengan iming-iming pahala berlipat ganda. Sejatinya kita terjebak dalam ilusi perbuatan mulia, padahal sebetulnya itu penuh dengan lumuran dosa.
Kembali ke nilai dasar dan luhur warisan leluhur, yaitu "seduluran", agama mengajarkan kita untuk berhati-hati dengan informasi mengenai saudara kita. Agama mengingatkan kita dengan perumpamaan seperti "makan bangkai saudaranya" jika kita bergibah atau bergunjing mengenai keburukan saudara kita.
Bergunjing saja sudah berstatus seperti memakan bangkai saudaranya, apalagi jika kita terlibat perilaku fitnah. Agamawan mengajarkan kita untuk selalu berucap "na'udzubillahi mindzakik" (Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan itu) jika mendapatkan informasi negatif.
"Seduluran selawase". Mari kita jalani episode demi episode pemilihan presiden dan wakil presiden ini dengan pikiran dan sikap riang. Kalau kita mewarisi negara ini dari leluhur tanpa kita ikut berperang melawan penjajah, mari kita juga mewariskan sesuatu yang indah kepada anak cucu kita kelak.
Setidaknya anak cucu mengenang kita sebagai generasi yang ikut memelihara nilai-nilai Pancasila. Demikian juga dengan anak cucu kita, kelak juga akan mewariskan nilai-nilai adiluhung yang bersumber dari Pancasila untuk anak cucunya.
Kita jangan mudah terpecah belah, dengan berpegangan erat pada nilai "seduluran selawase".