Gianyar, Bali (ANTARA) - Pagi itu di tengah kawasan permukiman di Desa Batubulan, Kabupaten Gianyar, Bali, berjejer bayi-bayi mungil menikmati hangatnya sinar mentari.
Kebiasaan berjemur dilakukan rutin setelah malaikat kecil itu mendapatkan sarapan pagi oleh para pengasuhnya.
Tanpa disadari bayi-bayi lucu dan menggemaskan itu bukanlah bayi pada umumnya yang lengkap dengan kehangatan pelukan sang ayah dan ibu.
Mereka adalah bayi-bayi nyaris telantar atau bahkan nyaris dibuang dan kini diselamatkan oleh seorang pria bernama Burhan.
Di tangan Burhan, bayi-bayi itu kini dirawat, menggantikan kasih sayang orang tua.
Bayi telantar
Pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah, itu mendirikan Yayasan Rumah Bayi Bali Indonesia pada 28 Mei 2019 dan baru beroperasi menerima bayi pada 2022 karena saat itu terkendala pandemi COVID-19.
Ia pertama kali menerima bayi perempuan berusia tiga bulan yang berasal dari Yogyakarta pada 28 Februari 2022, karena tidak ada tanggung jawab seorang ayah dan sang ibu yang kebingungan, tak memiliki uang dan menemui jalan buntu karena berbagai penolakan.
Bermodalkan tabungan hasil kerja keras sebagai seorang pemandu wisata khusus berbahasa Prancis di Bali, Burhan memberanikan diri mengontrak rumah di lahan seluas 200 meter persegi di Jalan Pasekan, Gang Pondok Batu Alam, Batubulan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Biaya kontrak rumah per tahun mencapai Rp40 juta, di luar biaya operasional lainnya.
Untuk kebutuhan bayi, ia juga banyak mendapat dukungan dari masyarakat karena bantuan donasi, salah satunya berupa perlengkapan bayi yang kini mengalir deras.
Di rumah dua lantai itu, Burhan membesarkan bayi-bayi yang berasal dari sejumlah kota di Tanah Air yang seluruhnya lahir di luar pernikahan yang sah oleh pasangan yang masih muda.
Bahkan, salah satu bayi prematur yang kini sudah tumbuh normal, dilahirkan dari seorang anak perempuan berusia 12 tahun dari Jawa Tengah.
Dengan dibantu lima orang pengasuh, mereka sabar merawat bayi tersebut, layaknya anak atau keluarga sendiri.
Salah satu pengasuh, Essy Trisia Ngongo sudah lima bulan merawat bayi tersebut dan secara bergiliran merawat bayi-bayi itu
Perempuan dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, itu memang suka dengan anak-anak. Ia pun telaten merawat bayi asuhnya, mulai dari bangun tidur, menyiapkan dan menyuapi makanan, pakaiannya, hingga merawat mereka saat sakit dan kembali tidur.
Mereka saat ini dalam kondisi sehat dan terawat. Tumbuh kembangnya pun menyesuaikan usianya.
Ada yang sudah bisa makan bubur atau makanan tambahan setelah susu formula, belajar berbalik badan, merangkak, berjalan, hingga mulai berbicara “bapak”.
Untuk keseharian, mereka tidur didampingi para pengasuh itu selama 24 jam di empat kamar yang berada di lantai dua.
Burhan yang berusia 46 tahun itu awalnya merawat dan mengasuh 20 bayi yang berusia dua bulan hingga 1,8 tahun.
Dua di antaranya sudah kembali ke pangkuan ibu kandungnya dan empat lainnya juga sudah bersama ibu kandungnya, namun keperluannya masih didukung oleh yayasan milik Burhan, sehingga kini menyisakan 14 orang bayi, tiga laki-laki dan 11 orang perempuan.
Bayi itu dijemput langsung oleh Burhan setelah dihubungi oleh sang ibu kandung.
Untuk menerima bayi tersebut, ia mengaku persyaratannya sederhana, yakni cukup Kartu Tanda Penduduk (KTP) sang ibu kandung serta menandatangani dokumen penyerahan pengasuhan sementara.
????
Motivasi Burhan
Pria lajang yang menjadi “bapak” dari malaikat kecil itu mengaku belum mengetahui sampai kapan ia akan merawat sementara bayi-bayi tersebut.
Ia akan menunggu kesiapan orang tua atau ibu kandungnya untuk menerima kembali anak mereka agar hubungan darah tidak terputus.
Namun, jika orang tua tersebut tak kunjung menerima, maka jalan terakhir adalah adopsi yang bukan melalui yayasannya, namun harus melalui pemerintah yakni dinas sosial.
Meski begitu, bagi Burhan, yang terpenting mereka saat ini selamat dan sehat, tidak telantar, atau bahkan tidak dibuang, misalnya di tempat sampah, seperti kebanyakan kasus bayi lahir di luar nikah.
Ia tak ingin bayi yang tak berdosa itu tidak mendapatkan kasih sayang, sehingga ditelantarkan atau dibuang akibat ibunya kalut dan bingung karena beragam alasan, di antaranya ketakutan dan penolakan dari keluarga, hingga lingkungan.
Menurut dia, selagi masih hidup dan bisa berkontribusi, harus membantu menyelamatkan generasi masa depan itu.
Rasa nurani dan iba membuat dirinya tak ingin menjadi sosok di "meja hijau pengadilan" terkait latar belakang sang bayi.
Bukan sekali ini saja ia bersosial. Saat gempa Yogyakarta pada 2006, ia juga ikut membantu perlengkapan anak-anak sekolah yang terdampak bencana alam itu.
Terlepas dari latar belakang sang anak, memberikan tempat yang layak sekaligus menjadi atap untuk bernaung dan berlindung, sejatinya memberikan hak untuk hidup dan terus tumbuh, sehingga memberikan kemerdekaan mendasar bagi sang anak.
Meski tak bisa memiliki kasih sayang sebagai hak dasar seorang bayi, Burhan mampu menggantikan peran tersebut agar bayi itu bebas merasakan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang.
Tak hanya itu, bayi-bayi itu juga merdeka dari potensi kekerasan fisik dan verbal karena terhindar dari potensi telantar dan dibuang.
Harapannya sosok-sosok seperti Burhan yang peduli dengan sosial itu terus bermunculan di negeri ini dengan caranya masing-masing untuk mengisi Kemerdekaan RI.
“Saya lebih senang kalau yayasan ini tutup. Kalau bayi bertambah banyak, saya tambah prihatin. Maunya tidak ada lagi tempat seperti ini, tidak ada bayi yang telantar atau bayi dibuang,” ucap Burhan berkaca-kaca, ketika ditemui ANTARA.