Jakarta (ANTARA) - Lahir di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur, pada 13 Mei 1957, Mohammad Mahfud atau yang akrab dikenal Mahfud Md merupakan anak dari pasangan Mahmodin dan Siti Khadijah. Memulai karier sebagai akademisi, Mahfud kemudian menjajal trias politika dengan menduduki sejumlah posisi strategis di ranah eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.
Nyaris 4 tahun berselang, kini ia didapuk menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) untuk mendampingi bakal calon presiden (capres) usungan PDI Perjuangan Ganjar Pranowo. Namanya diumumkan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jakarta, 18 Oktober 2023, satu hari menjelang pendaftaran capres-cawapres Pemilu 2024 ke KPU RI.
Kisah di balik MD
Sejarah panjang perjalanan hidup Mahfud tidak terlepas dari kisah unik munculnya MD di belakang namanya. Dinukil dari buku Sahabat Bicara Mahfud MD (2013), inisial Md sebenarnya tidak mencuat sampai Mahfud lulus dari sekolah dasar (SD).
Inisial tersebut muncul saat Mahfud masuk ke Pendidikan Guru Agama atau PGA (setingkat SMP). Di kelasnya kala itu, ada lebih dari satu murid yang bernama Mahfud sehingga wali kelasnya meminta diberi inisial di belakang nama untuk menjadi penanda.
Semula, Mahfud MD dikenal sebagai Mahfud “B”, tetapi seminggu kemudian wali kelas memintanya untuk menambah nama orang tua di belakang nama setiap Mahfud, jadilah ia bernama Mohammad Mahfud Mahmodin.
Namun, “Mahmodin” itu disingkat lagi menjadi Md, agar enak didengar. Berawal dari penanda untuk membedakan namanya dengan teman sekelas, kini Mahfud MD justru terkenal di Indonesia atau bahkan dunia.
Pendidikan
Setamat dari PGA Negeri di Pamekasan, Madura, Mahfud melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN)—sebuah sekolah kejuruan unggulan di Yogyakarta.
Setelah itu, Mahfud menimba ilmu di dua perguruan tinggi sekaligus: Jurusan Sastra Arab di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Jurusan Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Mahfud berlanjut menempuh pendidikan pascasarjana. Ia lulus dari Program Magister (S-2) Ilmu Politik dan Program Doktor (S-3) Ilmu Hukum Tata Negara, masing-masing di kampus yang sama: UGM.
Kondisi ekonomi keluarga kala itu membuat Mahfud mesti usaha ekstra mencari tambahan biaya pendidikan. Ia aktif menulis di pers kampus dan surat kabar serta menjadi penerima beasiswa.
Mahfud pernah diberi beasiswa penuh oleh Rektor UII karena terpilih sebagai mahasiswa berprestasi. Berkat kepintarannya, Mahfud juga menerima beasiswa dari sebuah yayasan dan Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menempuh studi S-3.
Ketika menjadi mahasiswa, anak keempat dari tujuh bersaudara itu dikenal sebagai aktivis. Namanya hilir mudik di berbagai organisasi, seperti senat mahasiswa, badan perwakilan mahasiswa, hingga lembaga pers mahasiswa. Ia bahkan pernah menjadi pemimpin redaksi di majalah Keadilan dan Muhibbah yang diterbitkan UII.
Aktivisme dan Karya
Naluri aktivis membawa Mahfud ke berbagai organisasi, di antaranya tercatat menjadi Ketua Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Pernah pula menjadi Wakil Ketua Dewan Pembina Pengurus Pusat Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS) dan pemimpin LSM Parliament Watch-Indonesia (ParWI).
Sebagai akademisi, pakar, pengamat, sekaligus sosok yang akrab dengan kegiatan menulis, Mahfud telah melahirkan sejumlah buku.
Beberapa judul buku yang pernah ditulis Mahfud adalah Perdebatan Hukum Tata Negara: Pasca Amandemen Konstitusi (2010); Hukum dan Konstitusi dalam Kontroversi Isu (2010); Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (2006); Demokrasi dan Konstitusi (2001); Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (2000); serta Pergulatan Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (1999).
Selain berkarya, ia juga diabadikan lewat tulisan. Misalnya dalam buku Sahabat Bicara Mahfud MD (2013); Gaya Lugas Mahfud MD (2021); Mahfud MD, Mantan Hakim Konstitusi Paling Dicari (seri I dan II 2019, seri III 2020); serta Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Moh. Mahfud MD (2007).
Karier
Setelah menggondol gelar sarjana hukum, Mahfud langsung memulai kariernya sebagai dosen di UII. Di tengah kesibukan menjadi dosen, dia tetap bergelora mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di UGM. Puncaknya, dia menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Politik Hukum (bagian dari studi Hukum Tata Negara) pada 1 November 1999.
Lebih lanjut, Mahfud merambah ranah eksekutif ketika diangkat sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Staf Ahli Menteri Negara Urusan Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang kemudian diangkat menjadi Deputi Menteri Negara Urusan HAM pada awal tahun 2000.
Tidak berselang lama, ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada periode 2000-2001. Mahfud juga merangkap Menteri Kehakiman dan HAM di masa jabatan presiden ke-4 itu.
Purnatugas sebagai menteri, Mahfud menyelami ranah legislatif lewat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ia menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB. Berikutnya pada Pemilu 2004, Mahfud terpilih sebagai anggota DPR dari PKB untuk periode 2004–2009.
Keseriusannya dalam bidang hukum, mendorong Mahfud mengikuti seleksi uji kelayakan calon hakim konstitusi. Dia terpilih sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) selama dua periode, yakni 2008–2011 dan 2011–2013. Dengan demikian, Mahfud telah pula merambah ranah yudikatif.
Setelah itu, Mahfud bekerja sebagai Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebelum kemudian diangkat menjadi Menkopolhukam di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Mahfud bersama pasangannya, Ganjar, resmi menyerahkan berkas pendaftaran ke Kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Kamis (19/10). Kini, Guru Besar Hukum Tata Negara itu siap mengarungi bahtera kontestasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 dengan segenap cita-cita besar untuk Indonesia.