Jakarta (ANTARA) - Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Roy Himawan meminta kolaborasi lintas sektor, termasuk periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam mengembangkan biofarmasi dan obat berbahan baku lokal.
Roy mengatakan bahwa pengembangan biofarmasi dan obat berbahan baku lokal mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor.HK.01.07/MENKES/1333/2023 tentang Peningkatan Penggunaan Sediaan Farmasi yang Menggunakan Bahan Baku Produksi Dalam Negeri.
Dalam KMK Nomor.HK.01.07/MENKES/1333/2023 itu, terdapat 45 bahan baku obat (BBO) yang didorong untuk digunakan di dalam negeri.
Sebanyak 21 BBO, kata dia, selesai pengembangannya, dan 24 lainnya dalam pengembangan hingga 2024, termasuk BBO paracetamol, yang sering digunakan masyarakat Indonesia.
Ia menegaskan bahwa penetapan keputusan itu bertujuan sebagai upaya mendukung pengembangan industri sediaan farmasi dalam negeri.
Dengan diterbitkannya KMK, lanjut dia, instansi pemerintah, baik di pusat maupun daerah, dan institusi swasta harus mengutamakan ketersediaan farmasi yang menggunakan bahan baku produksi dalam negeri dalam pengadaan barang atau jasa melalui katalog elektronik.
Namun, kata dia, di sisi lain pengembangan inovasi kebutuhan bahan baku obat dalam negeri masih sulit dipenuhi industri hulu di Indonesia.
Untuk itu, dia menekankan bahwa industri dapat melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi ataupun badan penelitian terkait dengan kebutuhan bahan baku.
"Industri bisa masuk ke perguruan tinggi atau badan penelitian untuk memaparkan kebutuhan produksinya sehingga periset memiliki tantangan untuk memenuhi kebutuhan tersebut," katanya.
Dalam pemenuhan kebutuhan transformasi kesehatan, pihaknya berupaya meningkatkan kapasitas pengembangan dalam negeri melalui berbagai kebijakan salah satunya dengan upaya kerja sama dunia dan multisektor.
Hal ini mendorong transfer teknologi biofarmasi yang perlu disertai regulasi, pasar produk lokal, sumber daya manusia dan lingkungan yang mendukung inovasi.