Jakarta (ANTARA) - Masyarakat adat sering kali memiliki banyak kesamaan dengan segmen masyarakat lain yang terabaikan, baik berupa terjadinya marginalisasi ekonomi, kemiskinan, kurangnya akses terhadap layanan sosial, maupun diskriminasi.
Upaya kalangan akademikus menjaga masyarakat hukum adat
Jumat, 15 Maret 2024 10:41 WIB
Terlepas dari perbedaan budaya di antara masing-masing suku, masyarakat hukum adat yang beragam juga mempunyai permasalahan yang sama terkait dengan perlindungan hak-hak mereka.
Masyarakat hukum adat harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas identitas mereka, cara hidup mereka, dan kehidupan mereka hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam tradisional. Padahal, mereka tinggal di wilayahnya yang sudah dari generasi ke generasi mereka kuasai, sebelum masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak terlindunginya hak-hak masyarakat hukum adat, makin terasa dengan makin meningkatnya kegiatan bisnis oleh para investor yang kurang memperhatikan dan menghargai keberadaan masyarakat hukum adat.
Kondisi masyarakat adat saat ini sempat mengemuka saat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Prof. Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, Ph.D., S.H., M.H. memaparkan rekomendasi Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia. Rekomendasi ini diserahkan Prof. Dewi kepada Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Sunarto di Gedung MA, Jakarta, Kamis (14/3).
Dalam diskusi antara MA dan APHA yang dipimpin oleh Wakil Ketua MA Sunarto bersama Ketua Umum APHA Indonesia Prof. Dr. St. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., sempat muncul isu strategis nasional mengenai hukum adat dan masyarakat hukum adat, baik yang terkait dengan penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pidana adat maupun di beberapa peraturan perundang-undangan lain.
Sejumlah isu yang mendapat sorotan kalangan akademikus yang tergabung dalam APHA, antara lain, KUHP baru tidak memberikan batasan yang jelas mengenai hukum yang mana yang diterapkan.
Kendati demikian, KUHP baru ini memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat, meski masih relatif sangat kecil.
Setiap masyarakat adat mempunyai hukum yang berbeda antara satu dan lainnya. Hal ini mengandung multiinterpretasi, sehingga penggunaan living law (pengaturan hukum yang hidup di tengah masyarakat) terkesan dapat secara semena-mena.
Adanya daerah-daerah hukum adat yang berbeda hingga apabila seseorang hidup sehari-hari di bawah hukum adat dari lingkungan hukum adat, kemudian mengadakan hubungan dengan orang dari lingkungan adat lain, akan menimbulkan persoalan hukum antar-adat. Bahkan, secara filosofis penyelesaian sengketa dilakukan pada lembaga yang bukan berasal dari masyarakat adat.
Substansi hukum adat diatur dalam peraturan daerah (perda) ini juga sempat menjadi bahan pembahasan dalam diskusi APHA dan MA. Pasalnya, apabila pemerintah daerah tidak mau mengatur, akan kesulitan menerapkan hukum adat.
Hal lain yang menjadi perbincangan antara pakar hukum adat dan MA adalah sistem penyelesaian perkara-perkara adat berbeda secara formal, kemudian daya berlakunya putusan dalam perkara delik adat, lalu bagaimana bentuk pengakuan negara terhadap putusan delik adat.
Diungkapkan pula oleh APHA bahwa formulasi hukum adat yang dilakukan oleh hakim belum tentu sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat adat.
Atas dasar itulah APHA memberikan rekomendasi berisi 10 poin: Pertama, untuk mengatasi hambatan filosofis penyelesaian sengketa adat oleh lembaga yang bukan berasal dari masyarakat adat, seharusnya penyelesaian kasus hukum adat oleh hakim adat.
Kedua, perlu sesegera mungkin dibuat peraturan pemerintah yang dapat memberi batasan yang jelas berkaitan dengan hukum yang mana yang dapat diterapkan.
Ketiga, guna menghindari multiinterpretasi yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dan penggunaan living law secara semena-mena, APHA memandang perlu ada pengaturan lebih jauh terkait dengan tahapan interpretasi dalam penyelesaian kasus delik adat.
Keempat, perlu ada ketentuan mengenai hukum perselisihan antar-adat guna mengatasi adanya daerah-daerah hukum adat yang berbeda. Dengan demikian, apabila seseorang hidup sehari-hari di bawah hukum adat dari lingkungan hukum adat mengadakan hubungan dengan orang, dapat terselesaikan.
Kelima, perlu ada ketentuan yang sifatnya memaksa bagi pemerintah daerah untuk mengatur substansi hukum adat yang termaktub dalam peraturan daerah (perda) agar dapat melaksanakan ketentuan dalam KUHP dan bisa menerapkan hukum adat.
Keenam, perlu peraturan penyelesaian kasus hukum adat secara formal agar memenuhi rasa keadilan masyarakat hukum adat; Ketujuh, perlu diatur lebih jauh daya berlakunya putusan dalam perkara delik adat; Kedelapan, perlu diatur lebih jauh bagaimana bentuk pengakuan negara terhadap putusan delik adat.
Kesembilan, para hakim perlu dibekali bagaimana formulasi penyelesaian perkara hukum adat yang dilakukan agar dapat sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat hukum adat.
Kesepuluh, untuk memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat, pemberlakuan sistem peradilan adat harus terlepas dari sistem peradilan umum dan posisinya setara dengan sistem peradilan yang selama ini berlaku. Dengan demikian, perkara hukum adat dapat diselesaikan oleh hakim adat yang jauh lebih paham rasa keadilan masyarakatnya.
Dalam pertemuan itu, juga muncul gagasan hukum adat menjadi pertimbangan kurikulum pendidikan dan pelatihan calon hakim dan hakim Mahkamah Agung (MA). Ide ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal APHA Indonesia Dr. Rina Yulianti, S.H., M.H.
Jauh sebelum KUHP baru, menurut Dr. Rina Yulianti, hakim sudah mempunyai kewajiban untuk melakukan judicial activism, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim perlu menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Maka dari itu, kata pakar hukum adat dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) ini, paradigma pluralisme hukum menjadi bagian penting dari kemampuan hakim untuk membuat putusan yang berkeadilan dan berkualitas dalam konteks Indonesia.
Rekomendasi dari pakar hukum adat yang tergabung dalam APHA ini merupakan bentuk kepedulian kalangan akademikus menjaga kearifan lokal di suatu wilayah sekaligus berupaya agar masyarakat hukum adat tetap eksis atau tidak tergerus arus kapitalisme yang telah memasuki sendi-sendi kehidupan komunitas masyarakat.