Jambi (ANTARA) - Masyarakat marga Bukit Bulan di Kabupaten Sarolangun dan masyarakat adat Kerinci, Provinsi Jambi, saat ini sedang menunggu legalitas hutan adat mereka. Syarat legal formal dari negara untuk pengakuan hutan adat ini harus diawali dengan adanya pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Identitas sebagai MHA ini juga menjadi salah satu prasyarat bagi masyarakat untuk mendapatkan izin mengelola hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi sebagai pendamping mengakui proses pengakuan MHA berlangsung panjang, mulai dari identifikasi hingga pengesahan dalam bentuk produk hukum berupa perda untuk MHA yang berada di dalam kawasan hutan negara.
“Untuk meringkas proses ini, di Jambi saat ini tengah diusulkan Rancangan Perda MHA,” kata direktur lembaga itu, Adi Junedi.
Secara garis besar konsep perda pedoman ini, gubernur/bupati/wali kota--sesuai dengan kewenangannya--dapat memberikan pengakuan MHA melalui surat keputusan kepala daerah, baik untuk MHA yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan.
Oleh karenanya, organisasi pendampingan masyarakat itu mengapresiasi proses Perda MHA yang saat ini sudah pada tahapan harmonisasi Ranperda MHA di Kanwil Kementerian Hukum dan HAM.
Beberapa waktu lalu, Biro Hukum Setda Provinsi Jambi, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi, bersama lembaga non-profit itu dan tim yang tergabung dalam Tim Penyusun Ranperda, mengakui telah melewati proses harmonisasi di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
Harmonisasi
Harmonisasi untuk pengesahan Perda MHA telah dilaksanakan pada 29 Maret 2023 di Kanwil Kemenkumham Provinsi Jambi antara masyarakat yang didampingi lemba tersebut bersama dengan pihak terkait lainnya.
Proses harmonisasi sendiri merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan sebelum pembahasan ranperda di tingkat legislatif.
Harmonisasi ini merupakan pengujian substansi ranperda secara vertikal dan horisontal yang bertujuan untuk menguji produk hukum tersebut secara substansi tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau peraturan setingkatnya.
Proses harmonisasi ranperda ini berjalan dengan baik dan menghasilkan beberapa rekomendasi, yang salah satu di antaranya terdapat perubahan judul ranperda yang awalnya Ranperda tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat hukum adat di Daerah Provinsi Jambi menjadi Ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Daerah Provinsi Jambi.
Yunasri Basri selaku Sekretaris Tim Penyusun Ranperda MHA menyatakan dengan sudah selesainya harmonisasi ini, selanjutnya Ranperda MHA memasuki tahapan pembahasan di DPRD Provinsi Jambi.
Ranperda tersebut telah masuk dalam Program apembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Provinsi Jambi Tahun 2023 dan dapat secepatnya ditetapkan menjadi perda agar dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota dalam menetapkan masyarakat hukum adat sesuai dengan kewenangannya.
Sementara itu Analis Hukum dan Kebijakan KKI Warsi Tradis Reformas yang juga merupakan bagian dari tim penyusun ranperda berharap proses penyusunan hingga penetapan ranperda ini berjalan dengan baik.
Tidak ada substansi di dalam ranperda yang dianggap bertentangan, walaupun ada beberapa catatan dan masukan dari Kanwil Kemenkumham pada proses harmonisasi tersebut. Namun, menurut dia, tidak mengubah substansi ranperda yang sudah disusun.
“Perda ini sudah ditunggu-tunggu masyarakat adat agar penetapan dapat segera dilaksanakan, dengan harapannya semoga proses berikutnya akan terus berjalan dengan lancar,” kata Tradis.
Saat ini di ada 23 potensi hutan adat di Jambi. Dengan adanya Ranperda MHA ini akan memberikan kekuatan bagi bupati dalam menetapkan masyarakat hukum adat di wilayahnya dengan hanya menggunakan SK bupati, tanpa harus menunggu adanya perda masing-masing kabupaten.
Dia mengatakan ada pun yang disebut dengan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia.
Sumbernya adalah ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
Legalitas untuk menjalankan atau menegakkan peraturan adat dapat membuat masyarakat punya posisi tawar dalam menjaga wilayah dan lingkungannya, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa Rantau Kermas. Komunitas ini dapat menjatuhkan sanksi adat kepada pihak-pihak yang terbukti melakukan tindakan yang merusak hutan adat, seperti pemberlakuan denda beras sebanyak 20 gantang, kambing satu ekor, dan uang sejumlah Rp500 ribu.
Ranperda ini menjadi hal penting karena banyak faktor. Di Kabupaten Sarolangun terdapat empat MHA yang sedang berproses yaitu Bukit Bulan, Datuk Nan Tigo, Sungai Pinang, dan Batang Asai yang saat ini menantikan pengakuan masyarakat adat yang sekaligus berfungsi sebagai pengakuan hak kelola hutan adat.
Pengakuan MHA Bukit Bulan akan mendorong pengakuan Hutan Adat Bathin Batuah Berkun yang hingga kini belum bisa mendapatkan penetapan Hutan adat dari KLHK.
Sementara saat ini kawasan ini terancam oleh masuknya aktivitas ilegal seperti penambangan emas liar.
Di Kabupaten Kerinci pun, keterancaman wilayah adat juga dialami oleh masyarakat adat Depati Nyato setelah pada tahun 2015 terjadi konflik tenurial (saling klaim) hutan pada masyarakat adat Depati Nyato.
Seorang oknum terlibat praktik jual beli lahan di hutan adat. Hal ini juga beruntun pada konflik sosial dan budaya. Oleh karena itu, lembaga adat berembuk hutan adat harus segera mendapatkan legalitas. Karena dengan begitu masyarakat memiliki kekuatan hukum untuk melindungi kawasannya.
Masyarakat Adat Depati Nyato was-was jika ada pihak lain yang mencaplok wilayah adat mereka. Mengingat wilayah hutan adat berada di luar kawasan hutan negara, namun memiliki peranan penting dalam fungsi ekologis sebagai penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan penopang pertanian masyarakat.
“Kita berharap Ranperda MHA ini segera disahkan, agar bisa mempercepat pengakuan hutan adat di masyarakat. Apalagi keterancaman wilayah juga makin tinggi,” ujar Adi Junedi mengingatkan.
Setidaknya, ketika Perda MHA diterbitkan, ada kejelasan payung hukum sebagai tempat berlindung masyarakat adat secara legal.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menunggu Perda Masyarakat Hukum Adat di Jambi