Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis kesehatan jiwa Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit Jakarta, dr Yenny Sinambela, SpKJ (K) saat acara Jakarta Berjaga di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu, menjelaskan pengaruh adiksi gawai bisa menyebabkan obesitas serta mudah diserang lupa.
"Dalam aspek kognitif jadi mudah lupa, istilahnya tidak konsentrasi begitu lah ya. Terus secara fisik, dia bisa obesitas," kata Yenny.
Menurut dia, adiksi atau ketergantungan bisa membuat obesitas ketika orang menjadi terbiasa menyiapkan makanan di sekitarnya sebelum melakukan aktivitas bersama gawai agar kesenangannya tidak terganggu.
"Akibatnya badannya menjadi gede," kata Yenny.
Dampak lainnya, saraf motorik di tubuh mulai terasa nyeri akibat terus terpaku menahan posisi bermain gawai yang tidak terlalu aktif.
"Kepala mulai terasa pusing, atau tangannya terasa sakit," kata Yenny.
Kemudian, adiksi terhadap penggunaan gawai juga menyebabkan seseorang menunda-nunda kegiatan produktif lain seperti bekerja atau belajar.
Adiksi penggunaan gawai juga bisa memunculkan masalah lain misalnya bangkrut, jika gawai tersebut dipakai untuk bermain judi daring, atau meningkatnya masalah pada pernikahan.
Yenny juga tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang yang terserang adiksi gawai dapat rentan terhadap gangguan kecemasan, bahkan depresi.
Jika seperti itu, Yenny menganjurkan orang yang terserang adiksi untuk dibawa oleh orang terdekatnya untuk memperoleh pertolongan medis dari dokter spesialis kesehatan jiwa.
Sementara itu, dokter spesialis kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, dr Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ Jakarta mengatakan ciri-ciri orang dengan gangguan jiwa yang membutuhkan pertolongan medis.
Ciri-ciri gangguan jiwa itu diistilahkan dengan 3P.
P yang pertama adalah gangguan pikiran. Ketika seseorang terlihat memiliki gangguan pikiran yang sama secara terus-menerus, bahkan membuat orang itu menjadi sulit tidur, maka sebaiknya orang terdekat memeriksakan orang itu ke dokter atau psikolog.
P yang kedua adalah gangguan perasaan. Seseorang yang terus merasa sedih, atau cemas, atau marah secara berkelanjutan, sebaiknya diberi pertolongan dengan membawanya untuk ditangani oleh dokter atau psikolog.
P yang ketiga adalah gangguan perilaku. Gangguan itu membuat seseorang terasa berbeda kepribadian dari sebelumnya. Misalnya orang tersebut menarik diri dari pergaulan, terlihat mudah tersinggung bahkan bisa menangis terus-terusan. Orang terdekat dianjurkan untuk mencari bantuan dokter atau psikolog.
"Ketika melihat ada 3P ini, itu adalah peringatan untuk kita mencari bantuan profesional. Bisa ke psikolog ataupun ke psikiater (dokter spesialis kesehatan jiwa)," kata Zulvia.
Jakarta masuk ke dalam daftar 10 kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia, berdasarkan laporan The Least and Most Stressful Cities Index tahun 2021.
Riset global yang lain dalam Health Service Monitoring 2023 yang menyurvei pandangan 23.274 responden dewasa yang tersebar di 31 negara pada periode 21 Juli-4 Agustus 2023 menyatakan bahwa kesehatan mental menjadi masalah kesehatan yang paling mengkhawatirkan, di atas kanker.
Oleh sebab itu, Dinkes DKI Jakarta menyelenggarakan Jakarta Berjaga (Berjaga akronim dari Bergerak, Bekerja, Berolahraga dan Bahagia), di mana salah satu poin acaranya ialah seminar edukasi kepada masyarakat mengenai cara mencapai bahagia.
Dalam Jakarta Berjaga, Dinkes DKI Jakarta menghadirkan dokter spesialis jiwa dari RSUD Tarakan Jakarta, dr Zulvia Oktanida Syarif, SpKJ dan dokter spesialis jiwa Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit Jakarta, dr Yenny Sinambela, SpKJ (K) untuk memberikan materi edukasi bertajuk "Bahagia Tanpa Syarat".
Dalam kesempatan itu, dr Yenny menganjurkan untuk mengurangi adiksi atau ketergantungan terhadap penggunaan gawai, dengan aktivitas fisik seperti olah raga rileksasi seperti berjalan kaki dan yoga serta bersosialisasi untuk membuat hormon bahagia atau hormon endorfin menjadikan tubuh merasa nyaman.
Dikatakan pula bahwa individu yang berhasil mencapai lebih dari 7.500 langkah per hari menunjukkan penurunan signifikan dalam risiko penyakit kronis dibandingkan mereka yang kurang aktif.