Jakarta (Antara Jambi) - Aliansi Stabilkan Harga menduga ada praktik kartel dalam impor komoditas bawang putih, sehingga harganya melambung akhir-akhir ini. Belum lama ini dugaan serupa terjadi di bisnis impor daging sapi, menyebabkan KPK memeriksa sejumlah elit, di antaranya Menteri Pertanian, Suswono.
"Itu terlihat dari Rekomendasi Impor Produk Holtikultura, bahwa 50 persen kuota impor bawang putih dikuasai kartel alias asosiasi terdiri 21 perusahaan," kata Koordinator Aliansi Stabilkan Harga, Abdul Hidayatullah, di Jakarta, Jumat.
Kartel adalah gabungan dari para pengusaha yang bertujuan meraih keuntungan besar dengan cara monopoli perdagangan dan mengendalikan produksi dan harga barang.
Di Pasar Ampera, Jakarta Timur, harga bawang merah sampai Rp100.000 sekilogram pada Jumat pagi. "Bisa lebih mahal lagi besok, kabarnya begitu," kata Soleh, seorang pedagang di pasar yang dikelola PD Pasar Jaya itu.
Praktik kartel, katanya, bisa dilihat secara sederhana saja, yaitu tanpa sebab-musabab jelas, tiba-tiba saja harga satu komoditas meroket tidak terkendali.
Ia menegaskan, kartel dalam perdagangan dilarang keras.
Pasal 11 UU Nomor 5/1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyebutkan, "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat".
Ia menyebutkan beberapa jenis, yakni kartel harga pokok (prijskartel), kartel harga, kartel syarat, kartel rayon (wilayah), kartel kontingentering, kartel laba dan sindikat penjualan.
"Sebagai negara agraris, Indonesia sebenarnya bisa terbebas dari ketergantungan impor dan praktik-praktik mafia perdangan. Caranya, Indonesia harus segera melaksanakan reforma agraria," ujarnya.
Akan tetapi, strategi dan konsep jelas tentang kedaulatan pangan tidak pernah dilakukan secara kontinu dan dikawal oleh pemerintah.
Hampir selalu, tiap ada kenaikan harga pangan, pemerintah selalu mengatasi itu dengan cara instan membuka keran impor, bukannya mendorong produktivitas pangan.(Ant)