Jakarta (Antaranews Jambi) - Eksekusi mati jilid IV harus segera dilaksanakan mengingat masifnya peredaran narkoba bahkan bisa dikendalikan dalam lembaga pemasyarakatan, demikian pakar hukum pidana Universitas Bung Karno Azmi Syahputra.
"Jadi tidak ada alasan apapun lagi seharusnya segera dilaksanakan hukuman mati," katanya kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Ia menyoroti belum terlaksananya eksekusi mati itu karena semakin membuktikan pokok permasalahannya.
Dia mengatakan, inti masalah terletak pada orang orang atau lembaga pelaksana hukuman mati. Atau diduga hanya memanfaatkan kebaikan regulasi jika RKUHP disahkan.
Karena dalam RKUHP hukuman mati dapat diubah dengan menunggu 10 tahun, sebab bagi mereka yang berkelakuan baik selama 10 tahun maka hukuman mati dapat diubah dengan hukuman penjara maksimal, paparnya.
Trik tersebut, kata dia, akal-akalan dan dapat saja terjadi penyalahgunaan kewenangan di masa jeda tidak dilaksanakan hukuman mati ini.
Ia mengingatkan, modus operandi dan bahaya dampak bandar narkoba semakin sistematis, terstruktur masif di semua kalangan anak bangsa.
Hal tersebut membahayakan keamanan nasional bangsa sehingga pemerintah, dalam hal ini jaksa agung, harus tegas.
"Sekali lagi ini masalah komitmen, keberanian untuk menyelamatkan generasi bangsa Indonesia dari bahaya narkoba," katanya.
Sepanjang 2015-2018, Kejagung telah melaksanakan eksekusi terhadap 18 terpidana mati yang terbagi dalam tiga tahap atau jilid.
Jilid 1, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil) dan Zainal Abidin (Indonesia).
Jilid 2, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brasil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Kesemuanya kasus narkoba.
Jilid 3, sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria).
"Jadi tidak ada alasan apapun lagi seharusnya segera dilaksanakan hukuman mati," katanya kepada Antara di Jakarta, Jumat.
Ia menyoroti belum terlaksananya eksekusi mati itu karena semakin membuktikan pokok permasalahannya.
Dia mengatakan, inti masalah terletak pada orang orang atau lembaga pelaksana hukuman mati. Atau diduga hanya memanfaatkan kebaikan regulasi jika RKUHP disahkan.
Karena dalam RKUHP hukuman mati dapat diubah dengan menunggu 10 tahun, sebab bagi mereka yang berkelakuan baik selama 10 tahun maka hukuman mati dapat diubah dengan hukuman penjara maksimal, paparnya.
Trik tersebut, kata dia, akal-akalan dan dapat saja terjadi penyalahgunaan kewenangan di masa jeda tidak dilaksanakan hukuman mati ini.
Ia mengingatkan, modus operandi dan bahaya dampak bandar narkoba semakin sistematis, terstruktur masif di semua kalangan anak bangsa.
Hal tersebut membahayakan keamanan nasional bangsa sehingga pemerintah, dalam hal ini jaksa agung, harus tegas.
"Sekali lagi ini masalah komitmen, keberanian untuk menyelamatkan generasi bangsa Indonesia dari bahaya narkoba," katanya.
Sepanjang 2015-2018, Kejagung telah melaksanakan eksekusi terhadap 18 terpidana mati yang terbagi dalam tiga tahap atau jilid.
Jilid 1, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (WN Australia anggota Bali Nine), Raheem Agbaje Salami, Sylvester Obiekwe Nwolise, Okwudili Oyatanze (WN Nigeria), Martin Anderson (Ghana), Rodrigo Galarte (Brasil) dan Zainal Abidin (Indonesia).
Jilid 2, sebanyak enam terpidana mati, yakni, Ang Kiem Soei (WN Belanda), Marco Archer (Brasil), Daniel Enemuo (Nigeria), Namaona Denis (Malawi), Rani Andriani (Indonesia) dan Tran Bich Hanh (Vietnam). Kesemuanya kasus narkoba.
Jilid 3, sebanyak empat terpidana mati, Freddy Budiman (WN Indonesia), Seck Osmane (Nigeria), Humprey Jefferson Ejike (Nigeria) dan Michael Titus Igweh (Nigeria).