Jakarta (ANTARA) - Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan anjloknya harga minyak dunia akan turut mempengaruhi produksi gas bumi secara global.
Salah satu konsumen gas bumi terbesar di dunia adalah Amerika Serikat. Saat ini konsumsi gas bumi Amerika Serikat sekitar 30 triliun kaki kubik (tcf) per tahun. Sebagai perbandingan, produksi gas bumi Indonesia sekitar 2,9 tcf per tahun dan sekitar 60 persen dikonsumsi untuk kebutuhan dalam negeri.
Dengan kondisi minyak saat ini, pada minggu ketiga Mei 2020, fasilitas penampungan minyak Cushing di Oklahoma akan penuh. Fasilitas tersebut memiliki kapasitas 76 juta barel crude.
“Jika produksi minyak terhenti, maka gas yang diproduksi sebagai fluida ikutan dari minyak tersebut juga akan terhenti,” katanya. Akibatnya, sekitar 14 miliar kaki kubik gas bumi per hari di AS akan menghilang dari pasar.
AS sendiri mengekspor sekitar 8 bcf per hari dalam bentuk LNG ke pasar global. Jika pengurangan produksi gas sebanyak 14 bcf per hari di AS ini bwrtahan selama dua bulan, maka akan terjadi pengurangan pasokan gas bumi global sebesar 840 bcf.
Apabila pasar kembali normal maka akan butuh untuk mengembalikan pasokan gas ke posisi awal, butuh waktu sekitar 1 bulan. Sehingga produksi gas di AS akan berkurang sebanyak 14 bcf dikalikan 90 hari yaitu sekitar 1,26 tcf.
Akibat kekurangan pasokan tersebut, harga gas bumi di AS nanti pada musim panas akan diperkirakan mengalami kenaikan cukup tajam. “Bisa sekitar 1,5 kali dari harga sekarang. Ini dengan asumsi wabah COVID-19 bisa terkendali pada musim panas tahun ini,” jelasnya.
Selain itu, imbas dari kurangnya pasokan gas tersebut bisa mempengaruhi produksi dan harga gas di negara lain, termasuk Indonesia. Maka ia menyarankan untuk bersiap dengan keadaan tersebut.
Baca juga: Arcandra: Kontrak jangka panjang, strategi saat harga minyak anjlok
Baca juga: Arcandra: RI bukan negara kaya minyak, cadangannya 0,2 persen dunia
Baca juga: Arcandra sebut mobil listrik dapat tekan impor minyak mentah