Jakarta (ANTARA) - Dalam sepekan terakhir, berbagai peristiwa penting mencuat dan menjadi perhatian publik di seantero Tanah Air.
Di sisi lain, peristiwa politik dan hukum mengiringi perkembangan wabah. Sebut saja penangkapan Djoko Tjandra, unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, hingga kerumunan di Petamburan (Jakarta Pusat).
Yang juga mencuat adalah dua penangkapan yang melibatkan petinggi di pemerintahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna.
Dua penangkapan itu mencuatkan kembali popularitas KPK periode saat ini yang semula dinilai kurang "greget". Penilaian seperti itu menggambarkan bahwa publik lebih melihat kinerja KPK dari aksinya menangkap terduga pelaku korupsi.
Baca juga: MPR-KPK diskusi minimalisir potensi korupsi di dunia usaha
Padahal sebelum ada dua penangkapan itu pun KPK tetap melakukan giatnya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dari memeriksa serta menjadikan tersangka sejumlah pejabat dan mantan pejabat serta mengusut pihak swasta.
Tetapi demikianlah penilaian publik melihat KPK. Penetapan tersangka dianggap biasa, tetapi menangkap terduga koruptor dalam operasi tangkap tangan baru dianggap luar biasa.
Karena itu, ketika KPK menangkap menteri dan dalam beberapa saat kemudian mencokok seorang wali kota, perhatian kepada KPK kembali membahana di seluruh lini opini publik.
Pilkada
Pencegahan tindak pidana korupsi adalah salah satu tugas penting lembaga anti rasuah ini dari waktu ke waktu. Tugas ini tak kalah pentingnya dengan penindakan yang antara lain diwujudkan dengan penangkapan maupun operasi tangkap tangan (OTT).
Kini, peristiwa yang juga sedang menjadi perhatian serius KPK adalah pemilihan kepala daerah (pilkada). Perhatian serius ini terkait pencegahan tindak pidana korupsinya, bukan teknis penyelenggaraannya.
Mengapa KPK harus ikut-ikutan bicara mengenai pilkada yang berintegritas? Tak lain karena dilatarbelakangi beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada pilkada tahun 2015, 2017 dan 2018.
Baca juga: Saat benih lobster berubah menjadi koper
KPK memiliki enam tugas pokok tugas pencegahan (melakukan tindakan-tindakan yang berusaha mencegah timbulnya tindak pidana korupsi), koordinasi, monitoring, supervisi, selanjutnya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melaksanakan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Paling tidak ada empat tugas utama KPK yang relevan dengan keikutsertaan KPK mewujudkan pilkada yang berintegritas.
Sebagai langkah pencegahan, sebenarnya sudah cukup lama KPK menyampaikan peringatan dan imbauan mengenai pentingnya pilkada yang bersih dari korupsi. Bukan hanya bersih penyelenggaraannya, tetapi juga calon kepala daerah yang akan memimpin.
Pemantauan
KPK tidak main-main atau sekedar menyampaikan peringatan biasa. Dugaan terjadinya praktik korupsi di arena pilkada bukan isapan jempol.
Buktinya, KPK sedang menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang dilakukan peserta Pilkada Serentak 2020. KPK bahkan telah memulai penyelidikan pada beberapa pasangan calon yang ikut dalam penyelenggaraan pilkada ini.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango saat webinar Pembekalan Cakada Provinsi Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat, misalnya, awal November lalu, mengungkapkan adanya dugaan calon kepala daerah yang sedang dibidik.
Namun, dia tak menjelaskan lebih lanjut siapa pasangan calon kepala daerah yang tengah diselidiki. Dia hanya menegaskan bahwa KPK terus mengawasi proses pilkada agar tidak ternodai oleh praktik korupsi.
Baca juga: Pengamat sebut Edhy Prabowo ditangkap, turunkan elektabilitas Gerindra
Tim KPK terus melakukan pemantauan di tengah penyelenggaraan pilkada. Terlebih, dalam situasi dan kondisi pandemi virus corona (COVID-19) ini.
Yang pasti KPK tidak mengambil kebijakan menangguhkan atau menunda penanganan tindak pidana korupsi calon kepala daerah selama tahapan Pilkada Serentak 2020. "KPK tidak melakukan kebijakan seperti itu," kata Nawawi.
KPK memastikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dugaan korupsi yang melibatkan calon kepala daerah itu masih terus berjalan tanpa ditangguhkan. Dalam kondisi seperti ini jika kemudian KPK menemukan praktik indikasi tindak pidana korupsi, KPK akan melakukan pada saat sekarang juga.
Donatur
Salah satu yang menjadi perhatian adalah donatur atau sponsor yang ikut membuayai sang calon. Apabila calon telah terpilih, pada titik inilah potensi terjadinya korupsi melalui kebijakan yang menguntungkan donatur atau sponsor.
Ratusan kepala daerah telah ditangkap KPK dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir akibat suap atau gratifikasi. Juga akibat kebijakan yang menguntungkan pihak yang ikut menenangkannya dalam pilkada.
Karena itu, KPK mengingatkan kepada calon kepala daerah (cakada) cermat atas kepentingan ekonomi donatur yang mensponsori dalam Pilkada Serentak 2020.
Hasil survei KPK pada tahun 2018 menunjukkan, sebanyak 82,3 persen dari calon kepala daerah yang diwawancarai menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Bahkan, pembiayaan pilkada oleh sponsor tidak hanya terbatas pada masa kampanye.
Baca juga: Bawaslu RI: Masih ada pelanggaran prokes saat kampanye
Sumbangan donatur yang kebanyakan adalah pengusaha mempunyai konsekuensi pamrih untuk mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis. Selanjutnya keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah serta keamanan dalam menjalankan bisnisnya.
KPK mencatat--sebagaimana Laporan Harta Kekayaan (LHK) cakada yang disampaikan kepada KPK--rata-rata total harta pasangan calon mencapai Rp18,03 miliar. Namun ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp15,17 juta.
Baca juga: Hasil survei KPK, ada donatur biayai peserta pilkada
Survei KPK pada 2018 memperlihatkan juga bahwa kebutuhan dana untuk ikut pilkada di tingkat kabupaten atau kota adalah Rp5-10 miliar. Sedangkan untuk menang harus menyediakan uang sekitar Rp65 miliar.
Survei KPK itu bertanya kepada cakada "apakah orang yang menyumbang atau donatur ini mengharapkan balasan di kemudian hari saat para cakada menjabat?" Jawabannya, sebagian besar cakada atau 83,80 persen dari 198 responden menyatakan akan memenuhi harapan tersebut ketika menjabat.
Kebutuhan dana proses pilkada mencakup beberapa hal. Yakni uang mahar kepada parpol pendukung, advertensi (iklan di media, alat peraga di tempat umum, umbul-umbul, kaus, dan baliho). Selain itu, sosialisasi kepada konstituen (transportasi, rapat kader, tatap muka dengan calon pemilih, pertemuan terbatas dan rapat umum).
Kemudian, honor saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS), gratifikasi kepada masyarakat pemilih dalam bentuk barang, uang, janji atau beli suara (sumbangan natura dan serangan fajar) serta biaya penyelesaian hukum konflik kemenangan pilkada (tentatif).
Pikirkan Harta
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron juga mengingatkan agar siapapun jangan menjadi pejabat publik jika memikirkan harta kekayaannya naik atau bertambah.
Baca juga: Benih lobster jadi "tsunami" politik Prabowo dan Jokowi
Kalau ingin hartanya naik atau tambah, jangan pilih jadi pejabat publik. Pejabat publik itu pejabat yang melayani, sadar bahwa kehadirannya dilahirkan di muka bumi bukan untuk dirinya saja.
Ia menyatakan, pejabat publik harus benar-benar melayani masyarakat dan juga tidak bergaya hidup mewah.
"Sebaik-baik kita adalah yang paling banyak kebaikannya kepada orang lain, bukan hanya kemudian 'saya senang pakai emas banyak, mobil mewah'. Kalau masih begitu jangan jadi pejabat," kata Ghufron.
Jika ada pejabat masih suka bersenang-senang dan bermewah-mewahan maka seharusnya menjadi selebriti atau pengusaha yang tidak perlu memikirkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Kalau jadi pengusaha kemudian mendapat bermacam-macam sumbangan, tidak masalah dan tidak perlu dilaporkan ke KPK.
Karena itu, kepada calon kepala daerah yang nantinya terpilih agar tidak memikirkan modal yang harus dikembalikan karena akan berpotensi terjadi tindak pidana korupsi.
Mau tidak mau pasti secara naluri alami bahwa ketika duduk pasti ingin mengembalikan modal. Kalau sudah memikirkan modal, maka bukan lagi pejabat publik tetapi pedagang dan kalau pedagang jangan duduk sebagai pejabat publik.
Menangis
Nurul Ghufron pun mengharapkan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 melahirkan kepala daerah yang mampu memberikan keadilan dan kemakmuran di daerahnya masing-masing.
Tak berlebihan kiranya berharap pilkada bukan perjalanan menuju curang tetapi perjalanan menuju keadilan dan kemakmuran di setiap daerah. Karena itu, KPK 'menangis' kalau pilkada kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak benar kemudian ditangkap.
Dikhawatirkan biaya besar untuk ikut kontestasi dalam pilkada termasuk Pilkada 2020, nantinya malah menghasilkan kepala daerah yang tidak berintegritas.
Biayanya besar, kalau kemudian yang terlahir hanya pemimpin-pemimpin yang tidak berintegritas, tidak memiliki dedikasi kepada rakyat, maka terlalu besar bangsa ini menghambur-hamburkan dana, ternyata bukan untuk memilih pejabat publik tetapi penjahat publik.
Itulah sebabnya KPK bukan untuk merecoki, namun KPK hadir agar pelaksanaan pilkada terhindar dari praktik-praktik korupsi.
Kehadiran KPK di pilkada dalam rangka pencegahan supaya tidak ada lagi setelah terpilihnya para pemimpin-pemimpin daerah itu kemudian bermasalah dengan KPK. "Kami tidak ingin begitu," kata dia.
Tampak jelas kehadiran KPK bukan apa-apa di pilkada. Dia bukan bagian dari penyelenggara pilkada, tetapi ikut mengawal agar proses pilkada tidak menghasilkan kepala yang ditangkapnya.
Ibarat hajatan, pilkada itu mantennya adalah para cakada, penghulunya KPU dan saksinya adalah Bawaslu.
KPK sejatinya hanya mengawal, memantau dan mengawasi agar pilkada tidak menghasilkan kepala daerah yang bakal digiring ke Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Kalau itu masih terjadi, maka pesta demokrasi yang biayanya tinggi itu sia-sia karena hanya menghasilkan produk yang gagal.