Jakarta (ANTARA) - Pemerintah dalam Rapat Tingkat Menteri terkait Libur Idul Fitri 1442 Hijriyah di Jakarta, Jumat (26/3) memutuskan melarang kegiatan mudik pada Lebaran 2021 mendatang.
Tujuan utama pelarangan itu untuk menekan tren kasus penularan dan kematian akibat COVID-19 yang meninggi usai beberapa kali libur panjang dalam satu tahun terakhir.
Ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro, penguatan protokol kesehatan hingga vaksinasi.
Meski dipastikan cuti bersama Idul Fitri satu atau dua hari tetap ada, tetapi pemerintah mengharapkan tidak ada aktivitas mudik.
Keputusan ini juga seakan menjawab sinyalemen ketidakpastian sikap pemerintah sebelumnya melalui Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi bahwa prinsipnya pemerintah tidak melarang mudik.
Saat itu, Menhub Budi Karya selaku koordinator nasional angkutan lebaran mengaku akan berkoordinasi dan sinergi dengan Gugus Tugas COVID-19 dengan melakukan pengetatan dan pelacakan terhadap pemudik.
Tak hanya itu, tujuh kebijakan penyelenggaraan angkutan Lebaran pun sudah disiapkan. Pertama, terus menyosialisasikan protokol kesehatan secara ketat mulai dari tempat keberangkatan, selama perjalanan, sampai di tempat kedatangan.
Kedua, menjamin ketersediaan layanan transportasi darat, laut, udara. Ketiga, memastikan kelaikan sarana dan prasarana transportasi.
Keempat, meningkatkan ketertiban dan keamanan pada simpul-simpul transportasi. Kelima, melaksanakan koordinasi intensif dengan pemangku kepentingan antara lain Korlantas POLRI, PUPR, Jasa Marga, pemerintah daerah, hingga operator jasa transportasi dengan membentuk posko-posko bersama.
Keenam, melakukan rekayasa lalu lintas untuk menjamin kelancaran dan ketertiban pelaksanaan angkutan Lebaran. Ketujuh, melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan angkutan lebaran dimulai dari persiapan sampai dengan pasca pelaksanaan.
Pertanyaan besarnya kini, efektifkah pelarangan mudik ini, jika berkaca pada fakta dan pelaksanaan program serupa tahun lalu?
Baca juga: Menko PMK: Larangan mudik kurangi risiko COVID-19
Baca juga: Polri siapkan operasi ketupat dan penyekatan dukung peniadaan mudikTetap meragukan
Jika menilik pengalaman tahun sebelumnya bahwa saat itu sebenarnya pemerintah juga sudah melakukan pelarangan untuk mudik, tetapi tidak demikian halnya fakta yang terjadi.
Pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, justru mengingatkan pemerintah agar tak mengulang persoalan serupa seperti tahun lalu yakni ada pelarangan mudik, tetapi aktivitasnya tetap ada.
Meski pengecualian mudik masih ada untuk mereka yang terkait dengan satuan tugas COVID-19, transportasi logistik strategis dan keperluan mendesak seperti ada anggota keluarga inti di luar kota atau kampung halaman karena sakit keras atau meninggal dunia.
Faktanya, ribuan orang lolos bisa sampai ke kampung halaman. Meski dalam pemberitaan, ada penyekatan antarwilayah, tetap saja, pemudik dengan segala daya usahanya bisa menembus aneka barikade itu, mulai dari praktek komuflase hingga pemanfaatan jalur-jalur "tikus".
Kucing-kucingan pemilik kendaraan pribadi yang menjadi sarana biro perjalanan (travel) gelap karena menggunakan plat kendaraan pribadi/hitam dengan petugas jamak terjadi.
Karena itu, agaknya wajar saja jika rencana pelarangan mudik tahun ini layak mendapatkan masukan dan pertanyaan kritis dari pihak terkait.
Pertama, dalam konteks moda transportasi yang digunakan oleh pemudik. Siapa yang dilarang, apakah pengguna jasa transportasi umum saja baik udara, laut maupun darat saja?
Ataukah siapa saja yang hendak mudik ke kampung halaman dengan moda apa saja, termasuk kendaraan pribadi atau sepeda motor sekalipun.
Jika pelarangan ini hanya untuk mereka yang menggunakan transportasi umum, baik udara, laut dan udara serta darat dalam hal ini kereta api dan angkutan bus Antarkota Antarprovinsi, maka para pemudik dengan kendaraan pribadi, sudah pasti ada yang lolos bisa mudik.
Dengan kata lain, pelarangan ini akan efektif bila terjadi pada seluruh moda transportasi, termasuk kendaraan pribadi dan sepeda motor. Intinya tutup semua akses.
Baca juga: Anggota DPR: Perlu implementasi tegas larangan mudik
Baca juga: Kemenhub siapkan pengendalian transportasi terkait larangan mudikHarus tegas
Jika melihat paparan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin beberapa hari lalu bahwa setiap kali liburan selalu ada peningkatan kasus antara 30 hingga 50 persen baik dari kasus terkonfirmasi positif maupun kasus aktif virus corona (COVID-19).
Bahkan dampak dari kenaikan kasus pada masa libur Natal dan Tahun Baru lalu, jumlah kasus aktif COVID-19 sampai saat ini masih terus meningkat.
Disebutkan, total kasus aktif COVID-19 kini berjumlah 130 ribu dengan 80 persen di antaranya tidak ke rumah sakit. Sedangkan 20 persen ke rumah sakit, lima persen masuk ruang perawatan intensif (Intensive Care Unit/ICU) dan sekitar dua persen meninggal.
Persoalan lain, menurut Budi, kebutuhan rumah sakit dari 130 ribu kasus aktif itu mencapai 26 ribu atau sekitar 20 persen dan apabila jumlah kasus aktif meningkat lagi maka dipastikan kebutuhan rumah sakit juga akan semakin banyak.
Data seluruh dunia, seperti disampaikan Menkes Budi, trennya pada minggu-minggu terakhir juga kasus aktif naik lagi. Apakah hal ini dipicu oleh varian baru dari London, Inggris tidak bisa dipastikan, tetapi di Indonesia sudah masuk dan sampai saat ini belum diketahui perkembangannya.
Berdasarkan data itu, mestinya, tidak ada keraguan lagi dari pemerintah untuk menyiapkan segalanya dengan tegas agar tujuan utama dari kebijakan pelarangan mudik ini sampai pada tujuan bersama.
Ketegasan yang dimaksud adalah implementasi kebijakan di lapangan. Jika model pelarangan seluruh akses moda transportasi terjadi, termasuk pada kendaraan pribadi, maka boleh jadi selama mudik 2021 ini akan disebut dengan masa karantina wilayah (lock down) sesaat.
Kedua, ketegasan untuk mengawal pelarangan mudik ini sebaiknya juga dilakukan sebelum dan sesudah fase pelarangan 6-17 Mei 2021 itu, terutama untuk kelompok masyarakat informal.
Pengalaman selama ini, keluarga kelompok profesi di luar pekerja TNI/Polri, ASN, BUMN, pekerja swasta, tentu memiliki keleluasaan waktu untuk melakukan mudik di luar waktu pelarangan itu.
Ini juga perlu diantisipasi oleh pemerintah. Sebab, jika tidak, maka kepulangan mereka ke kampung halaman juga berpotensi menimbulkan kasus dan penularan baru di daerah tujuan.
Artinya, periode sebelum dan sesudah masa pelarangan itu, perlu juga diantisipasi oleh pemerintah.
Baca juga: Menaker minta pekerja batasi kegiatan ke luar kota
Baca juga: Larangan mudik Idul Fitri, kebijakan angkutan barang dilonggarkanSektor ekonomi
Selain itu, dampak di depan mata, dari efek pelarangan ini adalah jelas kepada sektor ekonomi, khususnya sektor yang terkait dengan mudik seperti perhotelan, pariwisata di daerah dan penyedia jasa transportasi.
Artinya, pemerintah perlu memikirkan semacam insentif kepada para pelaku ekonomi ini, mulai dari perpajakan atau yang lain sehingga mereka tidak merasa dikorbankan.
Namun, ada prediksi yang sedikit melegakan, terkait dampak terhadap ekonomi ini, yakni prediksi dari ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy M bahwa memang pelarangan mudik itu akan berpengaruh terhadap laju ekonomi Indonesia pada kuartal kedua nanti karena ritual mudik saat Lebaran punya pengaruh besar terhadap perekonomian domestik.
Tetapi dampaknya tidak akan membuat pertumbuhan ekonomi menjadi minus karena pada triwulan kedua itu akan terjadi pemulihan ekonomi domestik yang terlihat dari ekspor dan impor yang akan meningkat.
Kesimpulannya, tidak ada kata mundur untuk pelarangan mudik Lebaran 2021, asalkan pemerintah dan pihak terkait lainnya mendukung serta pelaksanaannya tegas dan konsisten di lapangan.
Masih ada waktu untuk pemerintah, mempersiapkan segala regulasi yang diperlukan.
Kemudian, bagi masyarakat, secara psikologis tentunya sudah siap sejak dini untuk silaturahmi daring tahun ini dengan kerabat, orang tua dan teman di kampung halaman.