Jakarta (ANTARA) - Berbekal atribut lengkap kepolisian dan sepeda motor berwarna abu-abu pabrikan Jepang keluaran 2019, Bripka Okriadi sehari-harinya bertugas sebagai abdi negara di wilayah hukum Polsek Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Tak sebatas rutinitas itu saja, lepas menjalankan tugas pokoknya, sosok ayah tiga anak itu kembali ke kantor untuk melaksanakan apel pagi bersama personel Bhayangkara lainnya.
Terlebih lagi selama pandemi COVID-19 melanda Tanah Air, terdapat tugas tambahan bagi aparat kepolisian di daerah tersebut, tidak terkecuali bagi Bripka Okriadi. Usai menggelar apel, dia bersama rekan-rekannya secara rutin mengadakan giat operasi yustisi kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan.
Operasi yustisi menyasar siapa saja yang tidak patuh protokol kesehatan tanpa pandang bulu. Bagi siapa pun yang kedapatan tidak menggunakan masker, aparat langsung memberikan arahan tentang pentingnya melindungi diri dan orang lain dari bahaya ancaman COVID-19.
Selain itu, mereka yang tidak patuh terhadap protokol kesehatan juga didata identitasnya serta dilaporkan ke Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan-kegiatan tersebut setiap harinya selalu dijalani oleh Bripka Okriadi, terkecuali saat ia lepas dinas.
Jika dilihat sekelebat, memang tak ada yang istimewa dari rentetan kegiatan tersebut. Hanyalah berangkat dari rumah, mengatur lalu lintas, menerima arahan dari pimpinan, hingga melaksanakan operasi yustisi disiplin warga tentang protokol kesehatan.
Namun, nyatanya kegiatan Okriadi tidak usai di situ saja. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, personel Bhabinkamtibmas untuk wilayah Kelurahan Campago Guguak Bulek, Kecamatan Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukittinggi itu memulai pemenuhan atas sebuah tanggung jawab besar dan misi mulianya.
Dengan luas wilayah yang tidak sampai 2 kilometer persegi, setiap sudut Kelurahan Campago Guguak Bulek dia sambangi untuk melayani masyarakat. Tidak sekadar 1 hari, tetapi dia lakukan rutin tiap hari kerja.
Sebagai personel Bhabinkamtibmas, dia memiliki sejumlah tugas pokok, di antaranya mendatangi warga dari rumah ke rumah, membantu masyarakat memecahkan masalah, menerima informasi tentang tindak pidana serta pengaturan dan pengamanan kegiatan masyarakat.
Beragam sosialisasi secara terus-menerus diberikan kepada warga mulai dari kepatuhan berlalu lintas, keamanan warga hingga antisipasi pencegahan paham radikal dan terorisme.
Dalam memberikan sosialisasi ataupun arahan tentang bahaya paham radikal dan tindakan terorisme tersebut, Bripka Okriadi terlebih dahulu memetakan siapa saja orang-orang yang akan disasar.
Baca juga: KPPPA berdayakan PATBM di 4 provinsi cegah paham radikal
Ia memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan pesan-pesan tentang bahaya paham radikal dan tindakan terorisme. Langkah itu diterapkan agar masyarakat dapat menerima dan memahaminya secara utuh.
"Ada banyak kelompok yang disasar mulai dari pesantren, sekolah-sekolah, warga, kelompok pengajian, hingga komunitas-komunitas," katanya.
Dalam menyosialisasikan bahaya radikalisme dan terorisme, Bripka Okriadi membutuhkan waktu yang beragam dan bisa saja dilaksanakan kala bersilaturahmi dengan warga. Setidaknya dia butuh waktu 20 hingga 30 menit, bahkan tak jarang bisa berjam-jam.
Namun, beda halnya dengan situasi pandemi COVID-19 saat ini, pendekatan dan silaturahmi yang dia lakukan terhadap warga dibatasi hanya 15 menit saja.
Selain itu, sosialisasi juga dilakukannya di sekolah-sekolah dan pesantren dengan memberikan materi atau paparan sekitar 15 hingga 20 menit kepada anak didik. Dari segi waktu, memang tidak begitu lama. Namun, hal dilakukan secara berkala dari satu sekolah ke sekolah lainnya.
Ia menyadari dan memahami pemberian materi tentang bahaya paham radikal dan pencegahan terorisme tidak bisa langsung dipaksakan kepada anak didik. Pada dasarnya butuh waktu yang cukup agar mereka dapat menerima dan menyadari bahaya radikalisme maupun terorisme. Bagi Okriadi, tak apa meskipun berjalan secara perlahan karena yang terpenting maknanya dipahami secara penuh.
Apalagi, sosialisasi diberikan saat anak didik menjalankan aktivitas belajar mengajar sehingga jika pelaksanaannya terlalu lama dikhawatirkan malah mengganggu jam pelajaran.
"Biasanya saya sampaikan apa itu radikalisme dan terorisme kepada anak didik, termasuk ciri-cirinya. Harapannya mereka secara lambat laun memahami dan bisa membentengi diri," ujarnya.
Tidak hanya para peserta didik, sosialisasi tentang bahaya paham radikal dan terorisme juga diberikan pada anak-anak jalanan, pengangguran, hingga anak yang pergaulannya cenderung tertutup dengan orang lain.
Menurut dia, anak-anak yang tidak terkontrol atau terawasi dengan baik memiliki potensi terpapar paham radikal hingga tindakan terorisme. Oleh karena itu, kelompok tersebut turut menjadi salah satu fokus pengawasan Bhabinkamtibmas.
Baca juga: Simpul pertahanan Sultra cegah paham radikal dan terorisme
Tiada Hari Tanpa Silaturahmi
Sesuai dengan nama program Tiada Hari Tanpa Silaturahmi (THTS), para personel Bhabinkamtibmas selalu bergerak dari rumah ke rumah dengan mengetuk pintu ke pintu.
Semua itu dilakukan tak lain hanya untuk bersilaturahmi lebih dekat dengan masyarakat serta menyampaikan pesan-pesan positif. Selama beberapa tahun menjadi personel Bhabinkamtibmas, Bripka Okriadi bersyukur tidak ada warga yang menolak kedatangannya.
Kedatangan Okriadi ke rumah-rumah warga hampir selalu disambut baik. Masyarakat menyadari kehadiran Bhabinkamtibmas dapat dijadikan sebagai tempat mengadu bila mereka menghadapi masalah.
Namun, jika ada individu, sekolah atau instansi yang lebih membutuhkan bantuannya, biasanya sosok Okriadi langsung memprioritaskan hal tersebut. Sebagai contoh, dia pernah menerima pengaduan terkait dengan guru di salah satu sekolah atau pesantren yang cenderung mewajibkan anak didiknya untuk menggunakan cadar.
Sebelum menerima laporan itu, pihak sekolah terlebih dahulu berembuk agar tidak ada unsur pemaksaan dalam pemakaian cadar. Namun, oknum guru tersebut tetap bersikukuh sehingga pihak sekolah akhirnya memutuskan untuk mengadukannya kepada Bripka Okriadi selaku Bhabinkamtibmas di daerah itu.
Setelah keluar dari sekolah dan tak lagi mengajar, oknum guru yang melakukan pemaksaan pemakaian cadar tersebut menyewa rumah kontrakan yang berlokasi tidak begitu jauh dari sekolah.
Di luar dugaan, yang bersangkutan malah merangkul anak didik yang tergolong fanatik agama ke kontrakannya.
Padahal, aturan melarang para peserta didik untuk keluar dari lingkungan sekolah. Berangkat dari masalah itu, Bripka Okriadi bersama personel bintara pembina desa (babinsa) mendatangi oknum guru tersebut serta meminta penjelasan perihal keharusan memakai cadar dan sejumlah hal terkait lainnya.
"Itu salah satu contoh. Namun, kami bersyukur sejauh ini tidak ada tanda-tanda ajaran paham radikal, apalagi tindakan yang mengarah pada aksi terorisme," ujarnya.
Meskipun demikian, dia tetap mengajak masyarakat agar berperan aktif mengawasi segala bentuk aktivitas warga atau kelompok yang dicurigai mengarah pada radikalisme dan tindakan terorisme.
Baca juga: Pengamat: Perbanyak materi agama pada kurikulum tangkal paham radikal
Pesantren Lawan Radikalisme/Terorisme
Setiap aksi terorisme yang terjadi di Tanah Air, tak jarang memunculkan persepsi baik dari perorangan, kelompok, maupun kepala negara tertentu yang mengaitkannya dengan Islam. Padahal, anggapan tersebut jelas saja keliru.
Masih segar dalam ingatan ketika Presiden Prancis Emmanuel Macron menghina Islam dengan mengatakannya sebagai agama yang saat ini sedang mengalami krisis di seluruh dunia.
Pernyataan tersebut dilontarkan setelah penyerangan menggunakan pisau yang menewaskan dua orang serta melukai sejumlah orang lainnya di salah satu gereja di Kota Nice, Prancis.
Terang saja, tidak ada kaitannya dan tidak dapat dibenarkan jika ada yang menghubungkan kejadian tersebut dengan Islam. Pada hakikatnya, tidak ada satu pun agama, baik Islam maupun agama lainnya, yang mengajarkan kekerasan, apalagi menghilangkan nyawa orang yang tidak bersalah.
"Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin," kata Pembina Yayasan Pesantren Madinatul Munawwarah Kota Bukittinggi Ustaz Amir Husain Hasibuan.
Ia menegaskan bahwa aksi-aksi terorisme sama sekali bukan ajaran Islam. Oleh karena itu, jika ada anggapan-anggapan liar bahwa pesantren bisa melahirkan bibit terorisme, itu salah besar.
Sebaliknya di pondok pesantren, anak didik diajarkan untuk saling mengasihi, menyayangi sesuai dengan tuntunan agama melalui pelajaran-pelajaran yang disampaikan para ustaz dan ustazah.
Baca juga: Presiden Jokowi minta GMNI konsisten lawan radikalisme
Selama menimba ilmu di pondok pesantren, para santri diajarkan paham-paham yang mengarah pada rahmatan lil alamin, salah satunya menjelaskan bahwa Rasullullah saw. menyebarluaskan Islam dengan cara yang sejuk dan penuh kedamaian.
Dengan mengajarkan wasatiah atau karakteristik terpuji yang mampu menjaga seseorang dari kecenderungan sikap intoleran dan ekstremisme secara terus-menerus, para santri akan jauh dari paham-paham radikal, apalagi mengarah pada tindakan terorisme.
Dengan segala macam upaya yang dilakukan polisi, tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan elemen masyarakat lainnya, diharapkan paham-paham radikal dan tindakan terorisme dapat ditangkal di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).