Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan adopsi baterai kendaraan listrik untuk kendaraan rendah emisi karbon bisa mendatangkan manfaat ekonomi senilai Rp9.603 triliun pada tahun 2030.
"Itu memposisikan Indonesia lepas dari ketergantungan impor kendaraan. Kalau pun tidak lepas, maka setidaknya kita bisa naik kelas menjadi produsen kendaraan bermotor," katanya dalam diskusi daring Peluang Ekonomi Pasc-Leaders Summit on Climate yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Dia merinci-kan bahwa angka itu berasal dari penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran lingkungan sebesar Rp3.468 triliun, penghematan biaya produksi senilai Rp545 triliun, dan penghematan energi mencapai Rp5.590 triliun.
"Manfaat ekonomi yang kita rasakan sangat besar kalau serius menerapkan kebijakan ini," ucap Safrudin.
Dia menambahkan bahwa kebijakan kendaraan listrik tidak harus melarang kendaraan bermesin pembakaran dalam (ICE), tetapi hanya menetapkan standar ekonomi bahan bakar yang berlaku universal.
Berbagai teknologi boleh diproduksi dengan catatan emisi karbon tidak lebih dari 118 gram per kilometer pada 2020 dan tidak lebih dari 85 gram per kilometer pada 2025.
Sejak tahun 1970, lanjut Safrudin, Indonesia masih dijanjikan transfer of technology tetapi tidak kunjung terjadi, maka Indonesia sudah selayaknya merebut momentum kendaraan rendah emisi karbon.
Apalagi Indonesia memiliki ketersediaan nikel, kobal, dan logam tanah jarang yang bisa dijadikan raw material untuk membuat baterai kendaraan listrik.
Adopsi kendaraan listrik dapat menurunkan potensi karbondioksida transportasi mencapai 59 persen pada 2030, sehingga nol karbon bersih atau net zero emission berpotensi diterapkan pada 2045 atau selambatnya 2050.
"Semoga ini bisa memberikan gambaran kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang galau karena cenderung menuruti apa yang diinginkan oleh oligarki," tukas Safrudin.
Ekonom senior Faisal Basri mengatakan negara-negara yang paling siap dengan produk rendah karbon akan mendominasi perdagangan internasional di masa depan.
Adapun negara-negara yang masih menghasilkan produk tinggi karbon, seperti Indonesia akan mendapatkan pelarangan ekspor yang bisa berdampak buruk terhadap perekonomian.
"Orang lain sudah hijrah total, sehingga nanti produk Indonesia akan di-ban. Nanti kita marah lagi, kita dijajah dunia, kita didikte tidak berdaulat...yang ada ini kedaulatan global," ujar Faisal.