Jakarta (ANTARA) - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan bahwa semangat dari formula upah minimum yang baru adalah untuk mengurangi kesenjangan upah masing-masing wilayah dan mewujudkan keadilan upah antarwilayah.
Keadilan upah antarwilayah itu, jelas Ida, dicapai melalui pendekatan rata-rata konsumsi rumah tangga di masing-masing wilayah.
Baca juga: Penetapan UMP semua provinsi dilakukan paling lambat 21 November 2021
Karena itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan maka upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah yaitu upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten (UMK).
Sementara upah minimum sektoral (UMS) tidak lagi ditetapkan berdasarkan aturan itu, kecuali yang ditetapkan sebelum 2 November 2020 yang berlaku hingga masanya telah berakhir atau UMP/UMK di wilayah tersebut telah melebihi UMS.
Menaker mengatakan dengan mencermati upah minimum yang berlaku saat ini, tidak memiliki korelasi dengan angka rata-rata konsumsi, median upah atau bahkan tingkat pengangguran.
Dia memberi contoh bagaimana suatu kabupaten dan kota saling bersebelahan terkadang memiliki nilai upah minimum dengan jarak yang besar. Selain itu terdapat kabupaten dengan angka pengangguran tinggi dan mayoritas penduduk bertani tapi karena keberadaan wilayah industri menyebabkan daerah itu dipaksa memiliki nilai UMK yang sangat tinggi.
Penetapan upah minimum yang tidak sesuai perundangan itu, jelasnya, berpotensi menyebabkan turunnya indeks daya saing Indonesia khususnya pada aspek kepastian hukum dan menurunkan kepercayaan investor terhadap sistem hukum Indonesia.
"Apabila ditetapkan lebih tinggi dari ketentuan akan berpotensi terhambatnya perluasan kesempatan kerja, kemungkinan terjadinya subtitusi tenaga kerja ke mesin itu juga tinggi. Kemudian kita tidak berharap adanya PHK karena ini memicu terjadinya PHK," ujarnya.
Baca juga: Menaker: Batas atas dan bawah upah minimum untuk kurangi kesenjangan
Baca juga: Kemenaker: Penyesuaian upah minimum harus sesuai PP Pengupahan baru