Jakarta (ANTARA) - Kesadaran memerangi terorisme sebagai musuh bersama menggerakkan berbagai pihak mengembangkan strategi, bahkan mengikutsertakan unsur sinergi dalam upaya penanggulangannya.
BNPT sebagai badan resmi yang bervisi mewujudkan penanggulangan terorisme dan radikalisme selalu mengedepankan upaya sinergi melalui institusi pemerintah dan masyarakat untuk mencegah, melindungi, menindak, melakukan deradikalisasi, serta meningkatkan kewaspadaan nasional, dan mengusung konsep pentahelix untuk menanggulangi terorisme pada tahun 2022.
Konsep ini diperkenalkan Kepala BNPT Boy Rafli Amar. Pada tahun 2022, Boy mengarahkan kebijakan penanggulangan terorisme dilaksanakan dengan konsep pentahelix.
Pada dasarnya, konsep pentahelix bukan merupakan istilah baru. Jauh sebelum dicetuskan untuk digunakan dalam menanggulangi terorisme di Tanah Air, konsep tersebut telah banyak diterapkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan lain, seperti pembangunan desa, perbaikan perekonomian, bahkan di sektor pariwisata.
Baca juga: BNPT bicara radikalisme dengan forkopimda-tokoh masyarakat di Bandung
Secara umum, konsep pentahelix merupakan konsep multipihak yang melibatkan berbagai unsur, mulai dari pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat, komunitas, media, hingga para pelaku seni. Konsep tersebut selanjutnya diimplementasikan untuk menuntaskan suatu persoalan.
Pentahelix dalam penanggulangan terorisme
Dalam konteks penanggulangan terorisme, Boy Rafli Amar mengemukakan bahwa konsep pentahelix merupakan konsep penanggulangan terorisme yang dilaksanakan secara multipihak. Penanggulangan terorisme, terutama pada tahun 2022 akan melibatkan berbagai unsur, yaitu pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat, komunitas, media, dan pelaku seni.
Di antara multipihak tersebut, seperti pemerintahan, sebenarnya ada banyak upaya yang telah dilalui untuk menanggulangi terorisme di antaranya dari sisi regulasi.
Pemerintah Indonesia telah mempertajam peran regulasi untuk membasmi terorisme, seperti dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penanggulangan Terorisme serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Tidak hanya itu, melalui BNPT, pemerintah telah mengupayakan keberadaan program deradikalisasi bagi para pelaku teror.
Meskipun begitu, pekerjaan rumah bagi pemerintah terkait terorisme belum usai. Seperti yang dikemukakan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. R Ahmad Nurwakhid, pemerintah perlu pula membuat regulasi lain yang menegaskan larangan ideologi-ideologi yang menjurus terorisme, seperti khilafahisme dan daulahisme yang jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila.
Kemudian dari para akademisi, peran mereka bernilai penting dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Para akademisi menjadi aktor penting yang dapat menyederhanakan pemahaman tentang bahaya ancaman terorisme ataupun intoleransi dan radikalisme kepada masyarakat sehingga lebih mudah untuk mereka pahami. Para akademisi diharapkan dapat menjadi pihak yang mereduksi paham radikal dan teroris di lingkungan pendidikan ataupun masyarakat.
Baca juga: Jabar-BNPT kembangkan kolaborasi pentaheliks cegah radikalisme
Peran dari badan ataupun pelaku usaha tidak dapat dilepaskan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia, terlebih mengingat aliran pendanaan terorisme pada beberapa waktu belakangan diketahui bersumber dari badan usaha yang memiliki izin resmi.
Selanjutnya, diperlukan pula kesadaran dan dukungan masyarakat terkait ancaman nyata terorisme yang harus dilawan secara optimal. Masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap pemaparan ideologi terorisme yang dalam beberapa waktu terakhir menjelma ke dalam berbagai bentuk, termasuk konten-konten di media sosial.
Seperti data termutakhir yang dibagikan BNPT, pada tahun 2021 ditemukan 409 konten media sosial terkait informasi serangan terorisme, 147 konten bermuatan anti-NKRI, 85 konten anti-Pancasila, 7 konten intoleran, 2 konten ideologi takfiri, bahkan ada pula 40 konten pendanaan dan 13 konten pelatihan kegiatan teror.
Data-data tersebut menyiratkan secara jelas bahwa pemaparan terorisme menghantui masyarakat dalam wujud yang ikut mengembangkan dirinya. Pemaparan itu dihadirkan melalui cara-cara yang tidak sepenuhnya disadari masyarakat sebagai bagian dari terorisme sehingga patut diwaspadai.
Dari persoalan berlimpahnya konten bermuatan terorisme tersebut, ada celah pengoptimalan upaya penanggulangan terorisme yang dapat diisi media melalui penyaringan konten dan para pelaku seni melalui karya kreatif berisikan kontra narasi untuk mencegah pemaparan intoleransi, radikalisme, hingga terorisme terhadap masyarakat di media sosial.
Baca juga: BNPT ajak anak muda waspadai serangan pintar 10-F pemicu radikalisme
Upaya seperti itu disampaikan Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT Moch Chairil Anwar. Menurutnya, dimasifkannya konten berisikan kontra narasi di media sosial dapat berperan besar dalam mencegah terpaparnya masyarakat terhadap paham radikal ataupun teroris. Chairil Anwar memandang konten kontra narasi merupakan pesan damai yang dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama melawan terorisme.
Harapan untuk konsep pentahelix dalam penanggulangan terorisme
Dengan masing-masing kekuatan yang dimiliki pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat, hingga media dan pelaku seni, maka konsep pentahelix dapat dikatakan berpotensi besar untuk menanggulangi terorisme.
Boy Rafli Amar mengatakan pengadopsian konsep pentahelix dalam penanggulangan terorisme di Indonesia menandakan bahwa tantangan untuk menghadapi terorisme sebenarnya berada di berbagai lini. Menurutnya, tidak ada lini mana pun yang dapat kebal dari paparan ideologi tetorisme sehingga seluruh pihak diwajibkan untuk melindungi diri mereka dan melakukan perlawanan terhadap terorisme.
Melalui konsep pentahelix itu, potensi nasional akan dikerahkan secara maksimal untuk membentuk kekuatan dalam memerangi terorisme, termasuk akar-akar terorisme, yaitu ancaman intoleransi dan radikalisme.