Bazar Ramadan dan pasar bedug, mudah dijumpai saat bulan puasa yang menjadi ruang untuk siapa saja untuk mengais rejeki tahunan.
Sejak dahulu pasar bedug selalu ada di halaman Masjid Agung Palembang, Sumatera Selatan.Beranekaragam makanan khas Palembang lengkap tersedia di lokasi ini sehingga tak ayal selalu menjadi tujuan masyarakat setempat untuk ngabuburit.
Namun sejak pandemi dalam dua tahun terakhir tak ada lagi pasar bedug di lokasi tersebut.
Warga Palembang pun berburu makanan di lokasi-lokasi perkampungan seperti di kawasan Pasar Kuto dan Pasar 7 Ulu Palembang. Di dua lokasi ini memang masih dijumpai jenis-jenis makanan langka khas Palembang yang hanya ada saat Ramadhan.
Akan tetapi, Ramadhan kali ini memang berbeda. Sejak mulai dilonggarkannya aktivitas sosial masyarakat, kegiatan ekonomi umat kembali terlihat di halaman Masjid Agung Palembang.
Bedanya, kali ini lebih tertata karena dikemas dalam konsep Bazar Ramadhan bekerja sama dengan Bank Syariah Indonesia yang dilaksanakan selama dua pekan mulai 8 April 2022.
Bukan hanya kuliner yang dijual tapi juga beragam kebutuhan Lebaran seperti pakaian, mukena, jilbab, kain jumputan, dan lainnya.
Patut menjadi perhatian yakni luas areal yang digunakan relatif kecil, yakni hanya sekitar 300 meter persegi .
Konsepnya pun dibuat elegan. Tak ada kesan padat, riuh, panas, seperti layaknya pasar bedug yang dikenal masyarakat setempat.
Gerai-gerai makanan tertata rapi dan bersih, mulai dari yang menjual makanan khas Palembang seperti pempek, laksa, celipungan, gandus, gonjing, rujak mie, dan lainnya. Ada juga satu gerai yang menjual kue basah seperti engkak ketan, maksuba, delapan jam dan kojo lapis.
Tak ketinggalan juga terdapat beragam gerai yang menjual makanan tradisional yang sudah dikemas ala kekinian’, mulai dari bakso, cilok, tahu, hingga beragam jenis minuman jus dan kopi.
Walau demikian, harga jual tetap ramah di kantong, karena bisa dikatakan tak berbeda jauh dengan harga kue di pasar tradisional, seperti pempek telur kecil yang dijual Rp1.500 per buah dan jus buah hanya Rp5.000 per cangkir.
Uniknya lagi, bazar ini juga menyediakan area santap yang dilengkapi meja dan kursi bagi pengunjung yang ingin langsung berbuka puasa di lokasi tersebut.
Dengan begitu, pengunjung setelah berbuka puasa dapat langsung menjalankan ibadah sholat magrib di Masjid Agung tersebut.
Ketua Yayasan Masjid Agung Palembang Ahmad Sarnubi, Jumat (8/4) mengatakan, dibukanya bazar Ramadhan ini tak lain untuk menggeliatkan kembali ekonomi umat setelah sempat terdampak COVID-19.
Para pedagang makanan khas Palembang ini umumnya ibu-ibu yang tinggal di kawasan Seberang Ulu Palembang, bahkan beberapa di antaranya tergabung dalam perkumpulan pelaku UMKM.
“Masjid jangan dipandang sebagai tempat beribadah saja, tapi dapat juga dijadikan ruang untuk menggerakkan ekonomi umat,” kata dia.
Menurutnya, adanya pemahaman yang menilai masjid tidak tepat untuk dijadikan pusat aktifitas ekonomi perlu didobrak.
Masjid harus dipandang sebagai tempat strategis untuk pembangunan dan pemberdayaan umat, salah satunya dalam sektor ekonomi.
Oleh karena itu, sedari dulu pihaknya selalu memberikan kesempatan kepada kalangan perorangan hingga lembaga untuk memanfaatkan masjid dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Apalagi, Masjid Agung Palembang yang berlokasi strategis berhadapan dengan Jembatan Ampera juga memiliki fasilitas ruang terbuka hijau yang cukup luas.
Bahkan, masjid ini memiliki ruangan yang di lantai atas yang sering digunakan untuk perpustakaan dan pameran, kata dia.
Ami, salah seorang pedagang di bazar tersebut mengaku dirinya bersyukur bisa terlibat di bazar Ramadhan ini.
“Mau cari tambahan uang untuk keluarga buat Lebaran, apalagi suami saya sudah meninggal,” kata dia.
Biasanya saat Ramadhan, Ami hanya berjualan beragam makanan khas Palembang di dekat kediamannya kawasan 3 Ulu Palembang.
Namun tahun ini ia mendapatkan kesempatan berbeda setelah mendapatkan ajakan dari ketua RT setempat yang mengelola program pemberdayaan bagi pelaku UMKM dari kalangan janda.
Promosi ekonomi syariah
Bank Syariah Indonesia menyelenggarakan bazar Ramadhan secara serentak di 10 kota Tanah Air dengan membidik masjid terbesar di setiap kota.
CEO BSI Region III Sumbagsel Alhuda Djanis mengatakan pihaknya menyelenggarakan kegiatan ini untuk membantu masyarakat mendapatkan kebutuhan Ramadhan dan Lebaran dengan mudah.
Selain itu, menjadikan bazar ini kesempatan bagi pelaku UMKM untuk mempromosikan produk-produknya, termasuk bertemu secara langsung dengan buyers (pembeli) yang mungkin bisa menjalin kerja sama bisnis di masa datang.
Selain itu, kegiatan ini juga bermaksud membangkit kembali gairah ekonomi umat setelah sempat terpuruk akibat pandemi COVID-19.
“Masjid kami pilih karena kita semua harus mendorong masjid bukan hanya sebagai tempat beribadah tapi juga tempat membangkitkan ekonomi umat,” kata dia.
BSI dalam banyak kesempatan telah memanfaatkan masjid sebagai sarana untuk mengedukasi masyarakat untuk mengenali sistem keuangan syariah.
Pengembangan ekonomi syariah ini sejatinya menjadi tanggung jawab bersama mengingat Indonesia mayoritas berpenduduk muslim.
Sejauh ini pangsa pasar perbankan syariah di Tanah Air karena sejak beberapa tahun terakhir bertahan di kisaran 5,0 persen.
Pihaknya optimistis dapat mendobrak stagnasi pangsa pasar ini karena kini menjadi perbankan syariah terbesar di Indonesia dengan nilai aset Rp260 triliun.
Selain itu yang tak kalah penting adanya upaya mensosialisasikan dan meliterasi masyarakat mengenai ekonomi syariah.
Dengan kekuatan saat ini, optimis ke depan semakin banyak yang tertarik untuk benar-benar memanfaatkan perbankan syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Berdayakan umat
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sebuah webinar bertema “Membangun Peradaban Islam Indonesia Berbasis Masjid” mengatakan pentingnya menempatkan masjid sebagai tempat strategis untuk pembangunan dan pemberdayaan umat, salah satunya dalam sektor ekonomi.
Sejauh ini potensi pemberdayaan ekonomi umat di masjid belum dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, diperlukan peningkatan fungsi masjid sebagai media pemberdayaan ekonomi umat.
“Masjid juga sangat potensial menjadi basis pemberdayaan ekonomi umat. Potensi ini yang dalam waktu yang cukup lama belum termanfaatkan secara baik. Karena itu, penting untuk mengembalikan salah satu fungsi masjid sebagai media pemberdayaan ekonomi umat,” kata dia.
Kondisi ini terjadi karena masih adanya pemahaman yang menilai masjid tidak tepat untuk dijadikan pusat aktifitas ekonomi.
Untuk itu, diperlukan model bisnis yang mendorong jemaah untuk terlibat secara langsung di dalamnya.
Di antara cara yang bisa dilakukan adalah dengan menjadikan para jemaah masjid sebagai mata rantai ekonomi yang terintegrasi sebagai konsumen, produsen dan pemilik dalam kegiatan ekonomi yang dibangun melalui masjid, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ia pun memberi contoh kegiatan usaha yang dapat dijalankan untuk pemberdayaan ekonomi umat.
Beberapa di antaranya adalah melalui pendirian lembaga keuangan ultra mikro syariah yang memberikan akses modal bagi pedagang kecil yang tidak dapat mengakses modal di bank syariah karena dinilai tidak ‘bankable’.
Dengan demikian kehadiran masjid dapat menjadi media untuk memberdayakan ekonomi umat yang menjadi jemaah masjid, sehingga keberadaannya betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat sekitar masjid.
Wapres juga mengingatkan tentang pentingnya pembangunan pola pikir yang wasathy (moderat) dalam pembangunan peradaban Islam.
Pola pikir ini dapat ditunjukkan dengan cara berpikir yang dinamis dan tidak ekstrem.
Ciri-ciri cara berpikir wasathy antara lain senantiasa menjaga dan mengamalkan manhaj (jalan) yang telah dirumuskan para ulama terdahulu yang masih relevan dan mengakomodasi manhaj baru yang lebih baik.
Kemudian, serta senantiasa melakukan perbaikan dan inovasi secara terus menerus sehingga tercipta kondisi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Pola pikir ini harus terus diamalkan secara istiqamah (konsisten) serta menjadikan masjid sebagai tempat penyebaran paham moderat ini.
Sehingga dalam jangka panjang hal itu bisa menjadi embrio membangun kembali peradaban Islam dan menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik (khaira ummah).
“Tempat yang paling baik untuk melakukan penguatan cara berpikir wasathy tersebut adalah masjid, karena tidak ada umat Islam yang lepas dari pengaruh masjid,” kata dia.
Di masa Rasulullah SAW, selain dipergunakan untuk shalat, berdzikir dan beritikaf, masjid bisa dipergunakan untuk kepentingan sosial (makro), misalnya, sebagai tempat belajar dan mengajarkan kebajikan (menuntut ilmu), merawat orang sakit, menyelesaikan hukum li’an dan lain sebagainya.
Dalam perjalanan sejarahnya, masjid telah mengalami perkembangan yang pesat, baik dalam bentuk bangunan maupun fungsi dan perannya. Hampir dapat dikatakan, dimana ada komunitas muslim di situ ada Masjid.
Pada masa sekarang masjid semakin perlu untuk difungsikan, diperluas jangkauan aktivitas dan pelayanannya serta ditangani dengan organisasi dan manajemen yang baik.
Optimalisasi peran masjid di antaranya menjadi sarana pemberdayaan ekonomi umat, secara tidak langsung akan mendukung gerakan pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya.
Baca juga: Erick Thohir-Gus Yahya tandatangan kerja sama kemandirian ekonomi umat
Baca juga: BPKH perkuat komitmen pengelolaan keuangan haji dengan ICMI
Baca juga: Presiden Jokowi ajak pemuda NU ciptakan kesejahteraan buat semua