Jakarta (ANTARA) - Salah satu cara yang adil dalam menaksir dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap perdamaian dunia adalah menyelami sikap negara-negara yang berbatasan dengan Rusia.
Negara-negara yang berbatasan dengan Rusia adalah Ukraina, Belarus, Norwegia, Finlandia, Polandia, Lithuania, Estonia, Latvia, Georgia, Azerbaijan, Kazakhstan, Mongolia, China dan Korea Utara.
Kecuali Belarus dan Korea Utara, mereka tidak mendukung invasi Rusia yang disampaikan secara diam-diam dan terbuka.
Indikatornya terlihat dari resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2 Maret 2022 ketika 141 dari 193 negara mendukung resolusi mengecam invasi Rusia di Ukraina dan desakan invasi diakhiri.
Mayoritas tetangga Rusia mendukung resolusi ini. Mereka adalah Norwegia, Polandia, Lithuania, Estonia, dan Latvia yang semuanya anggota NATO, Finlandia yang netral, Georgia dan Azerbaijan di Kaukasus selatan, dan Ukraina sendiri.
Sisanya, yakni Kazakhstan, Mongolia dan China, memilih diam-diam tak mendukungnya dengan cara abstain.
Juga abstain sekutu Rusia di Kaukasus Selatan, Armenia. Kemudian Kyrgystan dan Tajikistan, sementara Uzbekistan mendukung resolusi PBB itu. Keempat negara ini tak berbatasan dengan Rusia namun pernah menjadi bagian Uni Soviet.
Sikap Armenia, China, Kazakhstan, dan Mongolia ini bisa disebut pukulan diplomatik bagi Rusia. Negara-negara ini secara implisit tak menyetujui invasi Rusia ke Ukraina.
Kazakhstan misalnya. Negara yang 72 persen penduduknya beragama Islam ini memiliki perbatasan sepanjang 7.644 km dengan Rusia atau terpanjang dibandingkan tetangga-tetangga Rusia lainnya.
Mirip Ukraina, Kazakhstan juga memiliki minoritas etnis Rusia yang signifikan; 19 persen dari total 19 juta penduduk.
Jika di Ukraina, etnis Rusia menghuni daerah timurnya, maka di Kazakhstan, etnis Rusia terpusat di daerah utara.
Kazakhstan mencermati lekat-lekat perang di Ukraina. Banyak kalangan merasa Rusia suatu ketika bisa menggunakan pula alasan etnis minoritas Rusia untuk berbuat jauh di Kazakhstan seperti terjadi di Ukraina.
Kazakhstan juga sering di-bully oleh pemimpin-pemimpin chauvinistis Rusia yang meminggirkan eksistensi negara ini, seperti Presiden Rusia Vladimir Putin yang menganggap Ukraina tidak ada.
Orang Kazakhstan tak akan melupakan peristiwa 29 Agustus 2014 ketika Putin menyatakan negerinya ciptaan Nursultan Nazarbayev, mantan pemimpin Kazakhstan.
"Kazakh tak pernah jadi negara. Dia (Nazarbayev) menciptakan negara di sebuah wilayah yang sebelumnya tidak ada negara," kata Putin waktu itu.
Enam tahun kemudian pada 10 Desember 2020, Ketua Komisi Pendidikan dan Sains Duma (DPR Rusia), Vyacheslav Nikonov, menyatakan sebagian besar wilayah Kazakhstan adalah pemberian Rusia dan Uni Soviet.
Nikonov juga menyatakan "Kazakhstan utara itu dulunya tak berpenghuni. Memang ada orang Kazakh tapi itu jauh di selatan." Pernyataan Nikonov ini membuat marah Kazakhstan.
Gamang dijepit raksasa
Menjadi masuk akal jika Kazakhstan abstain dalam resolusi Majelis Umum PBB mengenai invasi Rusia. Presiden Kassym-Jomart Tokayev sendiri menyeru Rusia mendahulukan kompromi, bukan perang.
Bahkan Menteri Luar Negeri Mukhtar Tleuberdi menyatakan Kazakhstan tak akan mengakui dua republik separatis Donetsk dan Luhansk di Ukraina timur.
Ketidaksetujuan diam-diam Kazakhstan itu sampai membuat pemerintahnya melanggar tabu demonstrasi massa, dengan membiarkan masyarakat berunjuk rasa mendukung Ukraina.
Ribuan demonstran berdemonstrasi di Almaty pada 6 Maret sambil membawa spanduk bertuliskan, "Rusia, tinggalkan Ukraina", "Hidup Ukraina", dan "Adili Putin!".
Para aktivis hak-hak sipil juga berhasil menekan pemerintah Kazakhstan mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Ukraina.
Invasi Rusia ke Ukraina juga mendorong banyak kalangan di Kazakhstan mempertanyakan keanggotaan negaranya dalam Organisasi Pakta Keamanan Kolektif (CSTO) dan Uni Ekonomi Eurasia (EaEU) yang dianggap menghambat kedaulatan Kazakhstan dan melemahkan ekonomi negara ini.
Mereka menganggap EaEU lebih merupakan pakta geopolitik yang melanggengkan dominasi Rusia, bukan liberalisasi perdagangan seperti terjadi di Uni Eropa.
Hanya karena kepentingan ekonomi di mana sebagian besar ekspor minyak Kazakhstan disalurkan melalui Rusia-lah yang membuat Kazakhstan tidak terbuka menentang Rusia.
Situasi dilematis juga dirasakan Mongolia. Beberapa hari setelah invasi Rusia, segelintir orang berdemonstrasi di Lapangan Sukhbaatar di Ulaanbaatar guna menyerukan agar perang di Ukraina diakhiri. Pemerintah Mongolia jengah karena khawatir protes seperti ini memicu reaksi Rusia.
Sikap ini mencerminkan kegamangan negara yang melewati transisi demokrasi pada 1990 setelah puluhan tahun dikendalikan Uni Soviet dan kini mengkhawatirkan China itu.
Dijepit Rusia di utara dan China di selatan, Mongolia membangun hubungan dagang dengan Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Langkah ini merupakan pesan kemandirian negara ini karena secara ekonomi Mongolia masih sangat tergantung kepada dua raksasa yang menjadi tetangganya itu.
Mongolia berhati-hati dalam melihat invasi Rusia di Ukraina, tak mendukung aksi Rusia, tapi juga tak mengecam Rusia. Untuk itu mereka abstain.
Bagi Mongolia abstain adalah yang terbaik daripada terang-terangan mendukung salah satu pihak karena semakin berpihak semakin sempit ruang manuver politik negara ini.
Mereka juga ingin menghindari ketergantungan kepada Rusia dan China. Aktif menjalin hubungan dagang dengan AS, Korea Selatan dan Jepang, menjadi salah satu caranya.
"Bagi negara seperti kami yang terjepit di antara dua raksasa dan negara yang terkurung tapi berekonomi terbuka adalah penting menjaga perbatasan tetap lentur," kata Otgochuluu Chuluuntseren, ekonom dan mantan pejabat petinggi Mongolia, seperti dikutip Reuters.
Jika Kazakhstan dan Mongolia yang perjalanan demokrasinya agak tertinggal saja kegerahan, apalagi tetangga-tetangga Rusia di Eropa dan Kaukasus.
Perdamaian tetap lebih baik
Azerbaijan yang berbatasan dengan Rusia di Republik Dagestan, juga mengkhawatirkan Rusia, apalagi mereka berkonflik di Nagorno-Karabakh dengan Armenia di mana Rusia membantu Armenia sebagai sesama anggota CSTO.
Azerbaijan yang berpaling ke Turki memanfaatkan konsentrasi Rusia dalam konflik Ukraina untuk memaksa Armenia melunturkan sikap menyangkut Nagorno-Karabakh.
Georgia yang diinvasi Rusia pada 2008 sampai kehilangan Ossetia Selatan dan Abkhazia yang berpenduduk mayoritas etnis Rusia pun harap-harap cemas melihat perang Ukraina.
Rakyat Georgia bahkan menggelar protes sejak hari pertama Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari, walaupun pemerintahnya bungkam seperti pemerintah beberapa tetangga Rusia lainnya.
Di utara, negara-negara Baltik dan Polandia yang dipayungi NATO menjadi tetangga Rusia yang paling lantang bersuara. Mereka berulang kali mendesak NATO mengirimkan pesawat tempur ke Ukraina.
Negara-negara seperti Indonesia tak akan bisa merasakan perasaan terkepung dan terancam negara besar seperti dirasakan tetangga-tetangga Rusia yang merasa bisa bernasib sama dengan Ukraina dan Georgia.
Kekhawatiran mereka terekam dalam sejarah negara mereka. Bahkan Finlandia, dan Swedia, yang bertahu-tahun netral ikut cemas.
Finlandia memiliki perbatasan sepanjang 1.300 km dengan Rusia, sedangkan Swedia hanya dipisahkan dari Rusia oleh Laut Baltik di Kaliningrad Oblast yang dijepit Lithuania dan Polandia.
Invasi Rusia di Ukraina telah menguatkan narasi Finlandia dan Swedia bergabung dengan NATO. PM Finlandia Sanna Marin sampai menyatakan akan memutuskan soal ini dalam pekan-pekan ke depan.
Rusia murka. Dmitry Medvedev, mantan presiden yang kini wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, menyatakan kalau sampai Swedia dan Finlandia bergabung dengan NATO maka Rusia akan membuat Laut Baltik tak lagi bebas senjata nuklir.
Tapi Lithuania menyebut ancaman Rusia itu bukan hal baru karena jauh sebelum perang Ukraina, Rusia sudah menggelarkan senjata nuklir di Kaliningrad.
Skenario bergabungnya Finlandia dan Swedia ke dalam NATO bakal menjadi salah satu konsekuensi strategis terbesar dari perang Ukraina-Rusia.
Dengan menyerang Ukraina, Vladimir Putin ingin memberi pesan kepada sejumlah negara Eropa timur agar tak mendekati NATO, tapi pakta pertahanan Atlantik Utara itu justru menjadi memiliki dasar guna menguatkan lagi relevansinya. Perang juga membuat anggaran pertahanan di Eropa mendadak naik, juga beberapa negara di kawasan lain, selain memicu latihan perang di mana-mana.
Alih-alih mengikis dominasi AS yang belakangan tahun justru berusaha menarik diri dari panggung politik dunia di antaranya dengan menarik pasukan dari Irak dan Afghanistan, Putin malah memancing AS aktif kembali di panggung keamanan global.
Lagi pula perang yang melibatkan negara besar pasti mengundang kekuatan besar lainnya. Dan adalah alamiah negara yang diperangi mencari bantuan dari kekuatan lain yang menjadi tandingan untuk kekuatan agresor.
Sikap Putin juga membuat tetangga-tetangga Rusia mengkhawatirkan skenario Ukraina bisa menimpa mereka di kemudian hari. Belarus yang turut menjadi basis menyerang Ukraina pun tak penuh menyokong Rusia. Mereka menolak mengirimkan pasukan ke Ukraina.
Intinya, hampir seluruh dunia tak mau perang. Bahkan, "perdamaian yang buruk masih lebih baik daripada perang yang baik," kata Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev seperti dituturkan mantan duta besar India untuk Uzbekistan, Gitesh Sarma, dalam laman lembaga think tank hubungan internasional India, IDSA.