Jakarta (ANTARA) - Pada peringatan HUT Ke-77 RI di Istana Negara, Jakarta, Rabu, menjadi tontonan menarik bagi masyarakat Indonesia, penampilan penyanyi cilik yang viral Farel Prayoga membawakan lagu Ojo Dibandingke menghibur Presiden RI Joko Widodo beserta tamu undangan.
Bicara tentang berita viral, saat ini pun masyarakat masih dibuat penasaran dengan motif pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, yang mulanya disebut tewas karena tembak-menembak di rumah dinas Irjen Pol. Ferdy Sambo, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri di kompeks Polri Duren Tiga Nomor 46, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Juli 2022.
Sebulan berlalu, tanda pagar (hashtag) Brigadir J atau Brigadir Yosua dan Ferdy Sambo masih menduduki peringkat teratas tranding Twitter di Indonesia, bahkan muncul tanda pagar terbaru #copotKapoldaFadil.
Seiring dengan berjalannya waktu, penyidikan yang dilakukan oleh Tim khusus (Timsus) bentukan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo secara maraton membuahkan hasil. Sesuai dengan arahan Presiden Jokowi agar kasus ini dituntaskan secepatnya, jangan ada yang ditutup-tutupi. Empat kali Presiden mengingatkan hal itu.
Peristiwa kematian Brigadir J mulai terkuak. Puncaknya pada hari Selasa (9/8), Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo bersama sejumlah jenderal dan pejabat utama Polri mengumumkan Irjen Pol. Ferdy Sambo sebagai tersangka kasus penembakan terhadap ajudannya.
Selain Ferdy Sambo, ada tiga tersangka lainnya, yakni Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, Brigadir Kepala Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf, satu-satunya tersangka unsur sipil, yang bekerja sebagai asisten rumah tangga merangka sopir keluarga Ferdy Sambo. Mereka disangkakan pasal pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati.
"Bahwa tidak ditemukan, saya ulangi, tidak ditemukan fakta peristiwa tembak-menembak seperti yang dilaporkan awal. Tim khusus menemukan bahwa peristiwa yang terjadi adalah peristiwa penembakan terhadap saudara J yang mengakibatkan saudara J meninggal dunia, yang dilakukan oleh saudara RE atas perintah saudara FS," kata Sigit, waktu itu.
Baca juga: LPSK tolak perlindungan Bharada E terkait percobaan pembunuhan
Baca juga: Komnas HAM cek TKP dugaan pembunuhan berencana Brigadir J
Bedol Desa
Selain tragisnya kematian Brigadir J karena adanya skenario jahat yang diduga dibuat oleh tersangka Ferdy Sambo untuk tutupi motif kejahatannya, jenderal bintang dua itu juga menyeret sedikitnya 35 personel Polri dalam pusaran kasus tersebut.
Ada 63 personel Polri yang diperiksa oleh Inspektorat Khusus (Itsus) Polri terkait dengan kasus tewasnya Brigadir J. Namun, baru 35 personel yang diduga melanggar etik dalam penanganan TKP Duren Tiga, 16 orang itu di antaranya ditahan di tempat khusus (patsus) di Provost Mabes Polri (10 orang) dan Mako Brimob, Kepala Dua Depok (enam orang). Ada dugaan mereka melanggar ini berasal dari satuan Polres Metro Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya, bahkan Mabes Polri.
Saat ini 35 personel tersebut menjalani pemeriksaan intensif guna menelusuri pelanggaran etik maupun pidana berupa upaya menghambat penegakan hukum (obstruction of justice) terhadap pengungkapan kasus pembunuhan berencana (Pasal 340) Brigadir J.
Dalam konteks kepolisian obstruction of justice berupa merusak TKP, menghilangkan barang bukti, bahkan membuat laporan palsu, seperti dua laporan yang dihentikan karena tidak terdapat peristiwa pidananya, yakni laporan dugaan pelecehan terhadap Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo, serta laporan percobaan pembunuhan terhadap Bharada E.
Hal ini bentuk komitmen Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam menindak anggotanya yang bersalah. Bahkan, sebelum penetapan tersangka Ferdy Sambo, jenderal bintang empat itu menerbitkan surat telegram khusus mencopot 10 perwira dari jabatannya. Mereka terdiri atas tiga perwira tinggi (pati), enam perwira menengah (pamen), dan satu perwira pertama (pama).
Tiga pati yang dicopot, yakni Irjen Pol. Ferdy Sambo dicopot dari jabatan Kadiv Propam Polri, Brigjen Pol. Hendra Kurniawan dicopot dari jabatan Karo Paminal Divisi Propam Polri, dan Brigjen Pol. Benny Ali dicopot dari jabatan Karo Provost Divisi Propam Polri. Ketiganya pun dimutasi sebagai pati pelayanan markas (yanma) Polri terhitung sejak Kamis (4/8).
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menggunakan istilah "bedol desa" atas mutasi besar-besaran yang dilakukan Kapolri terhadap anggota kepolisian yang ikut terlibat dalam kasus Birgadir J.
Peongky Indarti, anggota Kompolnas, menyebutkan 2 hari sebelum pengumuman puluhan personel Polri terlibat pelanggaran prosedural tidak profesional menangani TKP Duren Tiga, Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto dan dirinya bertemu dengan Kapolri, meminta agar orang-orang yang diduga melakukan obstruction of justice untuk diperiksa dan dimutasi.
Selaku pengawasan fungsional Polri, Kompolnas menilai Kapolri sudah tegas dalam penanganan kasus Brigadir J walau di awal pengungkapan kasus terdapat hambatan. Hal ini mengingat tersangka yang menjadi otak tindak pidana adalah seorang jenderal bintang dua yang menjabat sebagai polisinya polisi sehingga menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan obstruction of justice yang menyesatkan.
"Akan tetapi, kondisinya sudah berbalik dan saat ini penanganan sudah sesuai dengan jalur (on the right track),” kata Poengky kepada ANTARA saat dikonfirmasi, Selasa (16/8).
Baca juga: Timsus Polri fokus selesaikan berkas perkara penembakan Brigadir J
Baca juga: Labfor Polri dampingi Komnas HAM cek TKP Duren Tiga
Janji "Potong Kepala"
Dua tahun terakhir institusi Polri didera berbagai kasus viral di masyarakat, mulai dari kasus rudapaksa anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, kriminalisasi mural 404: Not Found mirip wajah Presiden Jokowi, kekerasan terhadap anak buah di Polres Nunukan, dan beberapa kasus lainnya. Banyaknya kritikan masyarakat sebenarnya menunjukkan tingginya harapan masyarakat terhadap kinerja polisi yang profesional dan manusiawi.
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menanggapi tingginya harapan masyarakat itu pada waktu menutup kegiatan Pendidikan Sespimti Polri Dikreg Ke-30, Sespimen Polri Dikreg Ke-61, dan Sespimma Polri angkatan ke-66 di Lembang, Jawa Barat, Rabu (27-10-2021), menyampaikan pidato yang fenomenal.
Sigit berpesan kepada jajarannya untuk menjadi pemimpin yang mengayomi dan melayani bagi warga dan anggotanya. Dalam menjalankan tugas, tidak boleh mudah terpancing emosi, turun langsung ke lapangan, dan mampu menjadi teladan bagi semua pihak.
Saat itu, pidato Sigit pun viral yang mengutip peribahasa Ikan Busuk Mulai dari Kepala, dengan kata lain segala permasalahan internal di kepolisian dapat terjadi karena pimpinannya bermasalah atau tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya.
Mantan Kadiv Propam Polri itu berkomitmen memberikan penghargaan bagi personel yang menjalankan tugas dengan baik dan bekerja keras melayani masyarakat.
Namun, sebaliknya, akan memberikan sanksi tegas kepada personel yang tidak menjalankan tugas dengan baik atau melanggar aturan yang ada. Bahkan, tidak ragu menindak tegas pimpinan yang tidak mampu menjadi teladan bagi jajarannya.
"Terhadap anggota yang melakukan kesalahan dan berdampak pada organisasi maka jangan ragu melakukan tindakan. Kalau tak mampu membersihkan ekor, kepalanya akan saya potong," ujar Sigit kala itu.
Baca juga: Jokowi merasa keseringan tanggapi kasus pembunuhan Brigadir Yoshua
Baca juga: Komnas HAM periksa Ferdy Sambo dan Bharada E di Mako Brimob sore ini
Problem dan Solusi
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (16/8), menyebutkan bahwa skandal kasus Duren Tiga memperlihatkan adanya masalah besar di tubuh Polri.
Diibaratkan pula bahwa Polri sedang dilanda gempa bermagnitudo 8 skala Richter, saking besarnya dampak yang terjadi.
Masalah ini karena ada aturan yang tidak dijalankan dengan benar, seperti Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri yang baru ditandatangani Kapolri pada tanggal 16 Maret lalu. Tertuang pada Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 9.
Selain menunjukkan pengawasan internal, menurut dia, juga tidak akan pernah bisa maksimal. Apalagi, yang terlibat dalam kasus ini adalah pengawas internal Polri sendiri, yakni Kadiv Propam beserta jajarannya.
Kasus ini juga menjadi bukti bahwa pelanggaran di internal Polri tidak bisa lagi dengan dalih perilaku oknum, tetapi kelompok yang terstruktur, sistematis dan masif di internal Polri. Masif mengingat sampai saat ini ada 63 personel yang diperiksa dan 35 di antaranya sudah ditemukan bukti pelanggaran etik yang bisa mengarah pada pelanggaran pidana.
Terstruktur karena para personel yang melanggar terdiri lintas satuan dari berbagai struktur di Polri. Sistematis karena ada upaya melakukan rekayasa menutupi kasus pembunuhan ini tentu tidak tiba-tiba dan dalih sudah melaksanakan SOP sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Catatan Bambang, sedikitnya ada empat aturan yang dilanggar dari kejadian ini, yakni Perkap Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penggunaan Senjata Api bagi Personel. Belum ada atasan langsung pemberi rekomendasi terkait dengan senpi untuk menembak Brigadir J yang diperiksa.
Pelanggaran terkait dengan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip HAM dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian menyangkut penggunaan senjata api, olah TKP dsb.
Berikutnya, Peraturan Polri (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Polri yang telah ditetapkan pada tanggal 14 Juni 2022 dan diundangkan pada tanggal 15 Juni 2022 yang dilanggar penegak aturan internal, yakni Kadiv Propam Polri sendiri.
Bambang pun melihat keterhubungan antara peraturan dan implementasi di lapangan menunjukkan ada indikasi Kapolri tidak mampu melaksanakan peraturannya sendiri.
Tidak bisa melakukan pengawasan melekat (waskat) secara maksimal dengan memberi arahan, inspeksi, asistensi, supervisi, dan monev (monitoring evaluasi) kepada jajarannya sehingga terjadi pelanggaran pidana berat yang melibatkan bukan orang per orang tetapi banyak orang.
Problem untuk kembalikan kepercayaan publik ini tentunya sangat berat bila dibebankan pada internal Polri saja. Ini membutuhkan dukungan kekuatan eksternal untuk memulihkannya. Dukungan eksternal saat ini adalah langkah-langkah politis Presiden untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada Polri.
Kapolri saat ini, kata Bambang, memang harus menuntaskan kasus ini seperti arahan Presiden tanpa mengurangi prinsip kehati-hatian. Selain itu, juga harus cepat karena berkejaran dengan menurunnya kepercayaan masyarakat.