Makassar (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan memutuskan menolak atau tidak dapat menerima gugatan perdata senilai Rp100 triliun yang dialamatkan kepada enam media, yakni Antara News,TerkiniNews, CelebesNews, MakassarToday, KabarMakassar dan RRI.
Penolakan atas gugatan perdata yang dilayangkan M Akbar Amir, pria yang mengaku sebagai Raja Tallo itu dibacakan dalam sidang putusan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jahoras Siringo Ringo serta Anggota Majelis Hakim Rusdiyanto Loleh dan Angeliky Handajani Day, di PN Makassar, Rabu.
Ketua Majelis Hakim Jahoras Siringo Ringo saat membacakan putusan menyatakan menimbang bahwa gugatan penggugat dinilai prematur sehingga tidak dapat diterima.
Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam fakta persidangan tidak ditemukan bukti yang berkaitan dengan Penggugat menggunakan hak koreksi dan atau hak jawab sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang 40 tahun 1999 tentang Pers serta upaya hukum lainnya, seperti somasi dan mediasi.
"Maka mengenai dalil-dalil substansi mengenai pokok perkara tidak perlu lagi dipertimbangkan atau belum cukup waktu diputuskan, karena penggugat belum menempuh penyelesaian sengketa jurnalistik atau sengketa pers sebagaimana diatur UU Pers sebagai Lex Spesialis," kata Ketua Majelis Hakim.
"Justru penggugat mengakui tidak menjalankan hak koreksi dan hak jawab sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat 2 dan 3 UU 40 tahun 1999 tentang Pers, dimana mekanisme ini sesuai keterangan saksi ahli Dewan Pers Imam Wahyudi
wajib ditempuh terlebih dahulu sebelum menempuh jalur hukum perdata dan atau pidana. Bahwa ahli menyatakan berita yang ditayangkan enam media adalah karya jurnalistik," sambungnya.
Sebelumnya, dalam eksepsi pada butir 1 para tergugat (media) I, IV, V san VI menyatakan gugatan penggugat prematur, penggugat tidak mempunyai legal standing seperti dimaksud tergugat, gugatan penggugat Eror in Persona, gugatan penggugat kedaluwarsa serta gugatan penggugat tidak lengkap.
"Bahwa eksepsi tergugat terkait balasan gugatan prematur cukup alasan diterima dalam perkara ini," lanjut Ketua Majelis Hakim.
Sehubungan dengan eksepsi pihak tergugat, maka berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2345.K/sips/2016 19 Desember 2016 Juncto putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2284.K/Sips/2017 tanggal 16 Desember 2017 Juncto Putusan MA 310.k/sips/2017 tanggal 17 Januari 2018 Juncto Putusan MA Nomor 1996.k/Pdt/2019, tanggal 26 Agustus 2019 yang pada intinya mengandung kaidah hukum suatu surat gugatan yang diajukan terlalu dini atau prematur harus dinyatakan tidak dapat diterima.
"Maka dengan mempedomani Yurisprudensial tersebut, telah cukup alasan untuk menghukum Penggugat dengan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Menimbang oleh karena gugatan penggugat tidak dapat diterima. maka pihak penggugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara sejumlah yang ditetapkan dalam amar putusan ini," ujarnya.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan dalam eksepsi menerima eksepsi Tergugat 1, 4, dan 5 serta 6, dan dalam pokok perkara: 1. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima dan 2. Menghukum Penggugat membayar biaya perkara sebesar 3.800.030 rupiah.
Setelah mengetuk palu tanda pembacaan putusan berakhir, Ketua Majelis Hakim kembali menjelaskan hasil putusan tersebut agar dipahami kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat), yakni pada intinya gugatan Penggugat masih prematur atau terlalu dini karena masih ada proses yang belum ditempuh, yakni hak jawab dan hak koreksi kepada pihak Tergugat, yang bersifat imperatif atau harus ditempuh sebelum gugatan ke pengadilan.
"Apabila tidak sependapat maka kedua belah pihak dapat menempuh upaya hukum, apakah akan mengajukan banding dipersilahkan dalam tenggang waktu sesuai ketentuan undang-undang," ujarnya.
Sebelum mengakhiri persidangan Ketua Majelis Hakim menanyakan hal-hal yang mungkin hendak ditanyakan, dan Penggugat maupun para Tergugat menyatakan cukup.
Sementara itu, usai persidangan Kuasa Hukum Tergugat dari Koalisi Pembela Kebebasan Pers Sulsel DR Muh Al Jebra Al Iksan Rauf SH MH mengatakan putusan tersebut merupakan wujud negara mengakui Kebebasan Pers.
"Putusan ini bentuk bahwa memang negara menghargai tentang adanya Kebebasan Pers, itu dilihat oleh pertimbangan Majelis Hakim dengan menyatakan sebelum diajukan ke pengadilan, terlebih dahulu mengajukan hak jawab maupun koreksi terhadap produk jurnalis dan apabila tidak direspons baru kemudian keberatan itu dibawa ke ranah Dewan Pers karena dalam UU Pers sifatnya imperatif, perlu dilalui dimana fakta persidangan, penggugat tidak pernah menggunakan hak jawab maupun hak koreksi selama beberapa tahun ini," kata Jebra.
Ia juga mengatakan bahwa sebagaimana diketahui ada mekanisme yang harusnya lebih dulu Penggugat tempuh. Dalam UU Pers diatur mengenai hak koreksi dan hak jawab yang bisa dibawa ke rana Dewan Pers bilamana pihak media mengabaikan kedua hak tersebut.
Kuasa Hukum RRI (tergugat VI) Eza Mahadika menambahkan, bahwa majelis hakim dalam perkara ini telah memeriksa dan menyidangkan perkara dengan sangat cermat dan teliti, sehingga mengeluarkan keputusan yang tepat sesuai dengan ketentuan mekanisme hukum yang berlaku.
"Kami jadikan putusan ini sebagai momentum perjuangan Kemerdekaan Pers sekaligus pembelajaran bagi jurnalis agar bisa lebih baik lagi menjalankan tugas sebagai jurnalistik," ujarnya.
Secara terpisah, Kuasa Hukum Penggugat Mukadi Saleh mengaku pihaknya belum memutuskan untuk mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim tersebut.
"Masih akan dibicarakan lagi dengan tim kuasa hukum, akan dilakukan upaya banding atau bagaimana," kata Mukadi.
Ditanyakan apakah puas atau tidak atas putusan tersebut, Mukadi menyatakan pihaknya harus puas atas keputusan Majelis Hakim, karena tidak diintervensi oleh siapa pun, mulai dari penggugat dan tergugat.
Seperti diketahui, enam media di Kota Makassar diperkarakan ke PN Makassar dalam kasus perdata dengan dalil perbuatan melawan hukum.
Adapun enam media yang digugat berdasarkan data salinan nomor perkara secara online, yakni Antara News, Terkini News, Celebes News, Makassar Today, Kabar Makassar dan RRI, dengan penggugat bernama M. Akbar Amir.
Gugatan M Akbar Amin terhadap enam media terkait berita konferensi pers tahun 2016, dimana narasumber dalam berita mempertanyakan status M. Akbar Amin sebagai Raja Tallo.
Atas berita itu, M. Akbar Amin mengaku mengalami kerugian senilai Rp100 triliun akibat pembatalan sejumlah proyek yang diklaimnya.
Kasus ini sempat mendapat sorotan dari berbagai kalangan, karena dinilai bisa mengancam kemerdekaan pers karena gugatan yang dapat membangkrutkan perusahaan media.
Selain dari berbagai organisasi jurnalis dan perusahaan media, dukungan juga datang dari Dewan Pers dan Komite Keselamatan Jurnalis atau KKJ di Jakarta.