Jenewa (ANTARA) - Sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan pada Senin (3/10/2022) tentang risiko resesi global yang disebabkan oleh kebijakan moneter yang akan memiliki konsekuensi sangat serius bagi negara-negara berkembang dan menyerukan strategi baru.
"Setiap keyakinan bahwa mereka (bank sentral) akan mampu menurunkan harga-harga dengan mengandalkan suku bunga yang lebih tinggi tanpa menghasilkan resesi, menurut laporan itu, merupakan pertaruhan yang tidak bijaksana," katanya.
Laporan itu mengatakan bahwa suku bunga yang lebih tinggi, termasuk kenaikan oleh Federal Reserve AS, akan berdampak lebih parah pada negara-negara berkembang, yang sudah memiliki tingkat utang swasta dan publik yang tinggi. Laporan yang berjudul "Development prospects in a fractured world", juga memperingatkan potensi krisis utang di negara berkembang.
"Tindakan saat ini merugikan orang-orang yang rentan di mana-mana, terutama di negara berkembang. Kita harus mengubah arah," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan dalam konferensi pers di Jenewa.
Ditanya tentang solusi, dia menyatakan ada cara lain untuk menurunkan inflasi, menyebutkan pajak rejeki nomplok (windfall taxes) pada perusahaan, peraturan yang lebih baik untuk mengendalikan spekulasi komoditas dan upaya untuk mengatasi kemacetan sisi penawaran.
"Jika Anda hanya ingin menggunakan satu instrumen untuk menurunkan inflasi ... satu-satunya kemungkinan adalah membawa dunia ke perlambatan yang akan berakhir dalam resesi," katanya.
Secara keseluruhan, UNCTAD merevisi turun proyeksi pertumbuhan global 2022 menjadi 2,5 persen dari perkiraan sebelumnya 2,6 persen dalam penilaian Maret. Lembaga ini memperkirakan pertumbuhan 2,2 persen pada 2023.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga memperingatkan bulan lalu bahwa beberapa negara mungkin tergelincir ke dalam resesi tahun depan dan merevisi turun perkiraan pertumbuhannya.