Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Said Aqiel Siradj (SAS) Institute Sa’dullah Affandy mengatakan bahwa Hari Santri merupakan sebuah pengakuan negara kepada kaum santri atas kiprah dan jasa mereka terhadap Tanah Air.
Santri, tutur ia melanjutkan, merupakan lulusan pesantren, sebuah institusi pendidikan pertama dalam komunitas Islam Nusantara dan diyakini sebagai institusi pendidikan keislaman hasil kreasi para ulama Nusantara.
“Tidak mengherankan jika pesantren mampu eksis menjadi kawah candra dimuka bagi kaum intelektual Islam selama berabad-abad, bertahan menghadapi beragam gelombang perubahan zaman,” ucapnya.
Bahkan, pesantren tidak jarang menjadi aktor penggerak bagi perubahan itu sendiri, baik di masa kolonial, hingga reformasi dewasa ini.
Sa’dullah berpandangan bahwa tantangan kaum santri saat ini tidaklah sama dengan era sebelumnya. Kesenjangan politik nyaris tidak lagi terjadi di era keterbukaan ini.
Setiap orang bebas untuk menyampaikan aspirasi politik dan pendapatnya masing-masing selama tidak mengganggu ketertiban umum atau bertentangan dengan peraturan yang ada.
“Meski demikian, kesenjangan ekonomi dan kerentanan sosial masih kita saksikan bersama,” tuturnya.
Dengan demikian, pada Hari Santri yang ke-8 ini, sangatlah tepat kiranya jika kaum santri dan pesantren memusatkan pandangan pada kebangkitan ekonomi santri, kata Sa’dullah.
Secara politik, kaum santri telah memiliki panggung yang cukup terbuka untuk pentas, meski tentu belum sebanding dengan jasanya selama berabad-abad dalam membangun peradaban bangsa. Secara pemikiran, santri juga telah banyak memiliki profesor apalagi doktor dalam berbagai bidang, baik lulusan dalam negeri maupun luar negeri.
“Namun, kalangan santri-pesantren, secara ekonomi dewasa ini, masih menjadi penghuni kelas menengah ke bawah. Inilah pekerjaan besar kaum santri ke depan. Sebuah tugas yang tidak lebih ringan dari perjuangan kaum santri dalam mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan Indonesia,” kata Sa’dullah.