Jambi (ANTARA) - Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2019 ada sebanyak 279 konflik agraria di Indonesia. Konflik tersebut berdampak terhadap ratusan ribu keluarga di berbagai provinsi. Salah satunya Provinsi Jambi, yang masuk 10 besar penyumbang konflik agraria tersebut. Dimana ada 24 konflik di sektor perkebunan dan kehutanan yang berlangsung puluhan tahun. Salah satunya Konflik Suku Anak Dalam (113) dengan PT Berkat Sawit Utama (BSU) di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari.
Konflik SAD 113 dengan PT. BSU itu muncul karena di dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT. BSU seluas 3.550 hektare tersebut terdapat lahan seluas 750 hektare yang diklaim SAD 113 merupakan tanah ulayat. Konflik pun mulai mengalir pasca diterbitkannya HGU untuk PT. BSU itu sejak tahun 1987 silam. Artinya, konflik itu sudah berjalan selama 35 tahun.
Kini--mimpi panjang warga SAD 113 untuk mendapatkan kembali lahan mereka seluas 750 hektare, terwujud sudah. Konflik antara SAD 113 dan PT. BSU berakhir harmonisasi. Puncaknya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan sertifikat kepemilikan bersama atau komunal, untuk 744 warga SAD 113 berupa perkebunan sawit dan 20 hektare pemukiman atau fasilitas umum, yang juga ditetapkan melalui SK Gubernur Jambi. Simbolis-nya, sertifikat SAD 113 diserahkan langsung Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Kamis 1 Desember lalu.
Dalam penyelesaian kasus di atas, ada peran besar lembaga yang terus berjuang agar konflik tersebut secepatnya berakhir. Namanya-- Panitia Khusus (Pansus) Konflik Lahan yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi. Pansus Konflik Lahan itu mulai dibentuk sejak Agustus 2021 yang beranggotakan dari semua fraksi di DPRD.
Pansus Konflik Lahan dibentuk untuk memetakan konflik lahan di Jambi serta sejauh mana penanganan nya dan bagaimana penyelesaiannya, serta mendalami sejauh mana pengelolaan HGU oleh perusahaan yang mendapat izin.
Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto menyatakan, ada tiga pendekatan yang dilakukan sebagai bentuk usaha dalam penyelesaian konflik lahan di Provinsi Jambi. Yakni pendekatan budaya, hukum dan politik. Ia pun kerap turun langsung ke lokasi, mengawal proses penyelesaian lahan tersebut.
Menurutnya, penyelesaian konflik lahan penting dilakukan karena menyangkut kepentingan masyarakat umum. Sebab itu pula dalam penyelesaian penting menggunakan pendekatan-pendekatan agar penyelesaian konflik dapat berjalan dengan baik. Salah satunya dengan menggelar menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk mendengar saran dan masukan dari berbagai pihak.
Dimana dalam FGD itu menghadirkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian konflik. Mulai dari unsur Forkopimda Provinsi Jambi, dinas terkait, pemerintah kabupaten yang terdapat konflik lahan, Lembaga Adat Melayu Jambi, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Non-Governmental Organization (NGO), pihak kementerian terkait dan DPR RI.
Edi juga mengungkapkan banyak fenomena dalam proses penyelesaian konflik lahan antara PT. BSU dan SAD 113. Namun dengan ikhtiar dan niat bekerja untuk masyarakat, semua kesulitan mampu dilewati Pansus hingga konflik pun selesai. Poin pentingnya kata Edi, integritas dan komitmen para pemangku kepentingan.
Pertama di Indonesia
Pansus Konflik Lahan yang dibentuk DPRD Provinsi Jambi menjadi yang pertama di Indonesia. Hal tersebut diakui Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong, ketika Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi konsultasi ke Kementerian tersebut.
Alue Dohong menyebut DPRD Provinsi Jambi menjadi DPRD pertama di Indonesia yang memiliki inisiatif untuk menyelesaikan konflik lahan di daerah secara paripurna, diantaranya dengan penyusunan road map penyelesaian konflik.
Selain itu, Pansus Konflik Lahan DPRD mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, diantaranya Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto.
Apresiasi tersebut diungkapkannya saat melakukan kunjungan kerja di Jambi beberapa waktu lalu. Hadi menyebut, ada 21 kasus yang masuk ke Kementerian ATR/BPN. Namun baru 6 enam kasus yang didalami. Dimana rata-rata adalah kasus over lapping atau tumpang tindih lahan antara HGU yang sudah selesai masanya, kemudian perusahaan melupakan kewajiban nya. Selain itu konflik masyarakat dengan perusahaan terkait klaim lahan yang masuk HGU perusahaan.
Atas kinerja Pansus Konflik Lahan tersebut, Menteri ATR/BPN pun memberikan penghargaan atas prestasi DPRD Provinsi Jambi. Penghargaan tersebut diterima langsung Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto di Jakarta, Rabu (7/12).
Edi saat itu menyebut pemberian penghargaan bukanlah suatu tujuan yang ingin dicapai DPRD Provinsi Jambi. Namun itu merupakan pencapaian bersama yang sangat menggembirakan. Ia juga menargetkan 20 konflik lahan dapat terselesaikan selama dirinya menjabat.
Tidak hanya Menteri ATR/BPN, dukungan penuh juga disampaikan Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin. Namun ia juga mengingatkan tim pansus untuk berhati-hati dan menyiapkan mental terhadap intervensi pihak-pihak yang tidak menginginkan kinerja pansus berjalan maksimal.
Pastikan Kesejahteraan SAD
Meski konflik antara SAD 113 dengan PT. BSU berakhir, Ketua DPRD Provinsi Jambi Edi Purwanto juga terus mengajak semua pemangku kepentingan untuk memastikan kesejahteraan seluruh warga SAD 113 terjamin. Mulai anak-anak mereka bisa sekolah dengan baik, bagaimana peradabannya mereka terbangun dengan baik serta dapat fasilitas umum yang lebih baik. Sehingga warga SAD kata Edi betul-betul menjadi rakyat yang merdeka di buminya sendiri.
Saat penyerahan sertifikat kepada warga SAD 113, Senin (21/12), Edi juga menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang telah berperan dan berkontribusi dalam penyelesaian konflik itu. Mulai dari Menteri ATR/BPN RI, jajaran Forkopimda Provinsi Jambi, Kakanwil ATR/BPN Provinsi Jambi, PT BSU dan masyarakat SAD 113.
Edi juga mengungkapkan perjuangan penyelesaian konflik lahan antara SAD 113 dengan PT BSU yang sudah berlangsung lebih kurang 35 tahun itu dimulai saat terbentuknya Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi. Dimana Pansus terus melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait.
Konflik Lain Menunggu
Ketua Pansus Konflik Lahan Wartono Triyan Kusumo menyatakan bahwa mayoritas penyebab terjadinya konflik lahan, khususnya antara masyarakat dan perusahaan adalah karena izin konsesi yang diberikan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Perusahaan yang dapat izin langsung menggusur masyarakat yang sudah lebih dulu mendiami dan memanfaatkan lahan.
Wartono menyebut selama Pansus Konflik Lahan terbentuk, total ada 107 kasus yang masuk ke Pansus Konflik Lahan, baik dari laporan masyarakat, pemerintah maupun Non-Governmental Organization (NGO). Dari jumlah itu, Pansus mengerucutkan menjadi 21 kasus yang kemudian dilaporkan ke Kementerian ATR/BPN untuk mendapatkan rekomendasi.
Masa kerja Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi itu kini sudah berakhir karena adanya batas waktu. Namun jika dilihat dari keberhasilan penyelesaian konflik lahan antara SAD 113 dengan PT. BSU, Pansus Konflik Lahan sepertinya sangat dibutuhkan.
Sebab saat ini, masih banyak konflik lahan yang mengemuka di wilayah Provinsi Jambi dan menunggu penyelesaian. Diantaranya konflik antara Kelompok Tani di Desa Danau Lamo, Kabupaten Muarojambi dengan PT. WKS dan konflik antara warga SAD di wilayah Sarolangun dan Kabupaten Merangin dengan PT Sari Aditya Loka (SAL).***