Palembang, Sumatera Selatan (ANTARA) - Polisi kembali membongkar kasus penampungan ilegal solar bersubsidi di kawasan Kertapati, Kota Palembang, Sumatera Selatan, yang meresahkan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dari gudang tersebut, polisi menyita sisa 490 liter solar bersubsidi yang disimpan dalam 14 jeriken plastik warna biru, masing-masing berkapasitas 35 liter, puluhan jeriken kosong, dan satu dump truck warna hijau nomor polisi B 9958 TDE.
Penyitaan semua barang bukti dilakukan oleh personel Unit Pidana Khusus Polrestabes Palembang, pada 6 Maret 2023.
Setelah dilakukan pengembangan, personel polisi di lapangan berhasil menangkap empat pelaku yang menjalankan aktivitas ilegal penampungan solar subsidi itu.
Para pelaku tersebut berinisial YH, DM, AS, dan ZH, warga Kabupaten Ogan Ilir dan Palembang. Mereka saat ini ditahan di Polrestabes Palembang guna menjalani penyelidikan.
Kepada penyidik kepolisian, pelaku ZH mengaku solar di gudang itu adalah sisa pengangkutan distribusi milik pemerintah. Kemudian, solar itu dijual kembali oleh ZH kepada penadah yakni YH, senilai Rp7 ribu per liter dan sudah dua kali pembelian.
“ZH menjualnya (solar) ke YH, kemudian YH mengangkut dengan mobil dump truck untuk kemudian mereka jual lagi,” kata dia. Kepolisian belum bisa menjelaskan lebih rinci karena saat ini masih berlangsung penyelidikan.
Akan tetapi, Supriadi menyatakan, bila terbukti bersalah, para pelaku vakal dijerat melanggar Pasal 40 angka 9 Undang-aundang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya pidana penjara selama 6 tahun atau denda Rp60 miliar.
Kawasan Kertapati sudah sejak lama dikenal menjadi areal yang rawan dijadikan sebagai sentra aktivitas penampungan BBM secara ilegal di Kota Palembang.
Dalam 1 tahun terakhir ini setidaknya sudah ada empat lokasi aktivitas ilegal penampungan solar bersubsidi di kawasan tersebut yang dibongkar oleh aparat kepolisian.
Salah satu lokasi aktivitas ilegal penampungan solar subsidi yang lebih dulu diungkap tersebut, diduga dimiliki oleh oknum anggota kepolisian.
Nama oknum anggota kepolisian berinisial Aipda S (42) itu disebut sebagai pemilik lahan gudang penampungan ilegal solar berlokasi di Jalan Mayjen Satibi Darwis, Kertapati.
Dugaan keterlibatan Aipda S, yang berdinas di Polda Sumatera Selatan, itu didapatkan berdasarkan hasil investigasi Polrestabes Palembang dan Bid Propam Polda Sumatera Selatan atas meledaknya gudang penampungan solar di Jalan Mayjen Satibi Darwis itu pada 22 September 2022.
Namun, sampai saat ini pihak kepolisian belum mengumumkan secara jelas dan tuntas terkait hasil penyelidikan keterlibatan Aipda S dan para pelaku lainnya dalam bisnis penampungan BBM ilegal kepada publik. Termasuk asal dan ke mana saja solar bersubsidi dari pemerintah itu dijual dan diedarkan.
Usut tuntas
Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan RA Anita Noeringhati menyatakan penyalahgunaan BBM bersubsidi itu berdampak kepada masyarakat yang membutuhkan.
Terlebih dalam kondisi saat ini pascapenaikan harga BBM. Ia mendesak aparat penegak hukum beserta instansi terkait segera menuntaskan perkara tersebut.
Selain penindakan hukum, upaya mitigasi perlu dioptimalkan sehingga masalahnya tidak berlarut-larut, misalnya, dengan memasifkan pengawalan distribusi pasokan BBM dari hulu hingga ke hilir.
Tujuannya, agar BBM benar-benar dimanfaatkan masyarakat secara tepat, sebagaimana hasil koordinasi lintas sektoral beberapa waktu lalu yang dipimpin Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru.
Rentetan peristiwa itu menjadi momentum semua pihak untuk berbenah dan memprioritaskan kemaslahatan masyarakat umum.
Keterlibatan masyarakat untuk melakukan pengawasan juga penting sehingga kasus tersebut tidak menguap begitu saja.
Konsistensi
Dukungan supaya aparat penegak hukum konsisten mengungkap tuntas kasus itu salah satunya diberikan oleh pengusaha SPBU di Palembang yang minta identitasnya dilindungi.
Ia sudah lama menunggu momentum ini. Bukan rahasia lagi kalau di kawasan Kertapati, Palembang beroperasi sebagai tempat penampungan secara ilegal BBM bersubsidi.
Sejak bertahun-tahun yang lalu atau setidaknya 3 tahun terakhir, hampir setiap hari truk-truk angkutan minyak melintas di seputar kawasan tersebut.
Bahkan, bisnis SPBU keluarganya pernah menjadi korban atas praktik nakal sopir truk angkutan BBM yang menggelapkan isi muatannya atau istilahnya “kencing” di gudang penampungan.
Berdasarkan pengamatannya, terdapat beberapa jenis ukuran mobil tangki BBM yang beroperasi, mulai dari 32 ton, 24 ton,16 ton, dan 8 ton.
Adapun untuk ukuran tangki 16 ton bisa menyusut 600-700 liter, lalu untuk ukuran 32 ton berkurang mencapai sekitar 1 ton minyak, baik jenis solar atau pun Pertalite. Kedua jenis BBM ini bersubsidi.
Truk tangki tersebut bukan milik Pertamina, melainkan pihak ketiga yang menyediakan jasa bekerja sama dengan BUMN di bidang migas tersebut.
SPBU-nya yang berlokasi di pinggiran Kota Palembang bisa melakukan pembelian BBM ke Pertamina sekitar 24 ton per hari. Dari penjualan 24 ton minyak tersebut diperoleh keuntungan kotor senilai Rp6 juta per hari.
Akibat ulah nakal sopir tangki BBM “kencing” di penampungan itu, pemilik SPBU mengalami kerugian Rp2,1 juta sehingga keuntungan kotor kurang dari Rp4 juta.
Kondisi ini membebani pengusaha SPBU, yang sebagian besar mengalami hal sama, bahkan sampai saat ini masih terjadi.
Sementara biaya produksi SPBU terbilang tinggi, bisa mencapai Rp100 juta per bulan untuk biaya keamanan, listrik, pegawai, dan lain-lainnya.
“Akan tetapi, SPBU mau tidak mau harus menerima kekurangan pasokan BBM karena mengikuti budaya ‘kencing’ yang kronis (menahun). Konon pendapatan sopir hanya dari ‘kencing’ alias tidak digaji perusahaannya,” ungkap pengusaha itu.
Oleh karena itu, pengusaha SPBU mendukung keseriusan Polda Sumatera Selatan memberantas hingga tuntas penampungan BBM ilegal tersebut, termasuk menghukum oknum penegak hukum atau pegawai Pertamina bila terbukti terlibat dalam praktik kotor tersebut.