Jakarta (ANTARA) -
Indonesia harus mengambil peluang ekonomi dari mekanisme perdagangan karbon yang sudah disepakati dunia.
Peluang tersebut jangan sampai terbuang sia-sia karena hanya Indonesia bersama Brasil yang berada di wilayah tropis, dengan luasan tutupan vegetasi yang signifikan.Jika tidak, maka pembiayaan dari negara-negara maju akan gagal terdistribusi untuk membiayai masyarakat yang berkontribusi menangkap karbon dengan menjaga vegetasi.
Saat ini perubahan iklim yang berdampak nyata terhadap kondisi lingkungan di dunia telah disadari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil di berbagai belahan dunia.
Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan salah satu dampak nyata dari perubahan iklim adalah meningkatnya suhu Bumi rata-rata 1,5 derajat Celcius. Naiknya suhu permukaan Bumi sebagai bentuk pemanasan global sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia.
Pemanasan global yang terjadi disebabkan oleh emisi karbon atau emisi gas rumah kaca yang semakin tinggi dari waktu ke waktu. Emisi karbon disumbang dari berbagai sektor kegiatan ataupun aktivitas manusia, antara lain sektor forest and others landuse (FOLU) atau sektor kehutanan dan lahan.
FOLU idealnya berada pada kondisi berimbang antara serapan dan emisi karbon yang dilepaskan. Dengan demikian, kebijakan menjaga hutan dan menghijaukan kembali lahan menjadi bagian dari upaya mitigasi penurunan emisi karbon di Indonesia.
Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa sektor tersebut merupakan andalan yang tak dimiliki negara lain, sehingga Indonesia dapat menarik banyak dana dari luar negeri secara legal.
KLHK menetapkan sektor kehutanan dan lahan sebagai upaya mitigasi dan mengendalikan perubahan iklim dalam sebuah kebijakan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Kebijakan tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Bahkan, pada 26 September 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memulai bursa perdagangan karbon sebagai bentuk dukungan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Peraturan teknis pun diterbitkan oleh OJK, di antaranya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon (PJOK 14/2023) dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon (SEOJK 12/2023).
Peraturan teknis dan surat edaran OJK tersebut diharapkan dapat mendukung pemerintah dalam upaya aksi mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca agar target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia tercapai pada tahun 2030.
Target kebijakan FOLU Net Sink 2030 adalah menurunkan gas rumah kaca sebesar 140 juta ton CO2e. Sasaran kebijakan tersebut untuk mengendalikan perubahan iklim dari masifnya degradasi hutan dan lahan di Indonesia, sehingga target FOLU Net Sink 2030 dapat tercapai.
Implementasi FOLU Net Sink 2030 akan terlaksana dengan baik jika didukung dengan standar pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (measurement, reporting, and verification) yang kemudian dikenal dengan MRV.
Standar MRV menjadi instrumen utama untuk mengontrol yang diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 168 Tahun 2022.
Pada Permen LHK Nomor 168 Tahun 2022 disebutkan bahwa terdapat berbagai program dan kegiatan yang mendukung perlindungan hutan dari deforestasi, seperti pencegahan dan pengamanan hutan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan, peningkatan penyuluhan, penyelenggaraan dan pelatihan masyarakat, dan pengembangan generasi lingkungan, pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan.
Laju degradasi
Tujuan utama perlindungan hutan dari deforestasi adalah menahan laju degradasi hutan. Di area konsesi swasta saja, sepanjang tahun 2013 hingga 2019 laju degradasi mencapai 0,44 juta hektare, sehingga angka tersebut harus ditahan.
MRV sebagai alat yang digunakan untuk melihat laju degradasi hutan dan lahan, dengan indikator perubahan tutupan lahan dari tahun ke tahun.
Perubahan tutupan lahan dapat dimonitoring secara periodik menggunakan data citra satelit penginderaan jauh atau remote sensing.
Citra satelit penginderaan jauh merupakan suatu gambaran objek permukaan Bumi yang diperoleh dari perekaman satelit pada ketinggian tertentu. Citra satelit terdiri dari beberapa resolusi, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, dan resolusi temporal.
Resolusi spasial merupakan ukuran piksel yang menyatakan kedetailan objek yang direkam dan tergambar dalam citra.
Resolusi ini biasanya berbentuk kotak dengan ukuran piksel spesifik, seperti 0,6 m x 0,6 m, serta akan terlihat jelas jika citra diperbesar. Semakin kecil angka resolusi spasial, maka akan semakin detail dan jelas objek yang tergambar.
Resolusi spasial dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu resolusi tinggi (ukuran piksel 0,3 – 5 m), resolusi sedang (ukuran piksel 5 – 30 m), dan resolusi rendah (ukuran piksel >30 m).
Citra Satelit Maxar Worldview 3 dengan resolusi 0,3 m menunjukkan citra satelit tersebut termasuk kategori resolusi spasial tinggi, karena ukuran piksel kecil, sehingga objek sangat jelas terlihat jika diperbesar.
Objek rumah atau bangunan sangat jelas terlihat dan dapat dipisahkan. Begitu juga objek vegetasi sangat mudah terlihat dan dibedakan dengan objek lainnya.
Sementara citra satelit Sentinel 2 beresolusi spasial 15 x 15 m termasuk ke dalam kategori resolusi sedang. Kedetailan objek yang tergambar tidak sebaik citra satelit beresolusi spasial tinggi, seperti citra Worldview 3. Sangat terlihat perbedaan kedua jenis resolusi spasial pada area yang sama.
Perbedaan tersebut membuktikan bahwa ukuran resolusi spasial sangat mempengaruhi level detail objek yang tergambar.
Perbedaan tingkat kedetailan tersebut menjadi dasar kebutuhan data yang dibutuhkan. Hal tersebut berkaitan dengan skala analisis dan skala saji peta yang dihasilkan.
Jika ingin menyajikan informasi detail, maka menggunakan citra satelit dengan resolusi tinggi, sebaliknya jika informasi yang dibutuhkan tidak terlalu detail, maka dapat menggunakan citra satelit resolusi sedang atau rendah.
Selain memiliki resolusi spasial, citra satelit juga memiliki resolusi temporal, yaitu selang waktu yang dibutuhkan satelit untuk melewati tempat yang sama, disebut juga dengan revisit time. Resolusi temporal menentukan seberapa lama satelit melakukan perekaman dalam kurun waktu tertentu dan seterusnya.
Semakin tinggi resolusi temporal, semakin besar ketersediaan citra satelit di suatu lokasi. Manfaat dari resolusi temporal, khususnya di wilayah sekitar ekuator, adalah dapat memilih citra satelit yang bebas awan atau minim tertutup awan.
Contoh resolusi temporal citra Landsat dengan waktu kembali merekam lokasi setiap 16 hari. Agar ketersediaan citra satelit semakin banyak, maka tidak mungkin dipenuhi hanya dengan satu satelit saja, melainkan dari banyak satelit dalam satu konstelasi.
Dengan memahami resolusi temporal penafsir citra dapat membandingkan data suatu lokasi yang direkam berbeda waktu, misalnya lokasi yang direkam pada 11 November 2005 dan 23 Agustus 2020.
Dengan perbedaan waktu tersebut jelas dapat dilihat perubahan yang terjadi, misalnya pada 2005 kondisi tutupan hutan masih rapat dan hijau, tetapi di tahun 2020 tutupan hutan sudah menjadi merah, yang artinya kondisi tanah terbuka. Penafsir dapat menyimpulkan kondisi tahun 2020 terjadi deforestasi hutan yang cukup luas.
Citra satelit
Kegiatan MRV deforestasi dan degradasi tutupan lahan hutan sangat terbantu dengan hadirnya citra satelit sebagai data pendukung.
Identifikasi perubahan tutupan hutan menjadi lahan terbuka menunjukkan upaya penurunan emisi gas karbon gagal. Sebaliknya jika semula tanah terbuka lalu berubah menjadi hijau menandakan penangkapan karbon berhasil di lokasi tersebut.
Tersedianya citra satelit multiresolusi dan multiremporal memudahkan penafsir menghitung luas area deforestasi dan degradasi atau sebaliknya. Citra satelit juga membantu mengetahui posisi dimana aktivitas tersebut terjadi.
Pemanfaatan teknologi citra satelit tentu menjadi alternatif yang baik karena waktu dan biaya menjadi efektif-efisien. Terlebih saat ini sudah banyak tersedia satelit dengan multiresolusi dan multitemporal tinggi, sehingga memudahkan pengguna menentukan citra satelit yang dibutuhkan.
Citra satelit tidak hanya diperoleh secara komersil, namun dapat diperoleh juga secara gratis dari Badan Survey Geologi Amerika (USGS) dan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika (NASA), dimana kedua badan/lembaga tersebut sudah menyediakan citra satelit sejak tahun 1972.
Beberapa citra satelit yang dapat diperoleh secara gratis dari USGS, antara lain Citra Landsat 5 TM, Citra Landsat 7 ETM+, Citra Landsat 8 OLI, Sentinel 1, Sentinel 2, dan yang paling terbaru citra Landsat 9 yang diluncurkan tanggal 27 September 2021.
Pemanfaatan sumber data citra satelit saat ini juga terbantu dengan metode pemprosesan atau ekstraksi yang lebih cepat dan akurat, seperti dengan Google Earth Engine (GEE). Teknologi tersebut dapat menyajikan data dan mengolah secara cloud computing.
Hasil GEE pun relatif akurat untuk mendeteksi dimana dan berapa luas degradasi tutupan hutan. Dengan melatih masyarakat di sekitar hutan agar mampu memanfaatkan data satelit, maka peluang ekonomi dapat diambil karena masyarakat dapat menghitung sendiri sebagai data pembanding.
*) Sara D. Kurniarto adalah mahasiswa program doktor Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, IPB University