Jakarta (ANTARA) - Indonesia hanya dapat keluar dari jebakan impor beras jika mampu meningkatkan luas panen padi. Tambahan luas panen dapat diraih dengan dua jalan yang simultan yaitu perluasan sawah dan optimalisasi sawah yang tersedia.
Sementara optimalisasi sawah dapat dilakukan di sentra produksi di Pulau Jawa. Berdasarkan pengamatan cepat (rapid observation) dari Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi) yang beranggotakan Andi Muhammad Syakir, Ahmad Junaedi, Baran Wirawan, Dwi Rachmina, Fitrianingrum Kurniawati, Sabrina Aulia Zahra, Ahmad Ramadhani, Prama Yufdy, Muhammad Syakir, dan Destika Cahyana. Optimalisasi sawah dapat menjadi pilihan jika dilakukan dengan cermat dan terukur.
Dalam setahun, sawah yang semula ditanam satu kali dapat ditingkatkan menjadi dua kali tanam. Demikian pula yang semula dua kali ditingkatkan menjadi tiga kali tanam. Sementara yang sudah tiga kali menjadi empat kali tanam.
Pengalaman petani di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, dapat menjadi contoh sukses yang dapat ditularkan ke petani di Indonesia. Luas sawah di Sukoharjo hanya 20.514 ha dengan sawah yang memiliki irigasi teknis 14.477 ha. Namun, data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan luas panen Sukoharjo sejak 2016-2018 mencapai 53.343-54.339 ha per tahun.
Petani di Sukoharjo telah berpuluh tahun menanam padi 3 kali setahun pada lahan sawah irigasi teknis. Bahkan, tiga tahun terakhir, seluas 10.000 ha sawah irigasi dapat panen 4 kali setahun (12-13 bulan).
Petani di Sukoharjo mampu mematahkan paradigma lama yang meyakini panen padi 3-4 kali setahun ibarat melawan alam. Lazimnya, tanam padi 3-4 kali setahun rawan terkena ledakan hama dan penyakit.
Tanam padi 3 kali setahun juga sering dianggap memperkosa tanah karena lahan tidak pernah istirahat.
Petani di Sukoharjo tetap memperhatikan alam untuk tanam optimalisasi lahan. Terdapat 4 prasyarat agar sawah dapat ditanami padi 3-4 kali setahun tanpa memperkosa lahan.
Pertama, tersedianya air sepanjang tahun yang bersumber dari waduk, embung, sungai, atau sumur dalam. Petani di Sukoharjo beruntung mendapat pasokan air hampir sepanjang tahun dari Waduk Gajah Mungkur, Waduk Mulur, dan DAM Colo.
Kedua, tersedia varietas padi genjah dan super genjah berumur 90 hari dan 80 hari. Padi ditanam di sawah dengan pola genjah, super genjah, super genjah, dan genjah. Varietas genjah Inpari 32, Ciherang, dan Mekongga, sementara super genjah Pajajaran, M70, Cakrabuana.
Varietas padi untuk musim tanam kedua harus disemai 10 hari sebelum padi di musim pertama di panen. Petani di Sukoharjo menyiasati dengan semai culik, semai di pekarangan rumah, atau membeli bibit siap tanam.
Proses penanaman di hamparan yang sama dilakukan serempak untuk menghindari ledakan hama dan penyakit. Petani juga mengembalikan jerami yang sudah matang, menambah bahan organik matang, menggunakan probiotik, serta mikroba pengurai agar tanah tetap sehat.
Ketiga, tersedianya alat dan mesin pertanian yang siap digunakan sepanjang tahun. Alat dan mesin digunakan saat pengolahan tanah, penanaman bibit, serta panen sehingga semua proses berlangsung cepat.
Petani di Sukoharjo menggunakan alat dan mesin milik kelompok tani, dinas pertanian, maupun swasta yang siap sedia digunakan serentak.
Keempat, dukungan kelembagaan dan kepemimpinan di segala level kepemimpinan dari bupati, kepala dinas pertanian, camat, kepala desa, tentara, hingga kelompok tani.
Bupati Sukoharjo menjadikan tanam padi 4 kali setahun sebagai program kabupaten yang wajib dieksekusi oleh camat dan kepala desa. Dinas pertanian bertugas memfasilitasi ketika petani mendapatkan masalah teknis budidaya.
Gerakan tanam setahun 3-4 kali di Sukoharjo yang sudah berlangsung bertahun-tahun juga telah membuat kultur bertani berbeda dengan petani di daerah lain.
Prototipe Sukoharjo
Kultur baru yang lahir dari gerakan tanam 4 kali setahun adalah segmentasi dalam usaha tani padi. Lahir industri penyemaian benih padi yang dilakukan petani di pekarangan. Mereka menyemai padi selama 15-17 hari lalu dijual kepada para petani.
Lahir juga usaha baru penyedia media tanam untuk semai benih dari tanah ladu yang subur. Tanah ladu adalah tanah sedimen yang berada di dasar sungai yang mengering.
Industri ini mirip dengan petani cabai di Magelang, Jawa Tengah. Para petani cabai sejak dulu membeli bibit cabai siap tanam dari para penyemai cabai rumahan. Kultur bertani di sawah dengan kultur menyemai benih yang berbeda membuat para petani memilih segmen usaha yang berbeda yang disukainya.
Industri lain yang juga lahir adalah industri jasa pengolahan tanah, penanaman bibit, serta panen dengan alat dan mesin pertanian. Para penduduk desa di sentra pertanian di Sukoharjo dan kabupaten sekitarnya dapat memilih segmen yang paling cocok, paling disukai, dan paling dikuasai.
Keahlian mengendarai traktor dan memperbaiki traktor tentu berbeda dengan keahlian menanam dan merawat padi sehingga secara alami penduduk desa memilih segmen yang paling pas.
Lahirnya segmentasi usaha juga mematahkan anggapan bahwa petani penggarap selalu miskin. Petani yang telah memilih segmen usahanya masing-masing mau tidak mau harus berkomitmen memenuhi pesanan dari klien yaitu pemilik sawah atau penyewa sawah.
Gerakan tanam 3-4 kali tanam membutuhkan percepatan dan kecepatan tanam sehingga setiap segmen usahatani bergerak cepat. Jadwal pola tanam serta turunannya yang telah ditetapkan dan harus ditaati membuat petani seringkali bekerja hingga sore hari bahkan malam hari.
Petani bekerja layaknya pekerja di pabrik atau kantor yang bekerja sehari penuh. Namun, jerih payah petani dapat dikompensasi oleh pendapatan bersih mereka yang bertambah karena frekuensi panen lebih tinggi.
Sebagai ilustrasi pada panen Oktober 2023, petani yang memiliki sawah sendiri dengan rata-rata produksi 10 ton per ha dan harga gabah Rp7.000 sampai Tp7.200 per kg, dapat memperoleh penerimaan Rp70 juta-Rp72 juta per ha per musim dengan modal tanam hanya Rp15-juta.
Harga gabah pada Oktober memang sangat tinggi karena kondisi pasokan yang menurun. Pada musim tanam lainnya, harga gabah lebih rendah berkisar Rp4.000 sampai Rp4.200 per kg, namun petani masih tetap untung karena produksi gabah dan biaya produksi yang relatif sama.
Sementara petani penyewa menambah modal sewa lahan Rp21 juta per tahun per ha atau Rp5,25 juta per musim. Angka itu masih dapat tertutupi karena selisih pendapatan masih jauh lebih tinggi. Indonesia dapat menerapkan pola tanam 3-4 kali setahun sepanjang empat prasyarat tersebut dipenuhi.
Petani di Sukoharjo memiliki lahan bervariasi mulai 3.500 m2 hingga 10.500 m2. Dengan tanam 4 kali, petani yang memiliki sepetak lahan seluas 3.500 m2 mendapat minimal Rp80 juta per tahun dipotong biaya produksi Rp20 juta.
Pendapatan bersih mereka minimal Rp60 juta per tahun atau Rp5 juta per bulan. Mereka yang memiliki lahan lebih luas pendapatannya jauh berlipat.
Praktik usaha tani dengan pola tanam 3-4 kali setahun oleh para petani di Sukoharjo yang tergabung dalam Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) ini menarik karena membutuhkan orkestrasi.
Beberapa segmen usaha berbeda yakni usaha olah tanah cepat, usaha pembibitan dan penanaman, usaha manajemen budidaya padi, dan usaha panen "culik", tetapi dilakukan dalam satu kesatuan urutan usaha yang runut, tepat, cepat, serempak dalam satu kesatuan kawasan usaha pertanaman.
Orkestrasi oleh Bupati, Kepala Dinas, Camat, dan Kepala Desa merupakan inti dari budaya industri sebuah korporasi.
Sistem usaha tani padi yang dilakukan petani di Sukoharjo dengan komando Bupati atas tagline sistem kerja 4S (Soliditas, Sinergitas, Solidaritas, dan Sukses) dapat menjadi prototipe "Corporate Farming" karena terjadi konsolidasi lahan usaha, kesatuan manajemen usaha, dan penerapan budaya korporasi sebagai tuntutan usaha bersama.
Prototipe ini sudah selayaknya diterapkan di daerah lain sesuai kondisi setempat. Tentu optimalisasi lahan tersebut bukan hal mudah, tetapi juga bukan hal yang mustahil.
*) Andi Muhammad Syakir, Baran Wirawan, Ahmad Junaedi, Muhammad Prama Yufdy, Destika Cahyana, Dwi Rachmina, dan Fitrianingrum Kurniawati adalah anggota Perhimpunan Agronomi Indonesia.