Jambi, (ANTARA Jambi) - Senyum Agus Setiawan, pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 43 tahun lalu terus tersungging melayani pesanan bakso dagangannya yang menempati salah satu los di pasar Geragai, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.
"Beginilah nasib mas, niat merantau jauh jauh dari Solo ke Jambi untuk mengubah hidup lebih baik. Tapi ujung ujungnya tetap jadi tukang bakso," ujarnya sambil meracik bakso pesanan pelanggan.
Sembari melayani pembeli, ia menceritakan sedikit jalan hidup pria anak dua ini. Berawal pada 2000, Agus mencoba mengadu nasib pergi ke ibu kota Jakarta untuk bekerja pada salah satu perusahaan garmen.
Selama hampir lima tahun mengadu nasib di Jakarta, Suratman merasa peruntungannya datar datar saja. Gaji sebesar Rp1.4 juta perbulan kala itu dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
"Akhirnya atas ajakan teman, pada 2006 saya mencoba merantau ke Jambi bekerja disalah satu perusahaan pengolahan kayu. Waktu itulah pertama kali saya merantau ke Pulau Sumatra dan meninggalkan keluarga di Solo," tuturnya.
Meski demikian, pekerjaan sebagai buruh pabrik kayu hanya digeluti selama satu tahun. Suratman diberhentikan karena perusahaan dikabarkan mengalami kebangkrutan.
Sejak saat itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup dirantau serta keluarganya di Solo, Suratman memutuskan untuk tetap tinggal di Jambi dan bekerja serabutan sebagai buruh bangunan dan buruh panen perkebunan sawit dan karet yang ada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.
"Kalau tidak salah pada akhir 2008, ada yang menyarankan untuk mencoba membuka usaha bakso dengan modal dari program Kredit Usaha Penguatan Ekonomi Masyarakat (KUPEM)," ujar pria yang mengaku hanya menamatkan sekolah dibangku SMP ini.
Dengan bantuan beberapa teman, akhirnya Agus berhasil membuka usaha baksonya dengan meminjam modal dari program KUPEM yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada 2009.
"Waktu itu saya mengajukan pinjaman Rp10 juta. Alhamdulillah meski cukup lama akhirnya bisa dapat. Pinjaman itu saya gunakan untuk membeli berbagai keperluan membuka warung bakso," ujarnya lagi.
Meski demikian, pada awalnya Agus mengaku kadang kesulitan membayar setoran bulanan karena usahanya membuka warung bakso belum begitu membuahkan hasil yang menggembirakan.
"Namun saya usahakan tetap rutin membayar setoran tiap bulan senilai Rp270an ribu. Dalam waktu tiga tahun, akhirnya bisa lunas," katanya.
Menurut dia, program sebenarnya KUPEM sangat membantu dalam upaya menopang ekonomi masyarakat kecil yang ingin mengembangkan usaha. Apalagi, kata dia, pada pengajuannya program kredit itu tanpa dikenakan agunan.
Hanya saja, Agus mengaku cukup kecewa mendengar sejumlah pemberitaan media, yang menyebutkan Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus akan menghentikan program Kupem di Jambi karena dinilai bermasalah.
"Kalau bisa program KUPEM bisa terus dijalankan. Namun harus didata benar benar, karena mungkin bisa saja ada penerima tidak menyetorkan kredit secara rutin," katanya.
Potret diatas, merupakan gambaran kecil besarnya pengharapan masyarakat kecil akan upaya pemerintah memberikan modal usaha bagi pengembangan ekonomi. Hanya saja, ketidakberesan pada pengelolaan KUPEM justru menyebabkan masyarakat menjadi korban. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dana Kupem di Jambi yang berasal dari pos APBD selalu menjadi temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Nilainya cukup fantastis mencapai sekitar Rp15 miliar, baik dana macet maupun menganggur karena tidak tersalurkan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil audit BPK Jambi, pengelolaan KUPEM yang digulirkan Pemprov Jambi sejak 2001-2011 yang belum tertagih dan berpotensi merugikan keuangan negara mencapai Rp5,9 miliar lebih. BPK juga mencatat adanya dana menganggur senilai Rp3,4 miliar lebih.
BPK pada 2010 bahkan menyatakan, dari total dana negara di Provinsi Jambi senilai Rp466 miliar, Rp35,3 miliar diantaranya menguap dari program KUPEM. Kebocoran itu hampir merata di beberapa pos APBD baik di Pemprov Jambi maupun kabupaten/kota di Jambi.
Pada laporan BPK itu, bahkan disebutkan mayoritas dana bergulir yang disalurkan ternyata tidak tepat sasaran dan banyak macet.
Yasir, Ketua Komisi II, DPRD Provinsi Jambi yang membawahi masalah perekonomian tidak menampik adanya indikasi ketidakberesan pada pengelolaan dana Kupem tersebut.
"Masalah KUPEM ini tidak bisa serta merta disalahkan kepada masyarakat penerima. Dari awal sepertinya pengelolaannya sudah tidak benar, hal ini dibuktikan dengan adanya laporan BPK. Kedepan, Pemprov Jambi harus menelurkan suatu terobosan bagaimana program ini bisa benar benar berjalan, sehingga tidak lagi menjadi temuan," ujarnya.
DPRD, kata dia, akan mendorong pemerintah mendorong Gubernur Jambi untuk melakukan evaluasi terhadap program tersebut. Evaluasi menyangkut kriteria penerima yang benar benar jelas dan transparan, begitu juga evaluasi terhadap instansi pengelola termasuk Bank Jambi sebagai penyalur.
"Komisi II DPRD Provinsi Jambi, juga akan memanggil jajaran instansi terkait persoalan tersebut. Kami ingin mendengar penjelasan langsung bagaimana sebenarnya pengelolaan KUPEM tersebut. Berapa jumlah penerima kami bahkan tidak tahu," katanya.
Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus bahkan menyatakan akan menerbitkan moratorium atau menghentikan sementara program KUPEM di Jambi.
"Ini merupakan keputusan dilematis, disatu sisi Pemprov Jambi ingin membantu peningkatan usaha kecil. Namun disisi lain banyak tunggakan dari penerima karena tidak bisa melunasi kreditnya. Sehingga menimbulkan banyak kredit macet," ujarnya.
Menurut dia, setelah diterbitkannya moratorium KUPEM itu, Pemprov Jambi akan melakukan "road show" ke sejumlah kabupaten/kota untuk inventarisasi data Kupem tersebut.
Tidak hanya itu, Gubernur Hasan Basri Agus juga menyatakan akan melakukan konsultasi kepada BPK, untuk menanyakan apakah piutang Kupem bisa diputihkan atau tidak.
"Apakah dana KUPEM yang macet oleh penerima ini bisa diputihkan atau apakah menjadi tanggung jawab pemerintah, kami akan konsultasikan kepada BPK, bagaimana prosedurnya," jelasnya.
Sebelumnya, mantan Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan (Ekbang) Provinsi Jambi, Sepdinal, persoalan dana KUPEM yang selalu menjadi temuan BPK dikarenakan ketidakmampuan debitur untuk membayarkan kredit.
"Kondisi ini juga menjadikan Jambi gagal mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK," katanya.
Sepdinal menyebutkan, sejak 2001 hingga 2011 tunggakan KUPEM di Jambi mencapai lebih dari Rp5 miliar.
Menurut dia, aturan pelaksanaan dana Kupem didasarkan keputusan Gubernur Jambi Nomor 493 Tahun 2000 tanggal 18 Desember 2000 tentang pendanaan kredit usaha penguatan ekonomi masyarakat. Sumber pembiayaan dari APBD Provinsi Jambi dan disalurkan melalui Bank Jambi.
Tujuan awal penyelenggara KUPEM adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat/petani holtikultura, petani ikan dan industri kecil melalui penyediaan kredit usaha dan investasi pengembangan usaha dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Salah satu pengamat ekonomi Jambi yang juga dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Batanghari, DR. Pantun Bukit, SE, MSi bahkan menyebutkan, berdasarkan informasi yang diterima, ada sekitar Rp15 miliar dana KUPEM di Jambi bermasalah atau belum tertagih.
Lemahnya pengawasan dan pendataan penerima KUPEM yang hampir merata terjadi baik di kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Apalagi, pada program tersebut debitur tidak dikenakan agunan pada pengajuan pinjamannya.
Ia juga mengusulkan agar debitur yang biaya tagihnya lebih besar dari nilai tagih agar diputihkan saja.
"Itu bisa saja dilakukan, namun yang terpenting adalah sistem pengelolan, kriteria yang jelas mutlak harus dilakukan. Kalau pengelolaanya tetap seperti sekarang, bukan tidak mungkin temuan BPK terus terjadi atau bahkan lebih besar," katanya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Jambi, Prof. DR. H. Samsurizal Tan, SE MA mengatakan, upaya pemerintah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi skala besar salah satunya melalui program KUPEM belum disertai peningkatan sumber daya manusia (SDM) di instansi terkait.
"Kondisi inilah yang menjadi dasar munculnya berbagai persoalan yang menjuru pada dugaan penyelewengan anggaran daerah. Kalau memang itu ada indikasi kuat diselewengankan tentunya aparat hukum wajib melakukan pengusutan," katanya.(T.KR-BS)
Mengurai benang kusut pengelolaan KUPEM di Jambi
Selasa, 31 Juli 2012 15:42 WIB