Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan tertanggal 8 Mei 2024 menetapkan 12 kriteria standar bagi layanan rawat inap paling lambat 30 Juni 2025.
Pasal 46A Perpres tersebut mensyaratkan 12 kriteria fasilitas perawatan dan pelayanan rawat inap, meliputi komponen bangunan yang kokoh tanpa memiliki tingkat porositas yang tinggi, terdapat ventilasi udara, dan pencahayaan ruang yang baik.
Selain itu, juga terdapat kelengkapan tempat tidur berupa penyediaan minimal dua stop kontak dan alat untuk memanggil perawat. Kemudian suhu ruangan 20 sampai 26 derajat Celsius.
Selain itu, penyedia fasilitas layanan juga perlu membagi ruang rawat berdasarkan jenis kelamin pasien, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi.
Ruang perawatan harus dibagi secara optimal dengan mempertimbangkan kepadatan ideal pada ruangan berisi maksimal empat tempat tidur dan tersedia tirai di antara tempat tidur.
Terdapat fasilitas kamar mandi di dalam ruang rawat yang sesuai dengan standar aksesibilitas untuk disabilitas serta outlet oksigen yang memenuhi syarat untuk jaminan keselamatan pasien.
Pelaksanaan KRIS merupakan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tujuannya, untuk memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang setara bagi peserta BPJS Kesehatan.
Implementasi KRIS sudah bergulir sejak 2022 melalui tahap uji coba di beberapa rumah sakit (RS) vertikal Kementerian Kesehatan, di antaranya RS dr. Sardjito di Yogyakarta, RS Pongtiku Toraja Utara, dan RS TNI AD Reksodiwiryo di Padang, Sumatera Barat.
Selain itu, Kementerian Kesehatan telah merampungkan survei uji coba KRIS di 2.531 dari total 3.122 rumah sakit nasional pada Februari 2023.
Hasilnya, responden dari kalangan pengelola RS menyanggupi enam sampai sembilan dari total 12 kriteria KRIS yang dipersyaratkan. Sebagian besar responden kesulitan untuk memenuhi kebutuhan suplai oksigen dan pengaturan kamar mandiri khusus disabilitas.
Selain itu, besaran iuran hingga tarif layanan rumah sakit masih harus diformulasikan ulang untuk implementasi KRIS.
Pasal 103B poin 2 Perpres itu menekankan, agar rumah sakit dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan KRIS sesuai dengan kemampuan mereka paling lambat hingga 30 Juni 2025.
Tak ada penghapusan sistem kelas
Dalam beberapa hari terakhir sejak perpres tersebut terbit, jejak digital merekam perdebatan tentang narasi "KRIS hapus sistem kelas BPJS Kesehatan".
Beberapa spekulasi menyebut sistem KRIS di Perpres No. 59 tahun 2024 mengarahkan layanan inap bagi pasien BPJS Kesehatan ke satu ruang perawatan dengan maksimal empat tempat tidur dan 12 kriteria ruangan.
Itu artinya, pemegang kartu BPJS Kesehatan hanya difasilitasi kelas tunggal (single class) yang dinamakan KRIS. Adapun bagi mereka yang ingin pindah kelas ke layanan non-BPJS Kesehatan harus menutup selisih biaya jasa perawatan melalui kocek mandiri, asuransi swasta, atau perusahaan tempatnya bekerja.
Namun, BPJS Kesehatan membantah narasi tersebut. Alasannya, tidak ada satu pun klausul dalam perpres itu yang mencantumkan penghapusan sistem kelas dari layanan BPJS Kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof. Ghufron Mukti memastikan jenjang kelas 1, 2, dan VIP dan besaran tarif iuran hingga saat ini masih berlaku.
"Jika peserta ingin dirawat yang kelasnya meningkat, diperbolehkan. Tentu ini masalah perawatan nonmedis. Betul, masih ada kelas standar, ada kelas 2, kelas 1, ada kelas VIP. Akan tetapi, sekali lagi, ini masalah nonmedis," katanya.
Pelaksanaan KRIS memang dilakukan secara bertahap. Tentunya selama proses penahapan ini pelayanan kelas 1, 2 dan 3 masih berjalan.
Mengenai iuran dan pelaksanaan teknis KRIS akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Menkes Budi Gunadi Sadikin menyebut permenkes yang akan diterbitkan berorientasi pada penyederhanaan layanan dan mengangkat kualitas standar rawat inap.
"Jadi, itu bukan dihapus, melainkan standarnya disederhanakan dan kualitasnya diangkat. Jadi itu ada kelas tiga kan sekarang, semua naik ke kelas dua, dan kelas satu. Jadi sekarang lebih sederhana dan layanan masyarakat lebih bagus," katanya.
Memperhitungkan pertumbuhan kepesertaan JKN
Per 1 Mei 2024, asuransi kesehatan berbasis dana gotong royong masyarakat itu membukukan jumlah kepesertaan Program JKN mencapai lebih dari 272 juta jiwa, atau sekitar 97,27 persen dari total populasi Indonesia.
Komposisi kepesertaan saat ini terdiri atas 151,78 juta lebih peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), 111,03 juta lebih PBI APBN, 40,76 juta lebih PBI APBD, dan 96,97 juta jiwa non-PBI.
Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC) sebagai sistem jaminan atas akses perawatan dan pelayanan kesehatan penduduk telah merambah 22 provinsi dan 334 kabupaten/kota seiring dengan kepuasan masyarakat terhadap layanan yang diberikan.
Merespons hal itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi memastikan bahwa aturan teknis terkait KRIS turut memperhitungkan pertumbuhan kepesertaan JKN.
Permenkes yang menjadi aturan turunan Perpres Jaminan Kesehatan dipastikan mengatur tentang jaminan akses layanan rawat inap bagi pemegang kartu BPJS Kesehatan, termasuk penyesuaian iuran peserta.
Jaminan terhadap akses layanan rawat inap ditempuh dengan komitmen pengelola rumah sakit swasta di seluruh daerah untuk mengalokasikan minimal 30 persen jumlah tempat tidur rawat pasien yang mereka sediakan untuk pasien BPJS Kesehatan.
Adapun di tataran rumah sakit pemerintah dialokasikan minimal 60 persen layanan bagi pasien BPJS Kesehatan.
Tak hanya itu, Kemenkes pada tahun ini merampungkan pembangunan empat unit rumah sakit vertikal untuk meningkatkan kapasitas tampung pasien seiring dengan implementasi KRIS.
Empat rumah sakit baru yang direalisasikan tahun ini yakni Rumah Sakit (RS) UPT Vertikal Surabaya di Jawa Timur, RS UPT Vertikal Makassar di Sulawesi Selatan, RS Vertikal Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, dan RS Vertikal Jayapura di Papua.
Permenkes yang saat ini sedang digodok bakal menjadi penentu dari keberhasilan implementasi KRIS. Ikhtiar untuk meningkatkan kesetaraan layanan kesehatan perlu dikaji lebih teknis tanpa mengorbankan hak pasien maupun pengelola layanan.